Thursday, May 11, 2017

Membaca Bahasa Media


Saya sudah sering sampaikan ke sampeyan semua, “Jangan terlalu percaya dengan apa yang diberitakan oleh media sosial. Keadaan yang sebenarnya bisa jadi jauh melenceng dari apa yang diberitakan. Bahkan, lebih bengis lagi, kalau isinya “sengaja” untuk mengalihkan isu yang sebenarnya terjadi.” Betul?  Bukan rahasia lagi, kalau sekarang banyak media sosial menjadikan dirinya “The Hitman”, untuk kasus-kasus tertentu sesuai pesanan. Tergantung dengan dealnya, “Wani piro?”

Kalau kita sudah tidak mampu lagi mengontrol keakuratan isi berita dari media sosial, maka yang harus kita benahi adalah sistem alarm yang terletak di nurani dan hati kita. Dua piranti itu setiap saat harus ON, untuk meyakinkan semua berita yang masuk dalam otak kita dapat tersaring dengan baik. Dua piranti yang saling cross-check. 

Mengapa ini menjadi penting? Mohon maaf, saya harus katakan bahwa masyarakat kita ini belum terlalu siap dengan teknologi Whatsapp (WA) atau sejenisnya.  “Membaca dengan seksama” bukanlah kebiasaan masyarakat kita. Budaya kita masih membaca yang leterleg apa yang tertulis, tanpa melihat “Apa sih maunya si penulis yang sebenarnya?”.


Kalau memang hobby sampeyan menulis, pesan saya adalah, mbok yao, menulis itu dengan menyajikan data akurat yang dapat diverifikasi dengan mudah dari source yang terpercaya. Menulis dengan sebuah target untuk mencerdaskan masyarakat kita dalam melihat situasi bangsa secara utuh dari helicopter view. Mari kita menulis untuk membangun bangsa dan negara ini sekaligus membuat masyarakat kita melek akan budaya berpikir yang jernih. Itulah tugas penulis. Kalaupun sampeyan dapat bayaran dari menulis, maka menulislah dalam framework membangun bangsa bukan untuk memporakporandakan tatanan kehidupan masyarakat ini. Framework untuk menyatukan perbedaan, bukan framework untuk memperlebar persamaan yang sudah ada. Framework untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul, bukan framework untuk mencari-cari kesalahan dari sebuah system.

Wong kita tahu dan paham, bahwa tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Kalau yang dicari seorang penulis adalah kesalahan, perbedaan, permasalahan, ya … jangan heran kalau kita akan terus berkutat di hal-hal yang sifatnya administrative dan normative saja. Jadi kapan kita mau bangun negeri ini kalau masih ribut dengan urusan birokrasi saja? Mana kerjaan yang riil yang langsung kena dampaknya ke masyarakat luas sana?

Nah, kalau sampeyan lebih suka sebagai pembaca, maka berhati-hatilah dalam membaca berita. Mengapa? karena bagi penulis yang sudah lihay jam terbangnya, sangat mudah membuat argumentasi sehingga pembaca seperti sampeyan terseret dalam kerangka logika yang memang sengaja untuk menjerat para pembacanya.  Lha wong memang dia dibayar untuk itu. Iya to?

Kalau level membaca sampeyan masih dalam kategori-nya "copy and paste" kemudian "forward" berita tanpa verifikasi, maka, nyuwun sewu I have to say, sampeyan masih dalam level penggembira, mudah ter-provokasi untuk hal-hal yang sebenarnya sampeyan sendiri belum tahu nilai kebenarannya.

Dengan level yang masih penggembira, sampeyan adalah sasaran empuk para penulis-penulis yang tidak bertanggung-jawab itu. Budayakanlah untuk diam sejenak (dengan mikir tentunya) sebelum melakukan sesuatu, karena ternyata dengan melakukan itu banyak manfaatnya ketimbang mudhorot-nya.

Dalam membangun masyarakat, sama seperti sampeyan, Saya tidak suka kalau ada yang bilang “katanya si A atau si B”, makanya saya sering berangkat sendiri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Saya tidak suka datang dengan “keroyokan”, karena bisa jadi mereka akan enggan untuk cerita yang sebenarnya terjadi. Makanya saya lebih sreg kalau sendiri mendatangi mereka sehingga keluar semua uneg-uneg nya. Dalam membangun komuniti ini, kita harus melakukannya bersama-sama dengan saling terbuka. Kita saling memerlukan.  Sampeyan dan saya. Dari sinilah lahir konsep yang namanya per-teman-an atau persahabatan.

Dalam hal persahabatan, Saya tidak suka kehilangan seorang sahabat seperti sampeyan, karena membangun persahabatan itu tidak hanya memerlukan waktu, tetapi juga saling menjaga perasaan. Saya sudah pernah kehilangan sahabat yang seharusnya tidak perlu terjadi, makanya saya berharap sampeyan adalah sahabat dan teman saya baik dari hari kemarin, hari ini maupun hari esok. 

Untuk menjadi sahabat, kita tidak harus bertemu lewat darat khan? Mari kita jadikan media ini menjadi titik awal kita dalam membangun negeri. Diawali dengan bacaan Bismillah dan luruskan niat dan jangan lupa untuk terus menggandeng dua piranti sistem alarm kita: Nurani dan HatiWallohualam (Prahoro Nurtjahyo, Kamis 11 Mei 2017)

No comments: