Tuesday, August 07, 2007

Anak saya Kasmaran

Terkadang me-mimpi-kan sesuatu memang harus sering-sering di-lafal-kan. Karena siapa tahu, kalau Gusti Alloh ridlo dan gregetan karena mendengar rengekan kita yang terus menerus, tiba-tiba impian itu berubah menjadi kenyataan dan datang dengan sendirinya. Hanya dengan Kun faya Kun maka terjadilah semuanya. Bukankah begitu Sunatullah itu? ”AKU adalah apa yang seperti hamba-KU fikirkan”. Allahu Akbar!

Untuk yang satu ini, saya harus banyak belajar dari anak saya yang paling besar. Menjelang memasuki usia teenager, tentunya banyak sekali informasi dari luar yang saya dan istri sering merasa tertinggal dibandingkan anak saya ini. Misalnya perkembangan musik, aturan sport, model sepatu yang lagi trendy, bahkan sampai model kaos kaki yang hanya sampai di mata kaki saja, dan masih banyak lagi yang lain. 

Tentunya adalah hal yang wajar, kalau sehabis pulang sekolah atau melihat acara iklan di TV, kemudian anak saya ini nyeletuk, ”Saya pingin punya itu” atau ”Wow... itu bagus... Can I have it?”. Biasanya saya dan istri selalu berebut untuk menjawab,”Ya... doain ayah biar dapat rejeki yang banyak. OK?” Jawaban klasik yang sama persis ketika dulu saya meminta ke kakek-nenek mereka. Jadi balas dendam nih ceritanya? :-)

Saya tidak tahu pasti apakah dia memang berdoa sungguh-sungguh untuk itu atau tidak, tetapi yang jelas selama satu tahun terakhir ini, hampir semua yang dia mimpikan hampir selalu dia dapatkan. Dan inilah janggalnya. Kenapa kok janggal? How? Lha wong saya dan istri tidak pernah membelikan, kok barang-barang ”impian” dia itu sekarang berada di rumah kami. Deretan kejanggalan itu semakin bertambah panjang karena ternyata barang berupa gift-gift ini bukan saja monopoli yang terfokus kepada anak saya yang memasuki usia teenager tadi, tetapi juga terdistribusikan merata kepada kedua adiknya yang lain.

Something is wrong then. “Yup... I smell something burned.” Suatu saat akhirnya saya dan istri berkesempatan berkenalan dengan keluarga “Santa Claus” yang sering mengirim gift “mimpi” anak-anak kami. Dari perkenalan itu akhirnya kami ketahui bahwa anak laki-laki kami ternyata teman satu sekolah dengan anak perempuan mereka. Wow begitu... jadi wajar khan? Ya iya... teman satu sekolahnya sih masih wajar... yang nggak wajar ya kiriman paket yang rutin itu tadi.


Dan semenjak pertemuan kami itu, gift ”mimpi” yang dikirimkan bukannya malah berkurang, tetapi semakin menjadi-jadi (menurut ukuran ekonomi keluarga kami). Kalau diawal-awal masih sebatas toys, cangkir souvenir, t-shirt, atau hiasan dinding, itu sih masih dalam skala yang wajar. Tetapi akhir-akhir ini bentuknya sudah merembet berupa Cell Phone, Sepatu Nike, iPod....weleh... weleh... lha ini khan menakutkan. Kalau semua mimpi manusia terpenuhi ketika hidup di dunia, apalah nikmatnya hidup ini? Bukannya mimpi itu indah disebabkan karena ke-tidak real-annya?

Entah dari mana asal muasalnya, beberapa bulan terakhir anak teenager saya ini sangat mem-mimpi-kan (gandrung sekali untuk) mempunyai mobil Sport merk tertentu. Setiap kami sekeluarga bepergian, dia selalu girang bukan kepalang kalau sudah melihat mobil sport jenis tertentu itu melintas atau berpapasan dengan mobil kami. Dalam hati saya bilang, ”Waduh rejeki-rejeki... habis ini akan ada kiriman mobil datang”. Cepat-cepat saya bilang ke istri, ”Ayo bersihkan garasi... siapa tahu nanti ada kiriman mobil datang”. :-)

Sesuatu yang tidak wajar memang sedang menyelimuti keluarga kami. That must end. Suatu malam menjelang tidur, dengan berapi-api saya katakan ke istri saya, “Masalah ini harus segera diselesaikan. Di negeri ini mana ada yang free. Negerinya kapitalis kok free. Jangan sampai kita terlambat. Apalagi sekarang ini jaman sudah edan.

Dengan santai istri saya berkata, “Ah… kayak nggak pernah muda saja.

Saya lirik istri saya dengan penuh selidik, “What’s that supposed to mean?”

Sambil memasukan badan ke dalam selimut, istri saya meneruskan, “Lha wong namanya anak kasmaran kok dibatasi. Bukankah itu semua muncul sebagai hasil sumbangsih dari masyarakat sekitarnya, termasuk kita juga. Kita punya andil sehingga kondisi ini terjadi. Memangnya kalau mereka dilarang akan menyelesaikan masalah? Memangnya orang tua mereka juga tidak ketar-ketir?

Belum sempat saya bantah argumentasinya, istri saya menambahkannya lagi, “Janganlah menggunakan standard semasa kita kanak-kanak dulu untuk anak-anak sekarang. Anak-anak jaman sekarang dipaksa matangnya karena memang melalui proses karbitan. Coba bayangkan, tontonan yang mereka lihat bukan hanya melalui media TV, Internet atau Movie saja, tetapi juga perilaku masyarakat sekitarnya telah memberikan teladan yang kurang lebih sama value-nya dengan media TV itu. Pertanyaan yang seharusnya kita jawab adalah Apa fungsi dan peran dari keluarga ini?

Masih diteruskannya, “Lha kalau ayahnya saja jarang ada dirumah selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor, maka jangan salahkan anak itu kalau bermain dengan keluarga dari anak perempuan itu, pergi nonton Basket ke stadium, atau pergi mancing ke pier. Come on… just take the bright side. Ini adalah warning dari-Nya bahwa apa yang kita temui sekarang adalah buah dari apa yang sudah kita tanam selama ini. Adalah pilihan kita sendiri untuk hidup di kampung kapitalis ini dan inilah resikonya yang harus dihadapi.”

Saya coba argue “Tapi khan…”.

Istri saya cepat-cepat memotong apa yang ingin saya katakan karena malam memang sudah larut. Dengan lembut dia berkata, “Sudahlah, yang jelas spent our valuable time untuk dia dan adik-adiknya. Kita sebagai keluarga yang utuh hanya sampai ketika anak kita yang paling besar ini di bangku SMA. Setelah itu satu per satu dari mereka akan kabur dengan dunia dan tantangan mereka sendiri-sendiri. Itulah kodrat manusia hidup. Akankah kita sia-siakan dengan waktu yang tersisa ini?

Belum sempat saya jawab pertanyaan itu, sudah terdengar suara click, istri saya mematikan lampu kamar tidur kami. Di kegelapan kamar itu, saya masih kelap-kelip sendirian. Istri saya yang dari pagi sibuk dengan urusan dapur dan cuci-cuci sudah mendengkur tanda kecapaian. Dia tidak peduli lagi apakah saya masih melek atau sudah merem karena dia tahu pasti bahwa pekerjaan yang sama sudah menantikannya lagi besok pagi. Sementara saya yang masih belum tidur akhirnya pasrah dan tersenyum sendiri, sambil berkata dalam hati, “Hmm… Kira-kira mobil sportnya nanti Mustang GT atau Corvette ya? Warnanya hitam atau merah?” :-) (Prahoro Nurtjahyo, 7 Agustus 2007)

3 comments:

Anonymous said...

heemmm......saya makin bertambah pe er memikirkan "calon" teenager kami next 10 years.......sekarang ini dia masih belajar pee dan poop di toilet org gede,tidak mau di potty trainning nya dia,tp seringnya baru bisa bilang "pis" sambil pegang "bagian" depan utk pipis dan "pis" (juga) sambil pegang "bagian" belakang utk poop setelah semuanya terjadi,untungnya saya masih (tega) memakaikan diaper buatnya, usia 2thn,1bln sehingga urusan "bersih2" menjadi lebih mudah. Apa yang sedang dialami kel. cak Prahoro adalah suatu hal yg tidak bisa dianggap sepele andai saja kondisi itu hanya sebatas "tanda sayang" tanpa ada sesuatu kompensasi yg diharapkan si teman wanita dari mas "teenager" kita itu. Hal yang paling "seram" saya denger ttg (sebahagian)org tua disini adalah mulai mengingatkan anak gadisnya yg sudah mengalami haid utk selalu membawa "kondom" di dlm tasnya,yang ditakutkan mereka bukan perbuatan "terlarang"nya tapi "hasil" yang terjadi dari perbuatan tersebut,naudzubillah. Saya akan menanti langkah2 apa yg akan dilakukan cak Prahoro&spouse dlm menghadapi kondisi ini,sehingga akan menjadi rangkuman catatan tersendiri bagi saya kelak kedepannya.
wassalam.

Prahoro Nurtjahyo said...

Tidak ada yang tidak serius kalau sudah berurusan dengan anak. Memang kalau dilihat di lapangan, semuanya berpotensi untuk menjadi "seram".

Kita orang tua sudah seharusnya tidak bermain pada posisi "defense" tetapi pada "offense". Mohon doa restunya, semoga "pilot project" ini berhasil....

Anonymous said...

Dulurku Mas Prahoro,

Memang zaman sdh berubah. Tolong kabari kami kalau garasinya Mas Prahoro sdh ada Ferari dan Corvert...nanti kalau kelebihan saya boleh pinjam kalau insyaAllah bisa ke Houston lagi...he he he

Wassalam,
E1