Friday, August 03, 2007

Minyak-ku Menjelang 62 tahun Usia Kampung-ku

Manajemen pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia memang sudah terlanjur salah kaprah. Karena potensinya untuk menghasilkan dollar yang besar, maka tidak heran kalau sumber daya alam jenis ini selalu menjadi primadona dan berbuntut rebutan dari para pemegang kekuasaan. Dari rebutan ini siapa yang menang? Tentunya hukum rimba yang akan berlaku, siapa kuat dia yang akan menang. Apalagi kalau dalam rebutan tadi ada yang membawa supporter. Dan kalau supporternya ala bonek yang lengkap senjatanya (batu, parang, celurit, bedil, tank, atau yang lain)… wow jaminan pasti OK dan tidak akan kalah dalam peperangan (lha wong lawannya hanya bambu runcing saja :-)). 

Sudah 62 tahun Indonesia merdeka. Dari usia inilah sebenarnya kita harus menengok kembali apa saja yang sudah kita persiapkan untuk generasi selanjutnya. Kalau ternyata tidak ada korelasi yang mengikat antara usia kemerdekaan suatu bangsa dengan kesejahteraan rakyatnya, maka bangsa itu tidak pernah belajar dari rentetan peristiwa yang turut mengukir keberadaanya.

Satu decade terakhir, produksi minyak Indonesia secara perlahan tapi pasti menunjukan angka penurunan. Jangankan untuk memenuhi target pemerintah di atas 1 juta barrel per harinya, saat ini untuk mengejar produksi sampai 1 juta barrel per hari saja sudah empot-empotan. Masalah satu belum diselesaikan, sudah muncul masalah yang lain. Terkadang masalah yang kecil dibesar-besarkan, sementara permasalahan yang principal sering dilupakan. Untuk satu decade ke depan, ketergantungan negara ini terhadap sumber daya alam (minyak dan gas bumi, khususnya) masih sangat tinggi. Untuk itu, beberapa beberapa hal yang akrab dengan dunia perminyakan Indonesia harus memperoleh perhatian ekstra, diantaranya adalah:

Pertama, karena eratnya bidang ini dengan ranah perpolitikan, maka perlu garis komando yang langsung di bawah orang pertama. Jangan ada tangan-tangan lain yang ikut memberi warna dalam melakukan fungsinya sebagai pengawal devisa terbesar di negeri ini. Ini sebenarnya sudah dijabarkan, dimana BPMIGAS direct report nya langsung ke Presiden RI. That has been done. What’s next? Permasalahan berikutnya adalah kualitas dari para sumber daya manusia yang berada dalam wadah ini. Industri bidang ini sangat menggoda seperti mbak Inul Daratista kalau lagi ng-goyang ngebor :-). Tanpa kita sadari, tahu-tahu kepala kita ikut goyang, sambil sesekali menelan air ludah. Untuk itu Nurani adalah teman setia yang harus dijaga. 

Banyak cerita miring tentang perorangan di dalam lembaga ini yang sering menjadi preman (baca: tukang palak) perusahaan minyak atau para kontraktor. Dalam perjalanan “kerja” ke US, mereka mampir ke LA dan meminta nginep-nya di daerah Beverly Hills. Dengan seenaknya belanja ke Mall, dan yang bayar adalah ”ajudan” yang menemani mereka dari Indonesia. Memakai aji mumpung demi oleh-oleh untuk keluarga atau kolega? Cerita-cerita seperti ini bukan sekali atau dua kali, tetapi banyak sekali dan berbeda versi karena berbeda pelaku. Sudah bukan lagi rahasia bahwa mafia seperti ini sudah ada dari dulu.

Jangan mentang-mentang karena semua peraturan industri perminyakan dan gas bumi harus melalui BPMIGAS, kemudian dengan seenaknya perorangan didalamnya mem-fungsi-kan dirinya sebagai penjual tanda tangan (sebagai approval) pada sebuah Project. Citra lembaga ini harus segera dibersihkan dari biang kerok orang-orang seperti ini. Jangan sampai konsep yang sudah bagus ternodai oleh perilaku perorangan yang memanfaatkan jabatannya sebagai karyawan BPMIGAS.

Kedua, Industri perminyakan Indonesia mandeg tidak dapat berkembang karena fungsi utamanya sebagai industri yang seharusnya dikelola secara profesional berubah peran sebagai sapi perahan yang harus menghidupi lembaga pemerintahan yang lain. Bagaimana akan memutar hasil kekayaan alam ini untuk pengembangan bisnis berikutnya kalau fungsinya hanya sebagai sapi yang diambil susunya saja? Coba kek di cari sapi pejantan biar nanti keluar anak-nya… dari anak-anak itu kalau sudah besar bisa diambil susunya, demikian seterusnya. Lha wong ini negara aneh… sapi cuman satu… nggak pernah ada pejantannya dan banyak rombongan yang ikut ngedot susunya, ada Ristek, Hankam, Keuangan, Deplu, dan masih seabreg lainnya. Belum lagi kalau yang nyusu ini ada yang nakal dan ngembat semua susunya sehingga jatah yang lain nggak kebagian.

Ketiga adalah program pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Industri ini mulai menggeliat dan menjadi primadona di negara kita sejak tahun 1970an. Masak sih dari tahun itu hingga sekarang, negara kita tidak pernah belajar? Masihkah kita perlu mendatangkan para ekspatriat dari luar negeri karena alasan tidak ada orang local yang mampu? Kalau satu orang ekspatriat saja, total komponen biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah berkisar antara USD 800 ribu – 1 juta per tahun. Pertanyaannya adalah ada berapa orang ekspat perminyakan di Indonesia? Sudah berapa tahun mereka tinggal di Indonesia? Sedemikian pemurahnya kah bangsa ini? Atau jangan-jangan ini terjadi karena kita ini tidak mempunyai power untuk bargaining sehingga semudah itulah para ekspat berkeliaran di Indonesia? Sudah sedemikian tipisnya kah tingkat kepercayaan para petinggi negara terhadap kemampuan anak bangsa sendiri?

Berapa banyak pakar perminyakan Indonesia yang sekarang “disandera” di Houston, Kuala Lumpur, Timur Tengah atau North Sea oleh para perusahaan minyak itu? Karena perusahaan mereka tahu, kalau mereka pulang, posisi penting para bule yang ada di Indonesia akan terancam untuk digeser. Dengan segala fasilitas dan iming-iming tunjangan hari tua yang selangit, tentunya banyak yang lebih merasa settle, aman dan happy dengan pekerjaan mereka di luar negeri. Tetapi selalu saja ada yang namanya perkecualian. Masak sih dari 100 orang Indonesia yang bekerja di bidang Oil and Gas di Houston (belum termasuk yang bekerja di North Sea, Kuala Lumpur, Timur Tengah), semuanya enggan untuk pulang kampung kalau melihat ada program yang jelas, accountable dan memperoleh enforcement dari Pemerintah?

Keempat, Jangan buru-buru alergi dengan issue local content, baik itu berkaitan dengan resources maupun SDM. Apakah kalau semuanya harus tenaga local, artinya sama dengan proyek nasionalisasi seperti yang saat ini sedang dilakukan oleh Venezuela? Ketika konsep ini mulai kasak-kusuk dimunculkan pada era 1980an, yang justeru berantem adalah sesama anak bangsa sendiri. Kok bisa? Itulah kenyataannya. Pihak yang satu merasa harus membela perusahaan yang telah memberikan nafkah demi alasan loyalitas dan profesionalisme pekerjaan (hebat juga ya… brainstorming dari perusahaan minyak asing ini), sementara pihak yang lain merasa sangat PD bisa meng-handle sendirian tanpa bantuan asing. Kedua madzab ini tetap exist hingga saat ini. Luar biasa sekali bangsa Belanda yang telah berhasil menanamkan mental inlander selama 350 tahun dan terbawa hingga jaman (yang katanya sudah) reformasi seperti sekarang ini.

Apapun istilahnya, apakah itu nasionalisasi atau privatisasi atau negaranisasi, harus ada willing dari para penguasa perminyakan Indonesia ini untuk berbuat lebih yang hasilnya tidak hanya dinikmati oleh para TKI (plus keluarganya) yang bekerja di dunia perminyakan saja, namun sharing kesejahteraannya bisa meluas jangkauannya ke masyarakat yang lebih pelosok. Apalagi dengan harga minyak yang tinggi seperti sekarang ini.

Kelima, kondisi mismanagement untuk bidang perminyakan yang ada di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Memang untuk mengubahnya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Jadi tidaklah mengherankan ketika issue yang berkaitan dengan perminyakan diangkat kepermukaan, maka banyak sekali yang memilih untuk STATUS QUO. Mengapa? Paling tidak ada dua alasan utama. Alasan pertama, beberapa dari mereka ini tidak melihat adanya peluang untuk berubah karena kondisinya memang sudah bobrok sama sekali. Jadi apapun perubahan yang ditawarkan akan useless. Daripada menghabiskan energy dan tidak ada jaminan bahwa system yang baru nanti tidak memunculkan sindikat/mafia baru, maka mereka lebih memilih untuk jalani yang sudah ada saja. Alasan yang kedua adalah sebagian (kecil) ada yang diuntungkan dari system yang berjalan selama ini. Lha kalau sistem ini diganti khan arti setoran ke kantong akan turun. Diperlukan kesadaran dari semua pihak, terutama yang selama ini memperoleh privilege akibat mismanagement ini. Pertanyaan dasarnya adalah seberapa besar kerelaan mereka untuk mengalah karena jumlah setoran yang ”sudah rutin” masuk ke kas keuangan mereka akan berkurang?

Perubahan yang terjadi di dunia perminyakan Indonesia mempunyai dampak yang langsung terhadap perekonomian rakyat terutama kelas bawah. Apapun andil yang diberikan oleh para pemegang kekuasan di dunia perminyakan Indonesia, akan berdampak dan mempunyai long term effect terhadap sosiologi masyarakat kita. Diperlukan kesadaran bersama bahwa banyak saudara kita yang lain yang kehidupan sehari-harinya masih sangat jauh dari layak. Banyak dari mereka yang menjalani puasa karena memang tidak ada yang dimakan. Pendidikan semakin menjadi impian karena biaya yang mahal apalagi untuk masuk jenjang perguruan tinggi. Semua komoditi pangan menjadi barang yang mewah karena distribusi dan kemampuan daya beli masyarakat yang timpang. Sementara industri minyak yang diharapkan dapat meneteskan air segar untuk melepas dahaga mereka ternyata semakin jauh dari yang diharapkan mereka.

Final remark, sebagai renungan kita bersama menjelang 62 tahun usia kemerdekaan negara kita. Coba bayangkan, mereka-mereka yang tidak mengenyam pendidikan yang cukup maka secara statistik dapat diprediksi kebanyakan dari mereka akan menjadi penganggur. Kalau sesama penganggur berkumpul dan setiap hari menyaksikan anda yang berkendaran BMW atau sejenisnya seliweran seolah mengejek nasib mereka, maka ada dua kemungkinan yang akan mereka lakukan: pertama, berdoa agar nasib anak-anak mereka tidak sejelek nasib orang tuanya. Kemungkinan kedua, bisa jadi mereka mengumpulkan teman-temannya sesama penganggur untuk menggarong rumah anda. Siapkah anda?
(Prahoro Nurtjahyo, Awal Agustus 2007)

8 comments:

Anonymous said...

Kawatir juga saya nih, kalau usia 62 tahun justeru diterjemahkan sebagai usia menjelang pensiun. Dulu si PNS dan ABRI dikenal dengan sebutan MPP (Masa Persiapan Pensiun), yang kemudian diplesetkan sebagai Mati Pelan Pelan.
Ach.. bisa saja kau Ucok..!

Anonymous said...

Mas sentuhan yg hakiki, kembali kepada kita manusia dgn ketulusan nurani-kalbu. Thanks for sharing

Anonymous said...

wah keras ini....hhehehehehe......

Anonymous said...

Suwun Cak atas komentator lan opo seduluran karo komentator iku mau...itulah Indonesia sing gak jelas juntrungane...sing pinter podo wegah manggon nak indonesia, sing pinter njilat sing manggon nak indonesia...yo iku mau sing guuooblok yoo uuakeh cak....opo isik kudu muni MERDEKA.....MERDEKA....MERDEKA....lha yaopo iki opo awak peno wis merdeka....ancor pesena telor ta' iye

Wassalam
RJ

Anonymous said...

Wah, itu analisa yang sangat dalam sekali Pak..

Kita semua tidak tahu harus mulai dari mana, yang
jelas mentalitas saat ini bukan untuk kepentingan
bersama tetapi untuk kepentingan diri sendiri.

coba kita lihat sejarah Amerika, mereka yang sangat
berkuasa kadang bisa mengambil suatu keputusan jangka
panjang seperti untuk menghapuskan perbudakan. dimana
konsekuensinya bukan cuma kerugian finanial bagi
golongan mereka tetapi adalah perang saudara. banyak
orang yang akan terbunuh untuk membebaskan budak.

Hal yang paling penting adalah seorang pemimpin yang
memiliki visi jauh kedepan dan bisa memberikan jaminan
kesejahteraan. tapi itu juga sulit karena pemimpin
sendiri, kesejahteraannya tidak terjamin.

Negara Indonesia itu sangat kaya potensi yang akan
selalu diperebutkan dengan segala cara. sampai suatu
ketika ada suatu rombongan/group yang bisa merubah
tatanan untuk kepentingan bersama.

Kita ini susah di atur dan selalu mendambakan
kesantaian yang di bungkus dengan demokrasi dan
kebebasan.

Tapi percaya -tidak percaya, suatu saat nanti (entah
kapan) kita pasti akan lebih baik...................

Anonymous said...

Matur Suwun, Ro, atas ilmu dan pencerahannya.

Yang luar biasa adalah: seolah kawan kita ini menulis dari salah satu
pojok Sidoarjo sehingga tahu persis ngebor-nya Mbak Inul mempunyai daya
tarik yang luar biasa, pada hal kawan kita ini sedang di Pojok Ngamerika
sana. (Tapi jangan2 memang harus begitu untuk, sebuah obyektifitas
dipersyarati oleh adanya jarak. Sebagaimana telapak tangan terlihat hanya
jika ada sejumlah centi jarak dengan mata kita. Kalau telapak dan mata tak
berjarak kegelapan semata yang ada)

So, ndang moliho. Dandan2 bareng dalam kapasitas kita masing2. 'Perintah'
ini sepenuhnya dapat batal kalau awakmu merasa lebih efektif kalau
dandan2mu dilakukan dari rumahmu yang sekarang.

Anonymous said...

" Kalau sesama penganggur berkumpul dan setiap hari menyaksikan anda yang berkendaran BMW atau sejenisnya seliweran seolah mengejek nasib mereka, maka ada dua kemungkinan yang akan mereka lakukan: pertama, berdoa agar nasib anak-anak mereka tidak sejelek nasib orang tuanya. Kemungkinan kedua, bisa jadi mereka mengumpulkan teman-temannya sesama penganggur untuk menggarong rumah anda. Siapkah anda? "

*....lha piye maneh Cak, hanya itu yang mampu mereka lakukan tuk saat ini. Sedangkan yang punya kesempatan tuk melakukan perubahan yo wiss lalilah kalau dach urip kepenak. Apa kita, opss sorryy bukan kita tapi mereka yang tlah dapatkan kedudukan ataupun posisi tuk lakukan perubahan (walaupun hanya sedikit) mau bertaruh korbankan yang tlah mereka raih untuk kepentingan orang banyak????.....kita adalah korban, baik kita sebagai individu maupun kita "negara indonesia" ..korban dari kebodohan sendiri. Nggak hanya sektor perminyakan, semua sektor terkait sumber daya alam kita terekploitasi oleh kepentingan pemilik modal. Nuraniiii????...hanya saat menderita kita punya nurani, perlahan khan berbalik seiring perubahan nasib. Retorika nya mereka masih punya nurani .....realitanya,kepentingan pribadi yang berkedok kepentingan golonganlah yang muncul dipermukaan. Resaah???...smua yang masih punya nurani akan punya keresahan yang sama akan nasib bangsa ke depan. Bergesernya nurani
perlahan juga akan hilangkan keresahan ....laopo mikir wong liyo, cukup mikir awak dhewe lan keluarga plus teman dekat yang melindungi kepentinganne awak dhewe ae Rek!!! he he he he...jujur saat ini aku juga punya keresahan yang sama, tapi aku pribadi nggak yakin bila aku wis urip mapan opo yooo sik punya keresahan akan nasib bongsoooo???....kita lihat saja nanti!!!
Seandainya nuraniku masih ada kala kehidupanku bergelimang harta ....tak golek'i sampeyan Cak, lungguh bareng ngumpulno konco sing wis mampu lan sing duwe kepentingan yang sama, kepentingan dandani kondisi sing wis kadhung bobrok lan siap dadi "kere" maneh jika kalah bertarung. Namanya juga tarung khan Cak, yen menang "kepentingan" kita bisa terakomodir yeen kalaaah yoooo...........timbang awakku tambah mumeeeeeeeeeettttttttttt mending turu ae persiapkan fisikku buat lomba lari karung nang kampung, lumayan lek menang hadiahe rokok sak karuuung he he he...nang kono opo onok lomba tujuh belasan??...:)


Wassalam
Badrus Salam

Anonymous said...

Pak Prahoro,
Tulisan anda sangat patriotik, dan semua yang anda sampaikan mengenai mismanagement itu benar. Hanya ada beberapa misperception yang ingin saya berikan komentar (urut berdasarkan tulisan anda):

1. Cerita miring tentang individu dalam lembaga BPMigas yang berfoya-foya diluar negeri atas biaya perusahaan minyak asing itu, saya yakin itu cerita lama. Sejak beberapa tahun yang lalu hampir semua perusahaan minyak asing, terutama major players seperti Shell, ExxomMobil, Chevron, dll, telah menerapkan UU Amerika Serikat FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) disemua wilyah operasinya diseluruh dunia termasuk Indonesia. FCPA melarang pemberian apapun juga pada pejabat negara yang bernilai diatas US$50.00. Pemberian $50 atau lebih rendah nilainya dibenarkan asalkan di dokumentasikan dan mendapat persetujuan company lawyer. Sejak FCPA diterapkan, perusahaan minyak hanya membayar biaya hotel, makan dan transport untuk semua pejabat BPMigas dan badan/kementrian lainnya yang melakukan perjalanan dinas ke luar Indonesia. FCPA tidak memungkinkan pejabat untuk mendapatkan bayaran untuk berfoya-foya lagi seperti di era 90'an dan 80'an. Mereka menghemat biaya hotel, makan dan transport untuk dapat membeli sekedar oleh-oleh buat keluarga di Indonesia.

2. Industri perminyakan Indonesia mandeg bukan karena dijadikan sapi perahan, tapi karena peraturan/UU yang tidak jelas dan tidak menarik untuk investor. Pengurusan izin yang berlarut-larut, Birokrasi yang tebal, tidak adanya commitment dari pemerintah untuk menghormati perjanjian, ributnya orang-orang non-perminyakan menuntut segala macam hal yang mereka sendiri tidak jelas, system PSC yang tidak menarik, hanyalah beberapa contoh yang membuat investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Dan ini berlaku disemua sektor, bukan hanya sektor perminyakan. Itulah sebab utama mengapa Indonesia tertinggal dari India, Malaysia, Vietnam dan tertinggal jauh dari China dalam hal pengembangan industri.l
Barangkali yang anda maksudkan dijadikan sapi perahan adalah PT Pertamina. Kalau itu yang anda maksudkan, anda 100% benar.

3. Tentu saja dalam batas tertentu perusahaan asing akan membawa expatriates bekerja di Indonesia. Bila anda memiliki perusahaan minyak yang beroperasi di Australia, saya yakin anda akan membawa orang Indonesia bekerja di perusahaan anda di Australia. Itu adalah hal yang wajar, bila masih dalam batas-batas yang wajar. Anda benar bahwa jumlah expatriates di Indonesia sudah tidak wajar, dan itu terjadi karena beberapa sebab:
- Lemahnya kontrol dari pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral MIGAS-Dept ESDM, BPMigas dan Departement Tenaga Kerja. Merekalah yang meloloskan para expats ini untuk bekerja di Indonesia. Dan seperti anda kemukakan, 85% biaya mereka (gaji, rumah, tunjangan, dsbnya) dibayarkan oleh pemerintah Indonesia melalui PSC (dengan asumsi bagi hasil pemerintah/kontraktor=85/15). Kontrol dari 3 instansi tersebut diatas memang sangat lemah dan kedodoran. Banyak expats yang bekerja di Indonesia sebenarnya tidak memiliki ilmu dan technology yang sangat tinggi. Banyak putra-putri Indonesia yang mampu melakukan pekerjaan yang sama.
- Kurangnya tenaga ahli perminyakan Indonesia di Indonesia, karena banyak sekali para senior melarikan diri ke luar negeri. Majoritas dari mereka pergi ke luar negeri secara sukarela untuk mencari penghidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Jadi tidak ada istilah "disandera" atau di "iming-imingi" seperti yang anda kemukakan. Yang ada adalah mereka mencari kesempatan untuk bekerja overseas, termasuk keluar dari perusahaan bila tidak diberikan kesempatan. Mengapa? Karena tenaga ahli perminyakan di Indonesia di hargai sangat rendah. Dengan ilmu dan pengalaman yang mereka miliki, dan bermodal bahasa Inggris yang bagus, mereka dengan mudah bisa mendapatkan penghasilan 2, 3 atau 4 kali lipat daripada yang mereka dapatkan di Indonesia. Bahkan dibeberapa negara mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya tanpa bayar alias gratis.
Asumsi anda bahwa pasti ada orang Indonesia yang bekerja overseas yang tidak akan enggan untuk pulang kampung, saya kira tidak benar. Semua senior perminyakan yang saya temui menyatakan memilih pindah ke Qatar atau Malaysia daripada harus pulang kampung. Pulang kampung adalah pilihan terakhir. Alasannya itu tadi: tenaga ahli perminyakan tidak mendapat penghargaan/penghasilan yang memadai. Akibatnya terjadilah brain-drain di sektor perminyakan Indonesia. Kepala BPMigas mengakui terjadinya brain-drain tersebut dalam sebuah wawancaranya tahun lalu. Tapi saya tidak melihat adanya langkah-langkah konkrit dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.

4. Local content adalah hal yang sangat bagus. Semakin banyak local content, maka semakin banyak industri local (berikut tenaga kerjanya) yang akan mendapat keuntungan dari industri perminyakan. Hanya saja local content itu haruslah dalam batas-batas yang wajar. Pengalaman saya tahun 1980'an waktu di Indonesia dulu: pemerintah memaksa kami menggunakan pipa buatan Indonesia untuk mengalirkan kondensat. Kami mencoba memberikan penjelasan bahwa pada waktu itu tidak ada pipa buatan Indonesia yang cocok dengan fluida yang akan dialirkan. Tapi pemerintah (cq. MIGAS dan BPPKA) berkeras supaya kami tetap menggunakan pipa buatan Indonesia sebagai local content. Dengan terpaksa maka di pasanglah pipa buatan Indonesia. Apa yang terjadi?. Tidak sampai 10 tahun kemudian kami terpaksa menanam pipa baru karena pipa lama telah bopeng dan berlubang-lubang. Penanaman pipa dengan biaya jutaan dollar US ini tentu saja harus dibayar oleh pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu kita harus berhati-hati menggunakan istilah local content karena itu akan menjadi bumerang buat kita.

Demikian sekedar komentar dari orang awam yang 100% bukan pakar perminyakan. Saya menyempatkan diri menulis komentar diatas karena menganggap tulisan anda sangat bermanfaat terutama buat generasi muda Indonesia.

Bila ada yang salah, mohon dimaafkan.

Regards,......Herman Husein