Wednesday, November 10, 2004

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Indonesia

Kening saya secara otomatis berkerut ketika membaca buku tentang anotomi tubuh khususnya bagian otak. Ternyata semua otak manusia berbentuk sama. Seseorang yang dilahirkan di New Delhi, India atau di Ponorogo, Jawa Timur akan mempunyai bentuk dan ukuran yang mirip. Akhirnya saya berani berkesimpulan, otak orang-orang Indonesia sama dengan otak orang-orang dari negara lain. Yang membedakan adalah bagaimana masing-masing orang mengisi otaknya sehingga mempengaruhi cara berpikirnya. Jadi adalah tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa bibit SDM Indonesia termasuk dalam kelas kacangan, bukan bibit unggul. Sehingga kalau ada satu yang kelihatan encer, cepat-cepat mereka mengatakan “O..si A itu perkecualian”.
 
Tentang kharakter sebuah masyarakat, kalau dibaca dari sejarah (terutama setting kerajaan), bukan saja ditanah Jawa, tetapi hampir di semua belahan dunia, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah untuk sebuah kursi kekuasan. Lihat saja sejarah di Romawi, Yunani, India apalagi dari dataran Cina. Artinya, sifat dasar masyarakat Indonesia kurang lebih sama dengan mereka-mereka dibelahan dunia yang lain. 

Dua paragraph di atas memberikan data bahwa raw material-nya sama apakah itu orang Indonesia atau bukan (asal kakinya masih menginjak di planet yang sama, Bumi). Dalam konteks pemberdayaan SDM Indonesia saya melihat adanya kekuatan eksternal yang lebih kuat dibandingkan faktor internal. Namun sebelum melangkah lebih spesifik tentang SDM, mari kita lihat keberadaan negara kita Indonesia secara makro, yaitu idelogi sebuah negara.

 
Ideologi bernegara

Premis saya sebagai berikut “Penjajahan merupakan sumber perusak moral bangsa kita”. Saya percaya bahwa mentalitas feodal adalah warisan akibat penjajahan. Mari kita melek bersama, bahwa sekarang ini pemaksaan sebuah ideologi tidak lagi seperti jaman dulu ketika kita dijajah Belanda atau Jepang. Bentuk penjajahan sekarang ini sudah sedemikian halusnya seiring dengan isu globalisasi yang dihembuskan. Seolah kita semua meng-amin-i bahwa negara diseluruh dunia ini sudah menyatu, tidak ada lagi sekat geografis antar negara. Benarkah? Sebentar dulu. Jangan sampai kita terkecoh dan termakan oleh pernyataan ini. Untuk perkembangan teknologi IT, itu benar. Hampir seluruh negara di dunia ini tidak mempunyai kuasa menolak laju perkembangan teknologi ini. Teknologi ini telah mampu menggenggam dunia dalam hitungan detik. Bagaimana dari kaca mata ideologi bernegara? Benarkah seluruh dunia ini akan mempunyai idelogi tunggal? Tentu saja tidak. Itu adalah kharakteristik suatu bangsa. Ketika bungkusan ideologi ini dibuka di atas meja, maka kepada negara yang memiliki teknologilah yang akan men-driven negara lain. Inilah bentuk penjajahan baru.

 
Faktor eksternal
 

Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar bebas). Perdagangan pasar bebas bukanlah gosip atau rumor yang kehadirannya masih dipertanyakan. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah beli tiket dan akan datang ke negara kita dan akan menetap untuk jangka waktu yang lama. Siapkah kita? Bagaimana SDM kita menghadapi tamu ini?
Menganggap pembajakan tenaga ahli Indonesia sebagai hal yang lumrah adalah konsep nrimo, seolah kita tidak kuasa terhadap dampak globalisasi ini. Kita membiarkan mereka pergi karena kita tidak mampu bersaing dengan yang membajak. Dua akar permasalahan yang berbeda. Yang pertama, kita biarkan mereka pergi karena ada tawaran yang lebih baik. Alasan perut atau idealisme. Sedangkan yang kedua, ternyata treatment bangsa kita terhadap anak bangsa sendiri masih tergolong rasis dan tidak mempunyai nilai kompetitif. Rasis kok sama bangsa sendiri. Dari dua akar permasalahan tadi, alasan pertama lebih disebabkan karena alasan kedua muncul terlebih dulu.


Tidak mungkin SDM Indonesia yang dibajak adalah mereka-mereka yang hanya berkemampuan di atas rata-rata saja. Paling tidak mereka-mereka yang dibajak ini adalah mereka yang mempunyai kriteria jenis langka dibidangnya, dimana pembajak tidak mempunyai keahliannya.

 

Dalam era globalisasi, membiarkan SDM yang potensial (100% kemampuannya) dibajak artinya memberi kesempatan SDM negara lain untuk masuk. Akankah kita adu SDM Indonesia yang masih 50% kemampuannya diadu dengan SDM dari India atau Cina (misalnya) yang fully 100% kemampuannya? Kalau mau profesional, adu mereka dengan kekuatan yang sama 100%. Itu namanya profesional dan bukan karena alasan sesama bangsa Indonesia (KKN), yang berkemampuan 50% dimenangkan dan naik daun menjadi pejabat. Ini konyol namanya. Tidak heran, kualitas kita saat ini serba tanggung, akhirnya menghasilkan 4 kasta pejabat. Kasta pertama, berani dan berkemampuan. Kasta kedua, berani tetapi tidak berkemampuan. Kasta ketiga, tidak berani tetapi mempunyai kemampuan, dan yang Kasta keempat, tidak berani dan tidak berkemampuan. Kasta mana yang paling banyak isinya di negara kita? Ada dua, mereka yang berani tetapi tidak berkemampuan (yang penting ngotot dan berdalil "pokoknya") dan tidak berani tetapi punya kemampuan (nrimo tapi beban batin). Inilah salah satu sumbangsih kita bersama ketika mengikhlaskan para SDM yang berkualitas dibajak oleh negara lain.
 
Faktor Internal

Membentuk assosiasi keahlian di dalam negeri dalam upaya untuk mencegah lajunya SDM asing masuk ke Indonesia adalah ide bagus. Namun demikian harus juga ditunjukkan kepada mereka bahwa SDM kita memang berpotensi dan siap untuk diadu dengan mereka dipasaran. Kalau pengujinya mempunyai kemampuan lebih rendah dari yang diuji, para SDM luar negeri (India misalnya), bisa-bisa kita dikibuli apalagi para gelehe-gelehe atau nehi-nehi itu jagonya ngomong. Konsekuensinya? Pasang para SDM Indonesia yang handal untuk menghadapi SDM dari luar negeri ini.

 

Memperkuat barisan SDM di Indonesia. Perlu penghargaan bagi mereka yang memang potensial. Kita tidak usah iri. Mereka wajar untuk memperolehnya sesuai dengan tingkat kemampuan dan karyanya untuk pembangunan bangsa ini. Sambil waktu berjalan, mari manfaatkan sumber alam yang tersisa ini ditunjang dengan infrastruktur yang ada. Itu artinya, ada nilai kompetitif dan tujuan yang jelas mengapa kita jaga orang-orang yang berkualitas untuk berkarya dibidangnya di Indonesia. Ada reward dan pekerjaan yang jelas. Sasaran lainnya adalah ini bagian dari proses mencerdaskan kehidupan bermasyarakat bahwa gaji yang mereka terima adalah halal (karena memperoleh reward sesuai dengan jenis perkerjaan dan tanggung jawabnya), tidak makan gaji buta.
 
Kesimpulan
 

SDM Indonesia saat ini berpencaran kemana-mana tanpa ada arahan yang jelas mau dibawa kemana dan untuk apa. Jumlah ini akan terus bertambah jika kita masih menganggap bahwa pembajakan tenaga ahli Indonesia oleh negara lain adalah hal yang lumrah dan bukan merupakan sebuah ancaman. Adalah tugasnya pemegang kekuasaan (pemerintah) untuk menyiapkan blue print tentang visi kedepan. Teknologi apa saja yang ingin dicapai dan SDM jenis seperti apa yang diperlukan. Adakah kita punya SDMnya sekarang? Kalau ada, dimana? Kalau sudah ketemu, mau diapakan? Kalau belum ada SDMnya, apa rencana kita? Dengan visi yang jelas dan komitmen untuk pembangunan Indonesia, saya melihat ikatan psychologis kebangsaan lebih kuat daripada ikatan material. Ini akan mampu menarik SDM Indonesia dari manapun mereka saat ini mencangkul sawahnya untuk berkumpul bersama dan memikirkan satu perut, yaitu perut rakyat Indonesia.
 

Salah satu point yang ingin saya tawarkan adalah memperlakukan SDM Indonesia sebagai asset. Mari kita pelihara SDM kita untuk menghadang ideology negara lain. Jangan dilepas. Ini bukan urusan perut orang per orang tetapi keberlangsungan suatu tatanan bernegara yang harus kita junjung tinggi di atas usaha dan kaki kita sendiri. Tentunya, asset jangan sampai dibuang atau dibiarkan begitu saja. Kita teriak-teriak ketika satelit PALAPA kita dijual ke Singapura. Kenapa kita tidak teriak ketika para ahli kita dibidang telekomunikasi ini ditarik oleh Kanada? Kita lebih sayang barangnya melayang daripada SDMnya yang pergi. Perlu digarisbawahi, tidak semua yang pergi keluar negeri karena alasan perut. Banyak dari mereka yang berada diluar karena melihat hal-hal yang aneh di Indonesia untuk ukuran manusia yang beradab. (published in IATMI-Houston's website). (Prahoro Nurtjahyo, 10 November 2004)

Friday, November 05, 2004

Sumber Daya Manusia Indonesia: sebuah dilemma

Perhatian saya terpancing dengan tulisan di harian Kompas tentang hijrahnya pilot Garuda ke perusahaan penerbangan asing karena alasan suasana kerja yang tidak lagi kondusif. Tetapi kalau dibaca lebih dalam lagi, sebenarnya lebih disebabkan karena pihak perusahaan asing memberikan iming-iming fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ditawarkan oleh pihak Garuda. Selisih perbedaan gaji yang cukup signifikan ditambah bonus berupa mobil mengakibatkan Garuda kehilangan para Gatot Kaca-nya. Malahan jumlah pilot yang berterbangan dari Garuda ini diperkirakan terus bertambah. Sampai akhir tahun ini pilot-pilot yang keluar dari Garuda diperkirakan akan mencapai jumlah 50 pilot. Ini hanya salah satu contoh kasus yang ada di belahan bumi nusantara, khususnya tentang Sumber Daya Manusia (SDM).


Saya sering bilang ke seorang teman, ”Bersyukurlah hidup di negara kita, Indonesia ini. Negara yang banyak amal jariyahnya karena sudah diatur oleh Sutradara sebagai negara penyaji SDM tanpa mampu mengelola SDM itu untuk kemajuan bangsa sendiri.” Mari kita lihat, ketika negara negara di Timur Tengah memerlukan bantuan fisik, Indonesia dengan sigap menyajikan bantuan sejumlah tenaga kerja wanita. Juga, ketika Malaysia memerlukan tenaga ahli untuk merealisasikan visi mereka 2020 tentang penguasaan teknologi dirgantara, dengan cekatan puluhan Doktor kita berpindah ke Kuala Lumpur. Urusan IPTN megap-megap itu urusan belakang, yang penting berbuat kebaikan dulu untuk negara tetangga. Pembajakan tenaga ahli Indonesia sudah lumrah dan dianggap hal yang wajar. Kasus-kasus tersebut sudah berada di permukaan jauh sebelum kasus pilot Garuda yang muncul akhir-akhir ini.

Terlihat dengan jelas, bahwa kita ini tidak memiliki plot atau mapping SDM untuk jangka panjang. Strategi yang kita pakai masih dalam level responsif sesaat. Setiap gerakan kita mudah terbaca oleh negara tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. SDM bagi negara kita bukan merupakan aset yang harus di-kembangbiak-kan, tetapi lebih merupakan beban yang harus dilepas pada suatu saatnya tiba. Banyak para SDM berpotensi yang sengaja dibikin tidak betah di dalam rumah sendiri sehingga akhirnya terpaksa memilih berkeliaran ke luar negeri. Secara makro, yang beruntung jelas negara lain, karena tanpa susah payah berhasil mendapatkan tenaga terampil. Tanpa melalui proses menanam dan memberi pupuk, tetapi langsung memetik buahnya.

Para pakar bilang bahwa kesulitan utama masyarakat kita adalah kemampuan untuk membaca keadaan dan meresponnya dalam bentuk langkah-langkah strategis yang harus dilakukan. Sudah berapa lama kondisi SDM seperti ini berlangsung di negara kita? Apa response-nya? Nothing!

Menyelesaikan permasalahan SDM Indonesia dengan menggunakan hukum kesetimbangan adalah jelas tidak pada tempatnya. Hukum kesetimbangan dalam konteks SDM adalah membiarkan proses brain drain karena beranggapan akan selalu muncul lagi SDM pengganti. Ini adalah konsep naif. Inilah mental yang dihasilkan akibat jaman penjajahan sehingga menciptakan budaya nrimo. Bagaimana konsep seperti ini bisa tumbuh dengan subur di negara kita? Otak dan dengkul sudah bertukar tempatnya!

Sekarang sudah tiba waktunya untuk berubah. Budaya nrimo hanya sebuah pakem yang sering disalah artikan dengan pengertian Tawakal. Pengertian nrimo lebih mengarah kepada kepasrahan sebelum melakukan response. Masyarakat yang madani mengimplementasikan response terhadap semua perubahan yang datang dengan menggunakan otak, nurani dan keberanian untuk bertindak.

Jadi, apa solusinya? Sejarah mencatat bahwa ada dua jenis pekerjaan yang ketika kita sudah mati masih diperbincangkan oleh orang lain. Apa itu? Pertama, menghasilkan karya tulisan yang dapat memberi manfaat bagi pembacanya. Kedua, melakukan sesuatu sehingga orang lain akan menuliskan apa yang sudah kita lakukan. Maka, pilihlah satu diantara dua pekerjaan di atas, setelah itu mari kita berdoa semoga diberi kemampuan untuk berbuat sesuatu demi masyarakat di sekitar kita. (Prahoro Nurtjahyo, 5 November 2004)