Wednesday, October 10, 2018

Haruskah Berakhir - a prolog

Tutur bahasanya sangat lembut dan mengalir begitu saja. Terlihat seperti tidak teratur, tetapi sebenarnya dia me-nata-nya dengan hati hati dan sangat rapi. Saya khatam-kan karyanya itu pertama kali di tahun 2000 hanya dalam bilangan jam tetapi cukup membuat saya untuk menolak hampir semua catatan sejarah yang pernah diceritakan kembali di muka bumi ini. 

Karyanya telah menggelitik saya untuk ingin tahu bagaimana sebuah cerita itu seharusnya dituliskan. Tiga hari yang lalu, saya membacanya sekali lagi karya dia. Masih sama. Masih indah. Masih tertata rapi. 

Saya ingin menuliskan kembali cerita yang hilang seperti halnya yang pernah dituliskannya. Bukan hanya untuk saya sendiri. Tetapi untuk sampeyan juga. Untuk dia yang disana. Untuk mereka yang masih berdiri menonton di ujung jalan. Untuk mereka yang menatap kita dengan segala pertanyaan ini-itu

Saya akan menuliskannya kembali untuk orang-orang yang pernah hadir di dalam kehidupan kita. Sampeyan dan saya.

Untuk yang satu ini, saya seharusnya meminta persetujuan dari sampeyan untuk menuliskannya. Karena sampeyan memilih untuk susah dijangkau lagi, saya akhirnya memutuskan sendiri untuk memahatnya dengan hati-hati di atas permukaan layar cellphone sampeyan yang tipis ini. 

———

Seperti biasa, Jakarta selalu padat. Sudah dua tahun tiga bulan saya bergelut dengan semrawut-nya kota ini. Beberapa teman selalu menasihati untuk “dinikmati” saja. Toh… mau menggerutu-pun, tidak akan banyak berubahnya. Besok atau lusa akan macet lagi. Ditempat yang sama. Diwaktu-waktu yang sama. Yo wis…. di-jar-ke wae.

Tahun ini, hampir setengah abad saya sudah memerankan sosok manusia untuk sebuah panggung yang sudah disediakan Tuhan.  Panggung yang dengan Maha Kasih Sayang Nya diciptakan agar kita semua saling berbagi. Berbagi apa saja.

Dari tahun ini pula, saya harus menata kembali. Melihat ulang mana yang layak dikatakan sebagai ”harapan dan masih berguna untuk dipertaruhkan”, atau mana yang ”hanya sekedar mimpi di siang hari bolong yang akan hilang” karena keterbatasan memori otak manusia.

Kalau sampeyan melihat semua yang terjadi selama ini hanyalah sebuah permainan Tuhan, maka sampeyan salah besar. Tuhan tidak pernah bermain-main dalam menciptakan manusia. Tuhan sangat tahu apa yang Dia inginkan untuk semua ciptaanNya.

Iya. Ini prolog dari cerita panjang yang ingin saya tuliskan kembali di sini. 

Friday, March 09, 2018

P.A.M.I.T.

Malam itu, saya sebenarnya ingin sekali berlama-lama duduk berbagi cerita dengan sampeyan. Berbagi cerita apa saja. Bukan hanya mengulang cerita dan canda tawa masa lalu, tetapi juga bercerita bagaimana ikatan yang semestinya antara sampeyan dan saya di masa depan. 

Malam itu, saya sudah persiapkan segelas kopi kesukaan sampeyan dan sebungkus popcorn ukuran jumbo, khusus untuk mendengarkan semua uneg-uneg yang mungkin akan keluar dari mulut sampeyan. Sayangnya, semua rangkaian kata yang sudah saya persiapkan malam itu, tidak ada satupun yang terungkapkan. Tidak satu pun.

Malam itu, sampeyan mungkin tidak tahu. Apapun yang saya lakukan selama ini adalah upaya untuk tetap mempertahankan sampeyan. Kalaulah sampeyan merasa apa yang saya lakukan masih kurang, saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. 

Malam itu, saya mau sampaikan bahwa saya tidak pernah bermain-main tentang rasa ini. Bahwa rasa ini, memang tulus untuk sampeyan. Ini journey ke Ilahi yang perlu endurance yang memerlukan pengertian.

Malam itu, kalau sampeyan masih merasa perasaan ini worth it untuk kita perjuangkan, maka kita harus sepakat dengan bahasa apa kita harus berkomunikasi. Tanpa komunikasi, sampeyan dan saya tidak akan pernah saling memahami. Dan tampaknya kita tidak ber sepakat untuk itu.

Malam itu, saya sebenarnya ingin berpamitan secara proper. Kenapa? Karena saya sudah tidak tahu lagi ke mana saya harus pulang. πŸ˜”Dan, Saya tidak tahu dengan cara apa saya harus sampaikan pamitan ini. Lha wong susah menghubunginya. Iya to? 

Akhirnya, pagi ini saya tuliskan ini untuk sampeyan. Saya pamit. ✈

Monday, January 22, 2018

Madzab Baru

Saya yakin sampeyan mesti pernah berinteraksi dengan seseorang yang menganut madzab diet makanan berdasarkan golongan darah. Efektifkah? Embuh... gak eruh πŸ˜…. Penganut paham ini berkeyakinan bahwa ada keterkaitan antara sistem pencernaan dalam tubuh dengan golongan darah yang men-supply-nya. Argumentasi-nya adalah masing-masing golongan darah akan mempunyai response yang berbeda untuk input asupan makanan yang sama struktur nutrisi-nya. Make sense khan? Iyalah... wis manut ae...


Saya mengambil contoh Protein. Dari studi yang dilakukan, ternyata source protein dari orang yang bergolongan darah A akan lebih baik jika berasal dari nabati (bukan hewani). Sebaliknya, mereka yang bergolongan darah O, sumber protein-nya akan lebih baik jika berasal dari hewani. Nah.. kalau sampeyan bergolongan darah A dan mempunyai hobby makan daging Steak, maka saya sarankan untuk segera mengatur strategi baru dalam menu makanan. Hehehehe ...kapok mu kapan... πŸ˜ŠπŸ˜‹

Sering kita tidak sadar bahwa selain air, protein adalah zat yang banyak ditemui hampir di seluruh cell di tubuh kita. Protein berfungsi sebagai source untuk repair, maintenance, transportation, storage, dan penghasil energy tubuh kita. Bahkan, Protein merupakan source untuk menghasilkan hormon dimana hormon inilah yang menjadikan media komunikasi antar organ dalam tubuh kita.

Karena terlibat dalam proses yang vital dan daily, makanya Protein ini perlu diganti secara rutin dengan cara mengkonsumsi makanan yang memang memberikan source protein. Makanan yang sesuai dengan sistem jaringan tubuh kita menjadi sangat penting. Salah satu kharakter jaringan tubuh ditentukan oleh golongan darah kita. Kurang lebih begitulah NARASI cerita pendek-nya. Kalau mau versi panjangnya silahkah berselancar di mbah Google.