Tuesday, November 03, 2009

Pohon Cemara Sialan

Sudah seminggu ini saya dan istri uring-uringan. Bukan hanya sekedar uring-uringan, yang lebih seru lagi, Istri saya melakukan aksi mogok masak. Oalah...memang yang namanya kehidupan rumah tangga, akan ada fluktuasinya, itu part dari romatisme keluarga. Saya bisa menerima kondisi fluktuasi itu. Tetapi kalau ada bagian mogok masak.... nah... inilah source masalah yang saya tidak sempat memperhitungkan side-effectnya. Sementara saya paling tidak tega untuk membiarkan dewa perut saya ini keroncongan. Jadi bagi saya, kehidupan seminggu ini adalah skak mat yang diberikan Istri kepada posisi saya dalam mengambil sikap.

Inti permasalahan dari pertengkaran kami ini sebenarnya berangkat dari hal yang sangat sepele, yaitu keberadaan pohon cemara di dekat pintu garasi sebelah utara rumah. Dua tahun yang lalu, kami membeli sepasang pohon cemara yang kurang lebih mempunyai ukuran yang sama, baik dari segi besar maupun tingginya. Sewaktu kami beli, pohon itu kurang lebih setinggi 75 cm dari tanah. Pohon cemara yang masih kecil dan kelihatan mungil itu memang enak dipandang mata. Memang dari awal rencananya akan ditanam berpasangan, kiri dan kanan. Tetapi, karena faktor lain (saya sendiri lupa pasalnya apa), akhirnya kami bersepakat untuk menanamnya satu di depan dan satunya lagi di belakang.



Waktu terus berjalan, entah karena siraman air atau pupuknya yang berbeda, pohon cemara kami yang berada di depan rumah, terlihat lebih besar dibandingkan dengan saudara kembarnya yang di tanam di belakang. Tingginya melesat cepat dalam kurun 2 tahun telah mencapai hampir 3 meter. Sementara yang dibelakang masih berkutat dengan bilangan 1.5 meteran. Edan.... Meski sudah semakin besar, rasa kagum saya pada pohon ini tidaklah berkurang sedikit pun. Saya melihat pohon cemara ini masih konsisten dengan bentuk asalnya. Semakin tinggi semakin lancip dan semakin besar dibawah. Inilah salah satu jenis pohon yang saya kagumi karena banyak ranting dan daun pada bagian bawah lebih besar/banyak dibandingkan bagian atas.

Keperkasaan pohon cemara di depan rumah ini kemudian menjadi biang permasalahan keluarga kami. Karena tingginya inilah akhirnya menutupi cahaya lampu yang posisinya tepat di balik pohon yang besar itu. Istri saya akhirnya mulai ngedumel.

Katanya suatu ketika, ”Wah pohon cemara ini waktunya dipotong karena menutup cahaya lampu”.

Mendengar statement itu, saya langsung menjawab dengan sewot, ”Enak saja... Hidup di kampung ini untuk survive saja sudah setengah mati effort-nya. Ini pohon hidup yang sudah kelihatan besar dan bagus... malah bingung untuk di babat.”

Perselisihan pendapat tentang pohon cemara itu mulai terangkat dan meski belum pada keputusan final, akhirnya kita sepakat untuk menyelesaikannya kemudian.

Musim dingin sudah mulai memasuki kampung kami. Kedatangannya ditandai dengan ”waktu malam” yang semakin cepat. Tidak seperti biasanya, hari itu saya pulang lebih cepat. Alangkah kagetnya saya begitu melihat pohon favorit cemara saya yang cantik telah berubah seperti Doraemon. Pohon cemara yang seharusnya tinggi menjulang, sekarang berubah seperti Snowman punya dua pantat besar. Oalahhhhh salah apa pohon ini kok di-abuse nggak karu-karuan.

Ingin sekali menggerutu dengan keputusan memotong pohon ini. Saya mencoba untuk mengumpulkan semua argumentasi sambil menarik nafas dalam dan akhirnya terkumpul juga kekuatan untuk bilang ke istri,

”Memangnya sampeyan ini mau membikin apa dengan pohon cemara itu?” Kata saya setelah berhasil menenangkan diri.

Si Istri yang sepertinya tersinggung dengan kata-kata saya, langsung menjawab, ”Yang penting sekarang tidak lagi menutupi cahaya lampu. Jadi lebih terang khan halaman depan kalau pas malam hari”.

Dengan suara yang dalam saya katakan, ”Ada banyak macam pohon yang memang cantik kalau dibentuk. Ada jenis pohon yang akan lebih cantik kalau ada sentuhan tangan manusia terlibat didalamnya. Jenis pohon penitian misalnya. Daripada nggak karu-karuan ranting dan daun-nya, maka akan lebih indah kalau dirapikan sekalian dibentuk sesuai dengan ketrampilan manusianya. Seperti rumah di ujung komplek perumahaan ini. Dimana pohon perdu itu dibentuk seperti kuda. Itu memang tanaman yang cocok untuk dibentuk”.

Saya teruskan lagi, ”Nah sialnya, pohon cemara ini bukan jenis tanaman perdu seperti itu.”

Istri saya-pun tidak mau kalah, ”Lho memangnya setelah saya bentuk nggak kelihatan seni gitu?”

Sambil garuk-garuk kepala saya bilang, ”Seni ya seni.... hanya saja, pohon cemara itu memang lebih indah kalau dibiarkan alami menjulang tinggi seperti segitiga sama kaki dimana bagian bawahnya akan kelihatan lebih besar dan semakin mengerucut ketika sampai di ujung atasnya. ”

Karena sudah jelas nyempal dari tatatan pakem pohon cemara itu sendiri, sambil menelan ludah saya tambahkan, ”Kecuali kalau pohon cemara ini akan diikutkan kontes badut. Mungkin dia bisa menang. Lha wong sekarang pohon itu tidak lagi menjulang tetapi sudah berubah seperti Semar atau Bagong dengan dua perut buncit”.

Keesokan paginya, Istri saya langsung mogok nggak mau mengerjakan apa apa lagi. Katanya, ”kalau semua yang saya lakukan nantinya berakhir dengan salah... lebih baik saya diam saja.” Tentu saja action ini membikin kami semua menjadi kalang kabut. Unexpected one. Sudah tidak mempan lagi semua rayuan saya maupun anak-anak untuk membuat istri saya bergeming memasak kesukaan kami. Dengan tiduran sambil membaca majalah, istri saya berkata, ”Kapok-mu kapan, lha wong seni memotong ranting tanaman kok dibilang kayak badut Doraemon. Enak saja. Coba sekarang Sampeyan masak sendiri sayur lodehnya... nanti saya mau komentar rasanya seperti apa. Berani?”.

Tentu saja saya tidak berani menerima tantangan itu. Apes benar. Gara-gara pohon cemara sialan itu saya harus makan indo mie rebus selama dua hari terakhir ini. Ampun ampun..... (Prahoro Nurtjahyo, Selasa, 3 November 2009)

2 comments:

Crescent Luna said...

ini cemara jenis apa ya pak? kok bagus??

Anonymous said...

istri sampean takut dikira orang kristen karena punya pohon cemara! waekekekkkkkkkk.....