Friday, October 19, 2007

Anak Saya Dan Clarinet

Anak sulung saya sangat gandrung (baca: tergila-gila) untuk dapat bermain salah satu peralatan musik. Gejolak inilah yang saya rasakan sebagai orang tua yang sedang terjadi pada darah anak muda usia belasan ini. Ketika pada awal tahun ajaran baru sekolah, semua siswa baru diberikan pilihan untuk kegiatan ekstra kurikuler, maka pada saat orientasi sekolah, anak sayapun dengan antusiasnya ikut antri dalam deretan panjang kelompok Marching Band sekolah. Entah apa latar belakang yang mendasarinya, yang jelas doi bersikeras untuk dapat masuk dalam kelompok Band.

Dari semula istri saya sudah
ngotot menentang keinginan anak saya ini. “Oalah le tholekok ya yang dipilih Band, mbok yao ikut yang konser saja.. khan ada pilihan Gitar atau Biola” (Red- Angger atau thole adalah sebutan untuk anak laki-laki di Jawa). Namun si anak tidak meng-gubris komentar emak-nya ini. Karena kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah, akhirnya dicapai kompromi antara si emak dan si anak untuk memilih Saxophone sebagai alat musiknya. Dengan demikian, si anak masih kesampaian dengan keinginannya masuk Marching Band sekolah, sementara istri saya masih dapat berharap siapa tahu nanti anaknya dapat sehebat artis Saxophone pujaan-nya, Kenny G. Lha bagaimana posisi saya? Sebagai ayah, saya hanya manut saja, toh musik hanyalah selera dari indera pendengaran. Iya apa iya ?




Waktu pun berlalu dan akhirnya berhasil juga si angger saya ini masuk dalam group band sekolah. Hanya saja alat musik yang dimainkannya bukan Saxophone, melainkan Clarinet. Lho kok jadi Clarinet. Bagaimana dengan Saxophone-nya? Weleh weleh prek ... boro boro Saxophone... lha wong dalam test tiup (oleh gurunya), Saxophonenya nggak keluar suaranya. Pahit :-( . Alias nafasnya nggak kuat. Sudah keluar semua otot di bagian lehernya sebesar kacang, e.e ... Saxophone-nya nggak bergeming juga. Apa buntu ya? Jangan-jangan ada juga model Saxophone yang bisu :-) . Dicoba lebih ngotot lagi, nggak keluar juga. Ya sudah, mau diapain lagi? Daripada nanti yang keluar suaranya dari lubang yang lain. “Thuuuut”. Masih lumayan to, ada keinginan untuk berani mencoba, walau akhirnya harus pasrah dengan kenyataan. Akhirnya si guru memberikan alternatif piranti musik versi tiup yang lain yang katanya satu level dibawah Saxophone (duuh.. pintar juga guru ini menghibur :-) ). Maka sejak hari itu, jadilah anak saya berpasangan dengan Clarinet, salah satu peralatan musik Band yang suaranya sangat mengandalkan kekuatan “tiupan” pemainnya.

Pada awal minggu pertama keberadaan Clarinet di rumah, bukan hanya kepada adik-adiknya saja yang
dipameri, tetapi hampir kepada semua teman dan tamu yang datang ke rumah, selalu ditunjukinya dengan ”permainan” yang baru itu. Mulai dari cara merakitnya sampai meniupnya. Meski dengan tone yang masih banyak off key, dia dengan confidence-nya bilang. ”Begitu cara memainkannya”.


Suatu hari istri saya bertanya, ”
Musik macam apa sih itu ... tet tot tet tot?”. Saya hanya tersenyum sambil menjawab, ”Ya maklum... tingkatnya khan belum selevel Kenny G. Nanti lama-lama kuping kita akan adjust juga”.


Benar juga, akhirnya lama-lama kuping kami
adjust juga. Di rumah kami, sudah tidak karu-karuan suara yang keluar: ada teriakan, omelan, tangis suara adiknya yang paling bontot, dan musik yang fals, pokoknya semua tumplek bleg jadi satu, kayak urap-urap. Kalau anda bertamu ke rumah saya sekitar jam 10 malam, nah itulah klimaks jadwal anak saya bermain Clarinet. Tet…tettettottetnguing…… wis pokoke mengiris di hati dah :-) . Karena sudah menjadi bagian kehidupan keseharian di rumah, makanya kalau rumah kami sunyi, pasti ada yang missing :-) . Something is not right.


Tibalah saatnya untuk menguji ”kesaktian” dalam bermain musik.
Beberapa minggu yang lalu, kami mendapat undangan dari sekolah untuk menghadiri acara Band Performance, dimana anak saya ikut bermain di dalam group itu. Di antara ketar-ketir dan deg-degan, akhirnya kamipun datang memenuhi undangan itu. Acara pentas untuk kelompok dia dimulai pukul 7 malam teng. Semua hadirin duduk manis dan diam mengikuti lantunan musik dari sekumpulan band usia teenager ini (kecuali istri saya yang seperti biasa masih sibuk umek dengan tustel dan video cameranya).


Selama pertunjukan berlangsung, sungguh diluar perkiraan kami.
Ternyata sangat menakjubkan sekali suara musik yang dikeluarkan oleh kelompok band ini. Tidak ada bunyi off key yang sering kami dengar sewaktu latihan di rumah. Ramuan beberapa alat musik yang ditata dengan apik mampu mengalunkan musik yang membikin kita terlena dan tanpa sadar ikut menggerakan kaki atau kepala. Wuh edan … Ciamik tenan euy!


Kalau hasil performance ini adalah
pay off
dari suara yang kami dengar setiap malam, maka saya katakan kepada istri, “It’s ok. I know it is not the best deal, but I can live with that”. Pada akhir acara performance, dengan bangganya anak saya mengatakan, “Bagus khan … kalau sudah digabung dengan suara alat musik yang lain”. Kami semua mengangguk tanda amin dari statement dia itu. Indeed, I have no doubt about that, it is excellent.


Pada malam itu kami memulai tidur tidak seperti biasanya. Istri saya mas
ih sibuk melihat digital camera hasil jepretannya. Akhirnya dia mulai berkomentar, “Coba kalau dulu dia memilih Gitar atau Saxophone, nggak perlu alat musik lain kita semua masih bisa menikmati alunan musiknya. Lha sekarang ini, masak untuk tahu enaknya suara Clarinet harus digabung dulu dengan suara alat musik lain?” Masih dengan muka sebel dan ditambah manyun.


Saya jawab sekenanya
lha wong mata saya sudah berat untuk melek, ”Sudahlah. Masih untung dia memilih Clarinet, coba kalau dia memilih memainkan Drum, bisa jadi bukan hanya kita saja yang tidak bisa tidur, tetapi tetangga yang lain akan komplain. Memangnya sudah siap kalau setiap malam didatangi polisi atau 9-1-1?”. Kapokmu kapan :-) (Prahoro Nurtjahyo, Jumat, 19 Oktober 2007)