Thursday, May 28, 2015

Saya (Tidak) Menangis


Menangis karena perpisahan itu perlu. Bahkan, bisa jadi menangis itu harus. Tidak selamanya menangis itu identic dengan cengeng. Bagi saya, menangis bisa menjadi sesuatu yang indah, worth-it,  dan “bermutu” jika di setiap tetesan air mata yang jatuh adalah symbol betapa sakitnya hati ketika persahabatan itu harus dipisahkan.  
Melankonlis sekali? May be. Romantis-kah? Not necessary.  Makanya, kalau sampeyan melihat seseorang menangis, bisa jadi itu bukan karena dia cengeng. Bisa jadi, dia takut jika kenangan indah yang sudah terjalin di tempat ini, tidak dapat diulang lagi di tempat lain.  Iya khan?   
                    

Saya sering bertanya
“Kenapa kita harus berpisah? Mengapa sampeyan dan saya harus dipertemukan kalau akhirnya dipisahkan juga?”

Semuanya adalah rahasia Alloh. Bertemu karena Alloh. Berpisah juga karena Alloh.  Ketika pertama bertemu dengan sampeyan, saya bertanya kepada Gusti Alloh, “Duh Gusti, kenapa saya dipertemukan dengan sampeyan?” Tidak serta merta saya dapatkan jawabannya. Allah hanya menuntun kita dengan Qodo dan Qodar-Nya agar berpikir bahwa semuanya sudah dituliskan di Lauful Mahfudz jauh sebelum manusia ini dilahirkan di muka bumi. Memang terkadang perlu waktu untuk menerjemahkan Kalam-Nya. Kita saja yang sering tidak sabar untuk menantikan rahasia apa sebenarnya. Dan semoga sampeyan dan saya diberikan kesabaran, ilmu dan kuasa untuk segera tahu alasan mengapa kita dipertemukan.
Demikian juga, ketika harus berpisah.  Alloh telah mencukupkan pertemuan sampeyan dan saya karena sesuatu yang terbaik sudah menanti kita didepan sana.  Apa itu? Wallohuallam. (Prahoro Nurtjahyo, 28 May 2015).

Wednesday, May 20, 2015

Berkaca Dari Masa Lalu

Setiap peristiwa yang terjadi selalu didahului oleh suatu sebab. Kata “sebab” umumnya terjadi karena perbedaan cara memandang dan menyikapi. Komunikasi yang tidak utuh adalah kontribusi utama yang menjadikan permasalahan yang seharusnya simple menjadi complicated dan ruwet. Ternyata bentuk komunikasi inilah yang menjadi sumber keresahan yang ada sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini.

Ketika Habibie meng-komunikasi-kan segala uneg-uneg nya melalui buku, maka sudah dapat ditebak akan ada yang pro dan con tentang isi dari buku itu.  Selama masyarakat kita mampu mengartikan bahwa informasi yang ada di buku itu adalah sisi pandang si Habibie, tentunya masalahnya selesai di situ. Iya to? Jangan sampai, tulisan itu (yang masih berupa personal opinion) dijadikan sebagai acuan atau dasar hukum untuk bertindak. Lha modar kowe kalau begitu caranya. Iya khan?

Ketidakberdayaan masyarakat dalam menganalisa sebuah kejadian, sering kali dimanfaatkan oleh beberapa pelaku untuk menghujat atau membenci.  Yang nanti ujung-ujungnya adalah demo.  Padahal belum tentu mereka yang ikut demo itu, tahu persis apa yang dia demo-kan. Nah proses pembelajaran inilah sebenarnya yang menjadi tugas dari para cerdik cendikia untuk terus menyebarluaskan ke semua elemen masyarakat untuk think… think… think… dan tidak mudah ter-provokasi. Mikir !!!

Biarkan Habibie dengan segala ceritanya, biarkan Prabowo dengan counter ceritanya.  Biarkan Jokowi dengan segala blusuk-kannya, biarkan yang anti-Jokowi dengan cercaan-nya. Pasti ada sesuatu yang path-nya akan bersilangan dari cerita mereka berdua. Dari sanalah kita para pembaca, kawula cilik ini, untuk menganalisa kasus per kasus dan akhirnya pada suatu kesimpulan pribadi (masih opini sifatnya) bahwa ternyata si A yang berkata make sense, sementara si B adalah pelawaknya.  Tidak ada dari kita yang tahu sebenarnya apa yang terjadi. Karena kebenaran mutlak itu hanya milik Alloh SWT.