Monday, December 25, 2006

Pantat versus Lengan

Bagi beberapa orang, bermain ice skating tidak berbeda jauh dengan bermain sepatu roda atau Roller Blade. Bagi saya, yang belum pernah main sepatu roda (ataupun Roller Blade), olah raga jenis ini lebih menakutkan ketimbang olah raga fisik yang lain. Tinju atau gulat, misalnya.

Setahun yang lalu, ketika anak-anak kami mulai mengenal olah raga jenis ini, saya masih sempat menghindar karena alasan menjaga anak saya yang paling bontot. Waktu itu, hanya istri dan dua anak saya saja yang menikmatinya. Mereka terlihat sangat enjoy dengan permainan ini. Apalagi istri saya. Meskipun, sudah tidak terhitung berapa kali si doi jatuh di ice rink. Saya yang hanya melihat saja sudah ngeri apalagi kalau disuruh mencobanya. Maka lengkaplah tekad saya waktu itu untuk tidak mau ikut dalam rombongan ice skating setiap kali mereka-mereka ini bermain. “Nanti saja lain kali…“ kalimat itu yang sering saya sampaikan ke anak-anak.




Tahun ini, alasan itu sudah tidak mempan lagi. Apalagi argumentasi saya dapat dipatahkan dengan value yang sedang kami bangun di rumah kami, commitment untuk bersama-sama. Maka dengan limited training dari anak saya yang paling besar, “Kiri-kanan Kiri-kanan lurus…..” saya akhirnya memutuskan untuk berani masuk juga ke ice rink itu. Dan ini adalah pertama kali saya mencoba bermain ice skating dalam hidup saya. Tidak melalui instruktur beneran atau training dengan sepatu roda atau roller blade terlebih dulu, tetapi langsung bermain di ice rink. Edan khan?

Begitu masuk ke ice rink, segala macam umpatan langsung keluar dari dalam hati. Ingin rasanya saya cubit mulut yang nyerocos katanya “kiri-kanan…kiri-kanan lurus”. Enak saja si instruktur bilang kiri-kanan kiri kanan. Jangankan untuk diarahkan ke kiri atau ke kanan, lha wong untuk membikin berdiri setimbang saja, susahnya minta ampun. Sudah saya niatkan di otak untuk melangkahkan kaki sebelah kiri, tetapi yang terjadi bukannya terangkat melainkan membuat kaki kanan dan kaki kiri saling menjauh sehingga membentuk huruf V yang lebar. Karena jarak kaki kiri dan kanan semakin menjauh, maka jatuh adalah sebuah konsekuensi logis yang harus dibayar. Jatuhpun ada dua kemungkinan. Pertama, jatuh dengan posisi ke depan. Artinya nyungsep dengan muka terlebih dulu. Kedua, jatuh ke belakang dengan pantat terlebih dahulu.

Bersyukurlah kita manusia mempunyai pantat. Meskipun posisi pantat berdekatan dengan hal-hal yang membikin pusing terutama karena bau yang ditimbulkannya, tetapi keberadaan pantat sebagai bumper sangat menolong manusia terutama kalau pas jatuh. Meskipun semuanya tergantung kasus per kasus, tetapi posisi jatuh dengan menempatkan pantat terlebih dahulu adalah relative lebih aman daripada jatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu atau organ tubuh yang lain.

Entah karena argumentasi seperti ini atau hanya karena nalar saja, anak saya memberi nasehat, “Ayah....kalau jatuh…pantat dulu”. Sebagai orang yang awam, saya ikuti saja nasehat anak saya ini. Saya sudah ngeri duluan kalau jatuhnya kena bagian muka. Dengan tekad maju-tak-gentar pantang-mundur, saya masuk lagi ke ice rink dan sudah belasan kali saya terjatuh dengan posisi pantat terlebih dahulu. Aman..... :-)

Kalau anda percaya akan suratan takdir, maka itulah yang terjadi pada saya. Detik-detik itupun sudah menunggu. Ternyata banyak sekali yang harus saya hafalkan selain kiri-kanan kiri-kanan lurus. Diantaranya adalah posisi badan yang agak membungkuk, cara menggerakan kaki side sliding, cara jatuh dan masih seabreg teori yang lain. Dapat anda bayangkan, ketika pertama masuk ke ice rink, kepala saya penuh dengan segala tetek bengek hafalan itu.

Tak terhitung sudah berapa putaran saya mengitari ice rink itu. Tiba-tiba saya terpelanting karena posisi kaki yang miring dan terjatuh dengan menempatkan lengan tangan sebelah kanan berada di bawah. Boom..... Ala mak...suakitnya...... :-(. Ingin saya memaki itu pantat ”Kemana saja kamu? Pas jatuh kok lengan yang ditaruh di bawah?” Ya.... saya pikir bukan salah dia juga. Kalau pantat itu bisa jawab, pasti dia akan membela diri sambil bilang, ”Memangnya saya diciptakan hanya untuk emergency jatuh? Sudah untung sampeyan yang kena hanya lengan...khan syaratnya nggak mau kena bagian muka” :-) Akhirnya saya minggir sambil nyengir kesakitan diikuti dua anak saya yang cengengesan.

Sampai tulisan ini saya upload, lengan kanan masih terasa ngilu. Ternyata, teori apa saja yang kita pelajari, kalau sudah berada di real lapangan, maka yang sangat menentukan adalah hukum alam dan naluri si manusia itu. Kalau untuk jatuh dengan milih pantat saja masih susah, maka saya sarankan jangan coba-coba masuk ke ice rink.

Tidak ada itu teori ”kiri-kanan kiri-kanan lurus” untuk bermain ice skating. Teori saya setahun yang lalu ternyata lebih ampuh dan masih valid sampai sekarang. Ketika itu saya katakan kepada anak-anak saya, ”Kalau masih mau main ice skating, jatuh is OK. Kalau nangis, balikin sepatunya, kita pulang saja and no more Ice Skating.” So far, the theory works very well. Nobody’s crying and go home with happy and funny story (even though one goes home with gritting his teeth due to a swollen shoulder). (Prahoro Nurtjahyo, Senin, 25 Desember 2006)

No comments: