Sunday, August 28, 2005

Dari ExxonMobil sampai Mental Anak Bangsa

Kalau Kwik Kian Gie (KKG) menyinggung kasus ExxonMobil di Cepu tanpa menyebut kasus Ambalat sebagai bagian dari prolog analisanya, maka ada hubungan causal yang kurang lengkap dari sisi pembekalan materi kepada para pembacanya. Kalau ternyata pada akhirnya barter antara kasus Ambalat dan kasus Cepu menjadi timpang atau tidak sepadan nilainya, itu adalah permasalahan yang lain lagi. Walaupun aneh kedengarannya, itulah kenyataan yang ada di negara kita. Kedaulatan dan harga diri kita telah terlilit oleh “chain reaction” sehingga urusan A terkait oleh urusan B dan urusan dalam negeri tergantung sekali dengan campur tangan negara asing.

Semuanya sangat tergantung dengan hutang luar negeri, tidak percaya diri, sehingga mudah menjadi permainan bangsa lain karena bargaining power yang keropos. Apakah kita ini mudah diacak-acak oleh bangsa lain karena kita bodoh? Atau karena kita memang sudah tidak peduli lagi dengan hidup matinya bangsa ini? Atau jangan-jangan kita semua ini sudah menjadi futuristic bahwa yang penting adalah kehidupan akhirat? Futuristic? Ah rasanya kok tidak. Masih mending kalau futuristic. Ini sudah pada level masa bodoh. Atau inikah yang kita pahami selama ini dengan konsep “Hablul Minannas”?
Dua Ekstreem
Pasca dinasti Suharto jatuh, Indonesia menjadi eksperimen dari para “reformis”. Berbekal dengan konsep bernegara yang kabur dan situasi yang rentan pecah pada saat itu, telah memberikan kesempatan para oportunis untuk memasuki gelanggang percaturan politik Indonesia yang sejak lahir (1945) memang sudah rawan untuk pecah. Asal memakai label kata-kata reformasi, maka semua tindakan seolah telah memperoleh sertifikat halal dan benar.

Menjelang jatuhnya Suharto pada tahun 1998, hubungan antara pemerintah Indonesia pada waktu itu dengan IMF memang sudah tidak mesra lagi. Apalagi ada track record dari Suharto yang pernah “membubarkan” IGGI (institusi negara pemberi hutang kepada Indonesia) sehingga IMF menjadi ketar-ketir juga kalau nanti “dicerai” oleh Suharto. Berbeda dengan IGGI atau CGI, IMF datang ke negara kita dengan membawa bendera Persatuan Bangsa Bangsa (UN) melalui slogannya “menolong negara miskin” akibat krisis moneter. Dengan misi ini, di Indonesia, IMF mempunyai banyak “santri” yang taat mengikuti ajarannya, terutama mereka-mereka yang duduk pada level pejabat pemerintahan. Jatuhnya Suharto membawa dampak ease the pain para boss IMF, sehingga turut mendongkrak para “santri”nya untuk naik pentas.

Pada jajaran elite di tingkat atas, muncul dua ekstreem yang masing-masing meyakini nilai-nilai yang dibawanya. Sebut saja, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie dkk (sebagai pemeluk ajaran IMF) di satu ekstreem yang menitik beratkan pada azas ekonomi ala pasar. Konsep ada uang ada barang. Bayi nangis sekarang, cepat-cepat di kasih dot susu. Sementara KKG dan Rizal Ramli di ekstreem yang lain, lebih melihat dampak jangka panjang.

Sri Mulyani dkk melihat faktor lapangan adalah variable utama. Mereka lebih senang kalau mendengar si bayi tidak menangis sekarang. Sementara KKG dkk lebih melihat bagaimana kondisi kedepannya. Lebih baik si Bayi menangis sekarang tetapi bisa hidup sampai 65 tahun lagi daripada si Bayi hidup sekarang dan belum tentu bertahan hingga usia 10 tahun.

Menurut Sri Mulyani dkk, hutang diperlukan karena kita sedang membangun dan tidak mungkin diputus ditengah jalan. Ada sesuatu yang harus dikorbankan (jika memang perlu) untuk menggapai sebuah harapan (?). Rakyat kelaparan pada detik sekarang ini adalah fact. Sedangkan bagaimana realita 5, 10 atau 20 tahun kedepan bukan prioritas utama dari analisa Sri Mulyani dkk. Harga minyak naik sekarang ini adalah juga kenyataan. Sri Mulyani dkk tidak akan menganalisa harga BBM 5 tahun kedepan, karena banyak variable yang nantinya akan berubah selama lima tahun kedepan. Maka tidaklah heran, ketika madzab ini berkuasa, banyak BUMN kita dijual untuk menjadi abdi dalem (hambanya) dari ndoro IMF.

Beberapa komentar menyebutkan bahwa KKG terlalu idealis, kaku dan tidak melihat kondisi yang ada di lapangan. KKG selalu menghembuskan isu nasionalisme dan patriotisme untuk merebut simpati dari para kalangan menengah ke bawah. Saya cenderung setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ”Sri Mulyani dkk lebih condong pada kehidupan sehari-hari (ekonomi pasar), sementara KKG lebih menempatkan azas pemanfaatan ekonomi berdasar pada ego kepemilikan”. Kuasai dulu semua Sumber Daya Alam (SDA) yang menguasai harkat orang banyak. Infrastructure bisa diperolehnya sambil berjalan. KKG mengajak semua elemen untuk menjadi bagian dari proses. “Menderita” di awal adalah salah satu bagian yang namanya proses. Hanya saja, Madzab-nya KKG ini gagal mengimplementasikan teorinya pada level atas. Teori yang ditawarkan oleh KKG, Stick and Carrot, tidak mendapat sambutan yang positif dari para koleganya. Kenapa? Karena kalau diaplikasikan, akan terlalu banyak Stick-nya daripada Carrot-nya. Penjara yang diharapkan akan diisi oleh para koruptor ternyata akan lebih banyak dan lebih dulu diisi oleh para jaksa, hakim dan polisi.

Mapping SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia

Kharakter bangsa kita memang unik. Jangan terlalu banyak berharap untuk menjadikan bangsa ini melek jalan pikirannya hanya dengan melalui sebuah Seminar, Simposium, atau Rapat Kerja. Sudah dimaki di depan mata saja, masih nggak ngerti juga apa kesalahannya. Makanya, janganlah memakai bahasa yang halus, sindiran atau kalimat bersayap untuk mengajak melek bangsa ini. Coba keluarkan semua nama binatang di Kebun Binatang, Jangkrik, Anjing, Kecoa, dll., maka tidak akan mengubah hasil akhirnya.

Ada time frame dan mapping SDM yang padu diantara mereka yang masih peduli dengan keberlangsungan hidup dari bangsa ini. Salah satu kelemahan yang ada antar generasi adalah missing link sebuah nilai. Tidak ada tali penyambung konsep bernegara antara pendiri republik ini dengan penguasa sekarang ini. Sukarno, Hatta, Syahrir dan sederetan tokoh pendiri bangsa gagal mentransfer sebuah nilai yang sekarang diartikan lain tentang makna dari berjuang untuk rakyat.

Sepuluh tahun atau dua periode pemerintahan yang akan datang adalah waktu yang tepat untuk kembali menata sendi-sendi pemerintahan dan sosial kemasyarakatan kalau kita masih mau membangun bangsa ini. Mengapa 10 tahun lagi? Paling tidak ada 3 skenario:

1. Mengkikis nilai lama melalui jalan yang “damai” atau alami.Sepuluh tahun lagi, para pejabat pemerintahan yang saat ini berusia 55 tahun akan pensiun. Dengan lengsernya para sesepuh ini, akan ada power shift terhadap nilai-nilai lama yang selama ini dianggap memperlambat perubahan. Disadari atau tidak, masih saja ada perasaan ewuh pekewuh, sungkan untuk mengkritik atau menyampaikan message ke para senior kita. Dengan dalih menjaga adat istiadat dan berlindung pada selimut budaya timur (Apa sih sebenarnya budaya timur ini???), maka sesuatu yang straight to the point disebut sebagai tindakan kasar, hilang budaya, sok kebarat-baratan, dan masih banyak lagi.

2. Memfilter SDM kita yang saat ini berusia 45 tahun yang akan naik posisi.
Ini berarti sepuluh tahun lagi, mereka-mereka kelahiran 1960an akan memegang kemudi kendaraan Republik ini. Transisi antara generasi sepuh dengan angkatan ini (kelahiran 60an) memerlukan enforcement untuk membuat benang merah antara professional di bidangnya dengan para karbitan atau kelas kacangan.

3. Menyamakan misi dan visi para SDM yang saat ini berusia 35 tahun.
Generasi ini yang mulai sekarang harus sering digesek atau diadu konsepnya untuk menyamakan visi dan misi berjuang untuk rakyat. Sehingga sepuluh tahun lagi, posisi mereka (sudah Manager) merupakan kekuatan yang dahsyat karena jumlah mereka yang se-paham sudah melebihi senior mereka yang saat itu memegang kendali. Apa kendalanya? Mental bobrok di masyarakat kita sudah pada level yang sangat membahayakan dan seharusnya ada warning nasional tentang bahaya laten ini. Budaya paternalistic yang sendiko dawuh, manut, nrimo akan selalu defensive terhadap nilai baru yang ditawarkan apalagi kalau mengancam keselamatan posisinya. Artinya, generasi yang saat ini berusia 55 tahun sudah menghasilkan ribuan kader dengan mentalitas yang tidak kalah busuknya dibandingkan para seniornya yang akan menutup semua celah untuk menuju perubahan. Ini tantangan kita semua.

Tentunya semua itu harus juga dibarengi dengan mapping orang-orang yang professional dibidangnya, mempunyai visi dan misi yang sama tentang bagaimana membangun bangsa ini. Kalau pulang kampung tanpa ada kejelasan konsep akan kemana bangsa ini berjalan, ya sami mawon. Sampai kapanpun kita akan seperti ini terus.

Saatnya untuk bertempur

Kalau saja bangsa ini kuat, Malaysia tidak dengan seenaknya saja mencoba “bermain” dengan Ambalat setelah mereka “dimenangkan” atas pulau Sipadan dan Linggitan. Banyak masalah yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan terutama yang berkaitan dengan batas wilayah kedaulatan negeri ini. Dengan Singapura misalnya, pengerukan pasir yang lambat laun akan menenggelamkan pulau terdekat kita dengan Singapura. Kelak Singapura akan meng-klaim batas wilayahnya bertambah jika pulau itu sudah tenggelam akibat pasirnya sengaja “digunduli” mengacu pada zona laut (3 miles dari garis pantai). Cepat atau lambat, batas wilayah Malaysia dengan Indonesia akan mencuat lagi terutama diperbatasan Serawak. Patok batas negara yang sudah tidak jelas lagi sekarang, bahkan sudah banyak muncul pasar di daerah perbatasan dengan mata uang ringgit sebagai nilai tukarnya. Belum lagi kasus kepulauan di NTT yang oleh juru bicara Kementrian Luar Negeri di-klaim bukan wilayah Indonesia karena alasan dulunya merupakan bekas jajahan dari Inggris. Masih banyak lagi sederetan permasalahan yang ruwet ….

ExxonMobil di Cepu adalah salah satu contoh lemahnya mental anak bangsa. Akan muncul kasus serupa kalau kita tidak aware, well prepared dan bersikap ksatria untuk menghadapinya. Permasalahan besar kita adalah menyamakan visi dan misi tentang bagaimana membangun bangsa ini. Karena pada akhirnya yang akan “bersinggungan” adalah antar anak bangsa sendiri maka Enforcement dari pemegang kekuasaan adalah syarat mutlak yang harus dipersiapkan. Semoga saja, pemerintah mempunyai blue print tentang kemana bangsa ini akan dibawa dan mapping SDM kita yang saat ini bertebaran kemana-mana. Bagaimana kalau tidak ada “blue print”-nya? Ya ganti saja tintanya, jadi black atau yellow. (Prahoro Nurtjahyo, 28 Agustus 2005)


Monday, August 22, 2005

Pampers

Ini sebenarnya cerita tentang hal yang sepele, yaitu urusan pampers. Barang ini bukanlah barang yang istimewa sampai ketika saya menerima complain dari dua anak saya (laki-laki 10 tahun dan perempuan 7 tahun). Mereka berdua merasa diperlakukan “unfair” dibandingkan dengan adiknya yang paling kecil. Dalam bahasa saya, saya mencoba menterjemahkan complain mereka sebagai berikut “Mereka melihat garis yang tidak bengkok ketika saya memperlakukan mereka. Sekarang mereka melihat garis itu tidak hanya bengkok tetapi malahan kabur tidak jelas lagi”. Wah kalau sudah ke arah sana penafsirannya, maka menjadi runyam dan serius urusannya. Dan soal pampers ini adalah salah satu complain dari sekian complain yang saya terima weekend lalu dari 2 anak saya ini.


Anak kami yang paling kecil berusia 3.5 tahun. Dibandingkan dengan kedua kakaknya tadi, dia relative lebih terlambat. Bukan terlambat keluar gigi, bukan pula terlambat untuk memulai ngomong atau terlambat berjalan. Si kecil ini terlambat dalam hal meninggalkan kebiasaan memakai pampers. Kalau kedua kakaknya “mampu” memenuhi target kami menanggalkan pampers sebelum usia 2.5 tahun, ternyata si kecil ini merasakan kenyamanan dari pampers hingga usia lebih dari 3 tahun.

Tentunya bukan kepada perusahaan pampers ini kami harus memaki. Dengan berbekal pada kalimat ber”introspeksi diri”, saya mengajak rembugan istri saya untuk berdiskusi kira-kira apa penyebabnya.

Istri saya berkomentar bahwa ini sebagai akibat peningkatan “rasa” dari sebuah hasil teknologi. Menurut dia, perusahaan pampers telah meningkatkan standard ergonomic dalam hal men-design pampers dan juga mencoba untuk expand pasarnya. Kalau saat ini mayoritas pasarnya adalah balita (dibawah lima tahun) dan lansia (lanjut usia), sepertinya mereka tengah membidik pasar lain dengan memakai konsep, “Kenapa tidak semua usia saja yang memakai pampers?”. Saya hanya diam saja ketika mendengar komentar istri saya ini. Maklum, kalau nanti saya potong, dia terus ngambek dan tidak mau diskusi lagi. Dalam hati, saya membayangkan betapa semaraknya nanti iklan tentang pampers ini. Kalau ternyata analisa istri saya benar, nanti akan ada iklan yang promosinya kurang lebih berbunyi “Pakailah pampers produk kami. Tidak akan tembus dan akan meningkatkan produktifitas kerja anda tanpa harus bolak-balik ke kamar mandi”. Waduh.. edan tenan.

Dari banyak diskusi dan alternative yang ada, akhirnya saya mengusulkan untuk melepas pampers si kecil seperti kedua kakaknya dulu, lagian sudah waktunya untuk belajar mengontrol organnya sendiri. Tentunya dengan segala resiko dan konsekuensinya. Setelah istri saya sepakat, akhirnya salah satu pekerjaan tambahan dan utama bagi kami adalah melihat secara intens kegiatan si kecil dari jam ke jam. Kalau kedua kakinya sudah diapit sewaktu berjalan, ini sudah warning buat kami bahwa si kecil ingin segera buang air. Bukan itu saja, ada default baru yang melekat di bibir kami untuk selalu menanyakannya hampir setiap 30 menit, “Adik mau pipis?”

Kemarin pagi adalah pertama kali teori ini kami coba. Di awal tampaknya usaha kami lumayan membawa hasil. Si kecil mulai teratur dan dapat mengkontrol bisnis irigasi pengeluaran air ini. ”Wah.. hebat sekali awak ini”. Sudah siap-siap saya ingin segera pamer hasil ini ke teman-teman dan eyangnya. “Siapa dulu ayahnya?” Saya sudah persiapkan semua catatan, tulisan dan teknik untuk mengatasi pelepasan pampers ini. Bye..bye pampers.

Namun ternyata senyuman kami tidak dapat bertahan lama. Menjelang malam akan tidur, mulailah “bencana” itu datang. Dalam tidurnya, si kecil ngompol ke seluruh kasur. Dalam waktu dua jam, sudah dua kali si kecil ganti posisi karena posisi sebelumnya basah terkena ompol. Akhirnya, dalam satu malam telah 5 pulau besar kecil digambarnya di kasur dengan ompol. Lengkap sudah dekorasi kasur kami dalam satu malam oleh ompol si kecil.

Kalau sudah begini, istri saya paling cekatan kerjanya dan ditambahi dengan aksi mogok ngomong. Dia tidak perlu ngomong untuk mengekspresikan ketidaksenangannya. Karena dia tahu pasti bahwa ompol ini akan menjadi bagian dari pekerjaannya yang baru selain pekerjaan rutin yang lain. Kasur harus dijemur. Dan effectnya para tetangga akan melihat dan sudah pasti bertanya, “What’s going on?”. Jawaban standard kami adalah, “O itu? Biasa anak-anak

Istri saya sepertinya sudah mutung dan berkata, “Sudahlah kita pakai pampersnya lagi, nanti lama-lama si kecil akan bisa sendiri mengontrolnya”. Bukan kasur atau pampers itu yang saya permasalahkan, tetapi sorot tanya dari kedua mata kakak-kakaknya yang seakan-akan mempertanyakan kredibiltas ayahnya, “Apa bedanya adik dengan kami, sehingga perlakuan ayah dan mama berbeda?”. Sungguh merupakan ketakutan yang amat sangat bagi saya ketika pertanyaan itu benar-benar dikeluarkan melalui mulut mereka. “Mengapa saya harus menggunakan double standard untuk hal yang sama? Mengapa saya tidak lagi konsisten dengan standard yang pernah saya pakai untuk kedua kakaknya? Mengapa untuk si kecil ini, saya lebih memilih mengalah menuruti kemauannya ketimbang mendisiplinkannya?”

Ketika saya masuk kamarnya, masih dengan pulasnya si kecil tidur di kasur yang di samping kanan kirinya basah karena ompolnya sendiri. Saya katakan dengan lirih di telinganya sebelah kanan, “Believe me, this is for your own good”. Saya tutup kembali pintu kamarnya, dan masuk ke kamar kakak-kakaknya. Saya pandangi mereka yang juga masih tertidur. Saya kirimkan beberapa kalimat melalui SMS ke hati mereka yang isinya, ”Maafkan ayah yang lemah ini. Kalau untuk hal yang sepele seperti pampers ini saja, ayah tidak mampu memegang komitmennya, apalagi untuk urusan yang lebih besar dari ini. Terima kasih karena kalian berdua masih mau mengingatkan ayah tentang nilai sebuah komitmen ini. SMS balik ayah ya…?”.

Saya kembali ke kamar saya dan melihat istri saya yang sudah capai. Sudah tak terhitung berapa round-trip dia harus bolak-balik ganti sprei dan baju si kecil yang basah. Dengan langkah yang hati-hati saya bilang ke istri, ”Ada sebuah komitmen yang kita telah sepakati tanpa kita sadari bahwa fungsi kita di dunia ini hanyalah sebagai perantara saja. Yang bisa kita turunkan untuk anak kita adalah nilai dan rasa tentang hidup, yang kelak juga menjadi tugas mereka untuk menurunkannya ke cucu-cucu kita dan seterusnya”.

Kalau untuk transfer sebuah nilai dan rasa ini saja, kita tidak mampu melakukannya, adakah sesuatu yang lebih dari itu yang pantas kita berikan untuk mereka?”

Biarkan si kecil belajar dari organnya sendiri. Belajar dengan waktu yang sudah kita set. Biarkan dia tahu bahwa kalau dia tetap ngompol, nanti akan berakibat basah, bau dan najis. Kalau sudah terkena najis, maka macet sudah aktifitas lainnya sampai dia harus bersuci lagi”.

Sebelum complain, saya peluk istri saya sambil berseloroh “Beruntunglah kita menjadi bagian dari Indonesia yang mempunyai 17000 pulau. Malam ini, si kecil baru memulai menggambarnya dengan 5 pulau. Masih banyak pekerjaan yang harus dia dan kita selesaikan untuk malam-malam yang akan datang”. Istri saya hanya mesem (baca: tersenyum) saja, tanpa saya tahu pasti apa arti sebenarnya dari mesem itu. Apapun arti senyum itu, saya masih menunggu harapan lain yaitu jawaban SMS anak saya, semoga menerima permohonan maaf ayahnya.
(Prahoro Nurtjahyo, 22 Agustus 2005)

Tuesday, August 02, 2005

Digital Camera + Website = Alat kontrol

PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Perancis dan Belanda telah sepakat untuk “menghajar” habis-habisan para anggota DPR yang nglencer dengan alasan studi banding ke Perancis selama 4 hari. (Baca harian nasional edisi minggu terakhir bulan Juli atau kunjungi website PPI Belanda). Dengan berbekal Digital Camera dan website, mereka membeberkan aktivitas para anggota DPR yang shopping ke Belanda (padahal studi bandingnya ke Perancis). Lembaga yang diharapkan mampu mengontrol kinerja pemerintahan ternyata malah lepas control.

Issue berita semacam ini bukan barang baru di telinga kita. Informasi sejenis, pada umumnya hanya kita terima lewat mulut ke mulut. Jadi sebenarnya, para anggota dewan kali ini sedang apes saja. Mereka kurang pintar menyembunyikan cara gerilyanya. Mungkin karena kurang lihai, masih amateur, jadi terkena batunya. Saya sarankan kepada yth. para anggota dewan atau pejabat pemerintahan yang sedang keluyuran ke luar negeri, kalau mau shopping sebaiknya malam hari dan usahakan 15 menit sebelum tokonya tutup. Jadi anda akan aman dari kuntitan candid camera para mahasiswa atau anggota lembaga non-profit yang masih cinta kepada Indonesia.

Anggota DPR adalah salah satu representative dari perwakilan bangsa/rakyat Indonesia yang “langganan” keluyuran ke Luar Negeri dengan berbagai alasan. Realitanya, ternyata keluyuran ke luar negeri bukan hanya dominasi anggota legislative saja, para eksekutifpun tidak kalah gencarnya. Bagaimana dengan US, khususnya Houston? Sebagai kota pusat energy sedunia, bukankah menjadi ladang empuk bagi preman pemerintahan untuk mem-palak-i perusahaan minyak yang mempunyai operasi di Indonesia? Banyak preman di lingkungan pemerintahan yang paling tidak memperoleh jatah sekali setahun untuk datang ke Houston. Alasan kerja? Atau inspeksi ke Head Quarter? Wah…kalau bicara alasan, bisa dibuat dan macam-macam modelnya. Anda tinggal pesan saja, nanti alasan akan muncul dalam bentuk dokumen resmi. Kenapa tidak pernah terungkap? Karena biayanya masuk dalam cost-recovery? Mungkin saja. Namun yang jelas, praktek semacam ini sudah seperti bagian dari deal bisnis. Wallahualam.
Saya bukan latah sehingga ikut-ikutan ingin mendirikan organisasi semacam Corruption Watch di Houston. Saya hanya membayangkan betapa nyamannya kalau sebuah lembaga melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi yang diembannya. Tidak akan ada lagi issue miring. Misalnya, ini misalnya lho. Kalau lembaga A fungsinya sebagai public service, ya… belajarlah untuk melayani masyarakat dengan baik. Pilihlah seseorang yang duduk di front desk yang murah senyum, ramah dan gaya bicaranya yang lemah lembut baik face to face maupun melalui telepon. Tidak harus yang ganteng atau cantik, yang penting setiap tamu yang datang merasa welcome. Namanya juga menjaga sebuah image, kalau first impression sudah kecut, jangan harap service kita akan direkomendasikan ke orang lain. Sudah tampang jelek, cemberut melulu, ditambah kalau ngomong ketus dan sok sekali. Wah.. lengkap sudah penderitaan public service kita.

Saya membayangkan nanti akan ada “IATMI-Houston Watch”, tugasnya mengawasi kerja ketua, sekjen dan bendahara. Kalau mereka tidak becus mengurus lembaga yang dipimpinnya, kita tendang mereka keluar, ganti dengan siapa-siapa yang lebih mumpuni. Jangan mereka-mereka yang kelas kacangan yang dipasang untuk memimpin sebuah lembaga. Mungkin kita perlu juga “KJRI-Houston Watch”, yang bertugas mengawasi cara kerja lembaga ini, effektifitas jam kerjanya, fungsi yang diemban, dll. Dan macam-macam lagi. Tidak perlu risih, takut, marah, atau keki. Kalau memang kerjanya bagus kenapa harus takut. Tidak ada yang superior dan semua orang bekerja sesuai dengan tugasnya. Tidak ada lagi yang merasa penting dan merasa dibutuhkan. Aneh saja rasanya hidup di alam merdeka tetapi masih menyaksikan gaya feudal, gaya antara priyayi dan bawahan.

Dampak psychologis yang akan muncul adalah pejabat (DPR atau pemerintahan) yang akan “tugas” ke Houston akan berhati-hati. Paling tidak mereka akan catch up dengan lingkungan yang sudah terbentuk. Mereka-mereka yang dikirim bukan kualitas kacangan, tetapi professional. Tidak bermental minta ditraktir seenak udelnya sendiri, shopping oleh-oleh ke mall buat atasannya di kantor dengan biaya rakyat, main golf dengan biaya rakyat, atau pergi ke night club dengan biaya rakyat. Mereka akan aware bahwa di Houston ada anjing Herder (keturunan Jerman) yang akan menyalak yang suaranya akan sampai ke harian nasional di Jakarta dan seluruh pelosok tanah air.

Website kita sudah punya, apalagi digital camera, hampir setiap anggota punya. Menunggu apa lagi kita? Anjing Herder atau Doberman kali ya? (Prahoro Nurtjahyo, 2 Agustus 2005)