Friday, July 28, 2006

Dalam Tidur Kita


Minggu pertama bulan Juli 2006, saya menyempatkan ngobrol cukup lama dengan sesepuh kota kami, yang karena masa tugas dan memang sudah masuk usia pensiun, beliau akan pulang balik ke kampung halaman. Satu hal yang membuat saya merenung berhari-hari akibat obrolan itu adalah tentang usia manusia. Kalaulah usia manusia diukur berdasarkan aktifitas keseharian, maka usia manusia adalah hanya sebatas waktu ketika manusia itu tidak tidur. Artinya apa? Artinya kalau usia kita 60 tahun, dan jika selama 60 tahun itu, 12 jam digunakan waktunya untuk tidur, maka hidup kita yang sebenarnya hanyalah 30 tahun. Bagaimana dengan 30 tahun sisanya? Itulah yang saya namakan dengan kehidupan semu, dimana ketika tidur, kita hanya take things as they come. Kalau dalam bahasa Jawa istilahnya pasrah bongkokan. :-)

Tidur adalah suatu proses alamiah dimana organ tubuh kita mengirim SMS berupa signal melalui darah ke otak yang isinya, “Mr. Otak, Peredaran darah sudah mulai saturated nih.” Oleh si otak, SMS dari darah ini diresponse, ”Ok… it is time to take a rest”. Pada saat itulah, satu per satu pekerja yang ada ditubuh kita mulai pulang, dan mesin-mesin mulai berhenti bekerja yang akhirnya menutup kelopak mata kita sehingga tertidurlah kita.

Untuk kondisi manusia normal, seluruh aktifivitas kita berhenti kecuali detak jantung saja, dimana khusus untuk organ yang satu ini, kita hanya bisa titipkan ke Yang Maha Kuasa. Mengapa? Karena ketika kita terlelap hanya Dia-lah yang berkehendak dan menjaga tidur kita. Akankah kita nanti terbangun dari tidur untuk meneruskan episode hidup berikutnya atau malahan sebaliknya, tidur kita kebablasan dan tidak bangun-bangun lagi, semuanya itu diluar kehendak manusia.

Satu-satunya aktivitas yang mungkin ada selama kita tidur adalah mimpi. Sejuta orang kepala yang pernah bermimpi maka ada sejuta orang pula yang berbeda mengartikan sebuah mimpi. Maka bersiap-siaplah anda kalau sudah bermimpi. 


Dalam klenik Jawa, mimpi selalu dikaitkan sebagai perlambang sesuatu yang akan terjadi. Misalnya, ketika seorang bermimpi mandi, maka orang-orang tua dahulu selalu berpesan “Hati-hati lho… Itu pertanda akan sakit”. Bukan hanya itu saja, orang yang bermimpi menggendong bayi di-identikan sebagai tanda akan memperoleh rejeki. Ada yang lebih ekstreem lagi, seorang lajang bermimpi naik kepelaminan itu pertanda akan datang kematian. Ada lagi yang sering kita dengar, mimpi di gigit ular artinya yang bersangkutan dekat dengan jodohnya. Masih banyak lagi contoh hubungan antara mimpi dengan prediksi. Disadari atau tidak, inilah potret kehidupan masyarakat kita yang masih dipenuhi dengan kepercayaan spiritual dalam kehidupan sehari-harinya.

Mimpi adalah product yang didrop dimana manusia hanya bisa menerimanya tanpa kuasa untuk order sebelumnya. Bersyukurlah kita manusia karena mimpi ini datangnya tiba-tiba tanpa ada pengumuman yang mengawalinya. Tentu hidup ini semakin amburadul kalau mimpi itu bisa dipesan datangnya. Coba sampeyan bayangkan, seandainya dalam otak kita terdapat mesin untuk memesan mimpi. Sudah barang tentu kita manusia menjadi sibuk setiap malam sebelum tidur. 


Kita sibuk untuk tekan tombol click pada mesin mimpi itu yang kemungkinan salah satu pesannya berisi, ”Hi…Mesin mimpi, dalam mimpi nanti, Saya ingin bertemu dengan mbak Sophia Latjuba”. 

Kemudian mesin dalam otak kita mengirim berita konfirmasi ke kita “OK, Your mimpi has been arranged”. 

Masih belum selesai, si mesin mimpi masih menanyakan lagi, ”Berapa lama waktu yang anda perlukan dalam mimpi ini?”. Tentu jawabannya akan tergantung dari masing-masing orang. Dari banyak kemungkinan jawaban, saya berkeyakinan, ada yang akan menjawab sebagai berikut,” Wow…dengan Sophia Latjuba?… ok mesin mimpi, kalau begitu ..jangan bangunkan saya dari tidur”. :-)

Berbicara tentang mimpi, ada cerita menarik dibawah untuk disimak. Saya ubah setting cerita dan bahasa dari original sumbernya. Silahkan menikmati.

Ada pasangan keluarga muda yang mempunyai anak satu laki-laki berusia 5 tahun. Pasangan muda ini termasuk pasangan karir dimana suami dan istri sama-sama bekerja. Dalam istilah perekonomian keluarga dikenal dengan double income.

Suatu hari, si anak kecil ini tiba-tiba saja menangis ditengah malam. Ayahnya yang tidur di kamar sebelahnya terbangun kaget. Didatangi anaknya ini, “Kenapa nak?” tanya ayahnya. Oleh anak itu dijawab, “Saya bermimpi kakek meninggal”. Ayahnya berkata, ”Itu hanya mimpi, ayo tidur lagi”.

Besok paginya si ayah memperoleh interlokal yang mengkhabarkan bahwa mertuanya laki-laki meninggal dunia karena tertabrak mobil.

Selang seminggu, si anak bangun dari tidur sambil menangis lagi. Si ayah datang lagi ke kamar tidur si anak, “Ada apa, nak?” Masih sambil menangis si anak bilang, ”Saya bermimpi nenek meninggal dunia”. Si ayahnya menjawab, ”Itu khan hanya mimpi, sudah jangan dipikirkan, ayo tidur lagi, diluar masih malam”.

Keesokan harinya, mendapat interlokal bahwa neneknya meninggal dunia karena stress ditinggal kakek.

Hanya berselang tiga hari, si anak bangun lagi dari tidur dan menangis lebih kencang lagi dari yang sebelumnya. Si ayah yang masih capek mendatangi kamar tidur anaknya, ”Ada apa lagi ini Nak?”. Si anak menjawab, ”Saya mimpi ayah saya meninggal”. Si ayah menjawab, ”Sudahlah nak… itu namanya mimpi, bunga tidur. Ayo tidur lagi”

Setelah si anak tidur, si ayah kembali ke tempat tidurnya. Ternyata si ayah ini keder juga dan tidak bisa tidur. Matanya masih kelap-kelip, melirik ke kiri ke kanan, mulutnya nyengir ketakutan, ”Weleh…jangan-jangan benar kata anak saya ini. Jangan-jangan ini hari terakhir saya”. Dengan berselimut kain yang tebal, si ayah menjadi ketakutan sendiri dan berjaga kalau-kalau si malaikat pencabut nyawanya datang.

Esok paginya, si ayah bangunnya terlambat karena kecapaian tidak bisa tidur semalaman. Ketika bangun didapati tubuhnya masih segar. “…tuh khan… saya bilang hanya mimpi”. Habis itu si ayah keluar kamar dan didapati istrinya yang bekerja sebagai sekretaris masih berada dirumah dan menangis terisak-isak. Di tanya oleh si ayah, “Sayang, kok nggak kerja. Kenapa kamu menangis?”. Masih dengan sesenggukan si Istri menjawab, ”Barusan dapat telpon dari kantor, kalau Boss di kantor meninggal dunia karena mobilnya tertabrak truck”.


(Terima kasih buat Pak Masyhur Alaydrus atas dukungan morilnya selama ini, selamat jalan dan menikmati masa pensiun. Prahoro Nurtjahyo, 28 Juli 2006).

Thursday, July 27, 2006

Tempat Tidur

Awal bulan lalu, rumah tangga saya sudah berusia lebih dari dua belas tahun. Usia yang menurut ibunda saya sudah lulus masa kritis. Selama masa itulah, rumah tangga kami menerapkan yang namanya asas kebersamaan. Kebersamaan hampir disemua lini. Pergi bersama, makan bersama, belanja bersama, sampai tidurpun harus bersama. Pendek kata, terasa tidak nyaman kalau ada salah satu dari anggota keluarga yang tidak ikut. Kurang lengkap rasanya. Jadi anda bisa bayangkan, tidur dalam satu tempat tidur untuk kami berlima. Sudah pasti uyel-uyelan, gerah dan panas. Apalagi musim Summer seperti sekarang ini.


Tentunya banyak perubahan antara dua belas tahun yang lalu dengan kehidupan sekarang. Bukan hanya pengalaman kehidupan yang bertambah, melainkan juga postur tubuh. Pada awal kehidupan berumah tangga, saya dan istri adalah pasangan yang (kata orang) berpostur langsing. Dua belas tahun kemudian, postur itu berangsur menjadi melebar, bukan hanya di daerah perut saja, tetapi juga menyerang daerah wajah, pipi dan leher

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika orang tua mengunjungi kami setelah 5 tahun tidak bertemu, komentar ibu saya pada waktu itu, “Walah le… kok badanmu sekarang bentuknya kotak”. Mau menyerang balik nggak enak, lha wong ibu sendiri yang bilang. Saya merasa sangat pasti walaupun belum pernah melihatnya sendiri, bahwa postur ini akan terlihat sangat jelek kalau dalam posisi duduk, dimana perutnya menjadi berlipat-lipat. Berkali-kali saya berkaca, mulai dari arah samping, depan, belakang, nungging, akhirnya saya menyerah dan berkata dalam hati, “Dari sudut manapun saya melihat, sama saja bentuknya. Dosa apa yang sudah saya perbuat sehingga untuk melihat perut saja, saya memerlukan ketabahan hati”. Oalah nasib…nasib…..

Mari kita tinggalkan masalah perut. Meskipun ukuran perut dan ukuran tempat tidur ada kaitannya, tetapi tulisan ini bukan berurusan dengan perut, melainkan dengan tempat tidur. Kalau dua belas tahun yang lalu, tempat tidur dengan kasur ukuran Twin masih mampu menampung kami berdua. (Namanya juga pengantin baru, tidak ada kasurpun jadilah, asal tidurnya berdekatan). Maka sekarang, dua belas tahun kemudian dengan ukuran badan yang XXL, tempat tidur dengan kasur ukuran King pun terasa masih terlalu sempit.

Karena masalah tempat tidur inilah, saya dan istri sempat uring-uringan. Maklum saja, kalau sudah masuk urusan rumah tangga, urusan sekecil apapun bisa menjadi besar. Walaupun menurut ibu saya, kami sudah lulus EBTA masa krisis.

Beberapa bulan sebelumnya, istri saya pernah berkomentar, “Sudah waktunya anak-anak harus tidur sendiri di kamar masing-masing”. Saya meng-amin-i saja pendapat istri saya ini. Ternyata amin saya ini mempunyai dampak secara financial yang tidak sedikit. Artinya, saya harus siap untuk tiga tempat tidur lengkap dengan aksesorisnya: kasur, bantal, sprei dan lain-lain. Untuk implementasinya, akhirnya kamipun bermaksud untuk melihat-lihat tempat tidur di salah satu toko furniture di kota kami. Bukan untuk membeli, tetapi melihat-lihat saja. Selama di toko itu, kami ditemani seorang Sales yang jago sekali meyakinkan pelanggannya. Nah sialnya pelanggannya itu adalah kami. Salah satu statement yang masuk ke benak kami adalah “Kasur dibilang layak pakai jika usia kasur dipakai itu dibawah 10 tahun, itupun tergantung dari kualitas kasurnya” (itu kata Sales..lho). Tidak hanya selesai dengan statement itu, Sales itu masih berkicau lagi, “Tubuh anda, mulai dari kepala sampai kaki harus memperoleh sesuatu yang layak. Untuk apa anda bekerja siang malam, sedangkan untuk organ anda sendiri anda masih pelit.” Hmmm….

Entah setan apa yang masuk ke kuping saya waktu itu,... kok ya nurut saja saya sama si Sales ini. Saya yang biasanya complain dan challenge semua macam bentuk argumentasi, tapi tidak saya lakukan untuk sales yang satu ini. Kepada sales yang satu ini, saya hanya manggut-manggut saja dengan semua nalar dan logikanya. Mirip sekali seperti anak TK yang harus duduk manis supaya nanti dapat permen dari gurunya. Rencana yang hanya melihat-lihat berubah menjadi membeli. Edan…mati tenan kowe…..

Walhasil… kami akhirnya beli tiga set tempat tidur. “Urusan uang bisa dicari, urusan nyaman susah dicari,” begitu akhirnya logika yang saya pakai untuk menutupi ke-ngeri-an saya begitu melihat tagihan dari Credit Card.

Hari pertama furniture datang, semua anak saya berlompat-lompat kegirangan. Dalam hati saya, “Ok juga .. For once…make them happy”. Anak saya laki-laki yang paling besar sudah berencana untuk memasang koleksi mainannya dan buku-bukunya di rak sebelah atas headboard-nya. Anak saya perempuan sibuk dengan rencananya untuk mendekor tempat tidurnya berwarna putih dan pink lengkap dengan boneka koleksinya. Anak saya paling kecil, tidak mau ketinggalan, sementara kakak-kakaknya sibuk dengan rencananya masing-masing, dia cuek saja yang penting sekarang dia bisa lompat-lompat di atas tempat tidurnya sendiri tanpa ada yang melerainya.

Pada malam pertama hari itu, setelah hampir dua belas tahun tidur kami “diganggu” oleh anak-anak kami, akhirnya kami merasakan sepinya tempat tidur ukuran King ini. Mendadak ukurannya menjadi besar sekali. Ditengah malam saya terbangun dan merasa aneh. Sambil jalan perlahan-lahan, saya tinggalkan istri saya yang masih tertidur di tempat tidur kamar utama. Saya pindah ke kamar tidur anak-anak. Saya pilih anak saya paling kecil, karena dengan ukuran perut seperti ini, hanya tempat dialah yang paling cocok untuk sharing tempat tidur. Dan terlelaplah saya disana.

Walah….ternyata rasa rindu itu milik para orang tua. Bukan anak-anak itu yang tidak siap. Ternyata saya-lah yang berada pada pihak dimana merasa tidak tega dan belum ikhlas untuk ditinggal anak-anak pisah ranjang. Sekarang, jadi tambah dongkol dan nggondok saja saya dengan Sales sialan itu. Karena dia-lah akhirnya saya harus melepaskan kenikmatan bermain dengan anak-anak saya yang jelas-jelas tidak bisa diganti masanya. Kapan lagi saya bisa menikmati bersama-sama mereka? Praktis, hanya sampai usia 13 tahun mereka masih mau melakukan segala sesuatunya bersama-sama keluarga. Selebihnya mereka akan enjoy sendiri dengan teman-teman mereka sendiri. Nikmatilah “For once…” anda dengan anak-anak, sebelum anda bercerita ke orang lain bahwa “Once Upon a Time” saya……………..(Prahoro Nurtjahyo, 27 Juli 2006).

Sunday, July 16, 2006

Mengaji

Setiap hari Sabtu saya harus ikut ke mushola satu-satunya di kota kami untuk mengantar anak-anak saya belajar mengaji Al-Quran. Kata harus sengaja saya pilih karena mempunyai makna untuk memaksakan kehendak. Kehendak yang mana yang dipaksakan? Paling tidak ada dua kehendak mengapa saya melakukan ini. Pertama, kehendak untuk mencari excuse dan mempersiapkan jawaban karena kelak saya pasti ditanya olehNya tentang “Apa yang sudah kamu ajarkan kepada anak-anakmu?”. Kedua, kehendak karena dulu saya belajar mengaji tidak memakai metoda yang baku, kurikulum yang jelas dan hanya memakai dalil “asal bisa” mengaji. Maka sudah barang tentu, untuk urusan mengaji, saya tidak berani memberikan sesuatu kepada anak-anak saya dimana saya sendiri belum yakin tingkat kebenaran lafalnya. Untuk itulah saya harus mencari guru yang mempunyai kemampuan mengaji lebih bagus.


Saya tidak termasuk pada lingkaran makom para ahli tafsir yang piawai dalam mengartikan ayat per ayat. Garis berdiri saya masih sangat jauh terbelakang dari lingkaran para ahli tafsir itu. Dengan keterbatasan pemahaman tentang agama, membaca Quran bagi saya bukan hanya dalam benar cara membacanya, tetapi juga mampu melantunkannya dengan suara yang indah sehingga enak didengar. Bukan berarti terjemahannya tidak penting, tetapi pada level ini, saya lebih memfokuskan pada cara membaca yang benar dan mampu mempresentasikan bacaan yang benar tadi dalam alunan nada yang indah.

Kenapa nada ini menjadi penting bagi saya? Ini panjang ceritanya. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat yang agamis dimana dering jam beker tidak lagi saya perlukan karena suara Azan Subuh adalah patokan bangun tidur saya. Selama 17 tahun pertama kehidupan saya, suara Azan Subuh inilah yang senantiasa setia membangunkan saya dari nikmatnya tidur malam. Karena Azan ini bagian dari ritual keagamaan, maka sudah barang tentu ada pegawai khusus (Muadzin) yang melantunkan Azan ini. Sudah seharusnyalah yang namanya Muadzin semestinya hafiz dengan bacaan Quran. Demikian juga halnya yang sama untuk sebutan Takmir Masjid bagi mereka-mereka yang mengelola masjid.

Sialnya, profesi Muadzin di kampung saya bukanlah jabatan favorit yang banyak diperebutkan banyak orang. Karena susahnya mencari Muadzin, maka kriteria pertama untuk mencari seorang Muadzin bukan lagi yang suaranya merdu dan tahu bacaan yang benar, tetapi kriterianya turun beberapa tingkat menjadi SIAPA YANG MAU. Belum cukup dengan syarat gila ini, ditambah lagi SIAPA YANG SUARANYA KENCANG. Apa hasilnya? Sudah bisa ditebak, bacaannya tidak karu-karuan dan telinga saya menjadi pekak karena suara Muadzin yang keras ini, belum lagi ditambah dengan loudspeaker di masjid yang meraung-raung. Sudah persis suasananya seperti kapal pecah setiap Subuh. Azan yang seharusnya memberi ketenangan hati, bagi saya lebih terasa seperti raungan macan lapar yang membikin jengkel hati saja. Itu masih belum selesai. Tidak cukup dengan hanya melantunkan panggilan Azan, si Muadzin masih terus pantang mundur maju tak gentar dengan lafal yang morat-marit menyanyikan puji-pujian sambil menunggu iqomah……. “Subhannallah…walhamdulillah…wala illa …dst”……………. Walaaaah salah apa kampung saya ini…

Kalau sudah memasuki urusan ritual keagamaan, kebanyakan dari kita lebih suka bersandar pada statement “yang penting khan niatnya”. Salahkah pernyataan itu? Tidak ada yang salah dari statement itu. Memang niat itu bagian dari komponen yang penting, tetapi statement itu saja bagi saya kurang lengkap. Akan menjadi lebih mendalam pemahamannya jika kita mampu mewujudkan niat tadi dalam bentuk yang lebih anggun. Dengan cara melafalkan yang morat-marit, yang seharusnya dibaca panjang malahan dibaca pendek atau sebaliknya, nyeleneh nadanya, pitch yang naik turun, saya yang seharusnya berterima kasih karena suara Azan ini, yang kejadian malah sebaliknya. Organ tubuh saya secara otomatis menjadi gelisah dan menggigil kalau sudah mendekati pukul 4 pagi. Maklum saja, jarak antara rumah dengan masjid kurang dari 100 meter. Sudah dapat dipastikan wajah saya dalam tidur berubah menjadi murung, badan keringatan dan mulut siap-siap untuk ngedumel, kuping saya tutup rapat-rapat dengan bantal sampai suara Muadzin-nya selesai. Itu masih belum seberapa, tetangga sebelah rumah saya malah ikut teriak-teriak kalau jam 4 pagi untuk menyaingi suara Azan di masjid. Itulah 17 tahun pertama kehidupan saya. Bagaimanapun juga, saya masih salut dan terima kasih dengan Muadzin yang pantang mundur ini. Terakhir saya mendengar khabar tentang Muadzin ini dari orang tua saya bahwa profesi Muadzin ini masih ditekuninya sampai sekarang. Kalau anda bertanya, “Sudah seberapa jauh meningkat kualitasnya?” Jawaban saya no comment saja.

Tentang alunan bacaan Quran, saya percaya bahwa Quran memang ditulis dengan bahasa Arab, tetapi saya berkeyakinan juga bahwa tidak berarti Quran hanya boleh dilagukan dengan dialek Arab. Ketika saya sholat di Masjid Agung Yogjakarta di awal tahun 1990an, saya merasakan nikmat lantunan suara Imam dengan cengkok (pitch) irama gending Jawa dalam bacaan Al-Fatihah dan surat-surat dalam bacaan sholatnya. Wah nikmat sekali saya mendengar alunan nada itu. Kalaulah saja waktu itu si Imam membaca surat Al-Baqarah pun, saya akan ladeni dia karena memang bacaannya yang indah. Untung saja, tubuh saya tidak ikut meliuk-liuk berjoget karena terhipnotis suara yang merdu itu. Belum pernah saya menemukan hal seperti itu di daerah yang lain. Saya tidak tahu apakah ini berhubungan dengan cara masuknya Islam di tanah Jawa, atau hanya kebetulan saja karena saya orang Jawa sehingga kuping saya merasa seirama dengan nada yang dilantunkan oleh si Imam. Jadi, tentunya boleh saja melantunkan Quran dengan logat atau dialek Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Batak, Kalimantan, dll. Ini akan memperkaya khasanah pemahaman kita. Jadi apa sebenarnya yang unik dari mengaji ini? Yang unik ternyata, berbagai macam logat ini akan hilang kalau kita memasuki arena yang namanya Tilawatil Quran. Pada ajang inilah, Quran hanya akan dibaca dengan bacaan yang sama dan universal. Wallahualam.

Maka tibalah saatnya sekarang, setelah hampir 20 tahun kemudian, ketika saya menginginkan anak-anak saya belajar membaca Quran, selain menginginkan mereka membaca dengan benar, saya juga menginginkan mereka mampu melantunkannya dengan cantik sehingga saya tidak perlu menutup kuping kalau mereka mengumandangkan Azan atau membacakan ayat-ayat suci ini di rumah.

Dan ternyata, anak-anak jaman sekarang ini memang pesat sekali kemampuannya. Entah karena memori mereka yang masih fresh, 1024 MB, atau memang saya yang kolot dan masih kaku dengan lidah Jawa saya. Kurang dari dua bulan, sekumpulan anak-anak yang ikut pengajian ini sudah fasih dan mampu membedakan mana yang harus diucapkan da, mana yang dza, mana yang harus qo mana yang kho dan seterusnya. Itu masih belum seberapa, mereka dengan enak saja melantunkan ucapan dengan suara dengung ketika huruf nun mati (sukun) atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf tertentu. Uedan tenan….. sudah sekian langkah rupanya saya tertinggal oleh anak-anak saya. Wah… harus ada action plan kalau begini ceritanya.

Hari Sabtu yang lalu, dengan susah payah, akhirnya berhasil juga membentuk alliance para orang tua yang mengantar anak-anaknya mengaji setiap hari Sabtu di musholla untuk membentuk group sendiri para orang tua, dengan bahasa propaganda yang halus, “Para orang tua berkumpul untuk mereview kembali bacaan Quran yang benar”. Tentunya beragam alasan yang ada sebenarnya. Ada orang tua yang sebenarnya bisa baca, tetapi suaranya memang pas-pasan. Ada yang dulunya bisa membaca, sekarang menjadi lupa karena frequensi pemakaian kesehariannya. Ada orang tua yang sebenarnya memang tidak bisa membaca Quran sama sekali. Jangankan membaca Quran yang hurufnya sudah sambung menyambung, untuk membedakan sho dengan dho saja, masih bingung dan harus checking urutannya dengan mulut komat-kamit membaca huruf dari depan mulai Alif, Bak, Tak, Tsa,…dst. Terlepas dari itu semua, paling tidak persekutuan orang tua ini telah menunjukkan semangat mau belajar sekaligus berupaya untuk menutupi kelemahannya dengan anyaman benang cantik “Review cara membaca Quran dengan benar”.

Sabtu kemarin tentu sangat berbeda dengan hari-hari sabtu sebelumnya. Untuk itulah tulisan ini saya munculkan. Bukan karena iseng tetapi merupakan pembelajaran dari konsep Boomerang. Challenge yang jelas menghadang di depan adalah tantangan dari anak-anak saya kepada ayahnya ini untuk melakukan hal yang sama, yaitu membaca Quran dengan benar ditambah dengan alunan suara yang indah. Jangan jangan ayahnya ini bisanya cuma ngomong saja, banyak ekspektasi-nya, tetapi tidak mampu mem-praktek-annya. Isn't it? (Prahoro Nurtjahyo, 16 Juli 2006).