Monday, October 27, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 3)

Kami tinggal di kampung Katy yang kecil. Meskipun mungil, tetapi di kampung ini kami dapat menemukan hampir semua bahan makanan, jenis makanan atau kuliner dari macam-macam taste. Mulai dari restaurant yang ala Mexico, Italia, Chinese, sampai Thailand. Mulai dari yang rasanya manis, masam sampai asin. Mulai dari yang pedasnya biasa-biasa, setengah biasa sampai yang pedes-nya bener-bener membikin perut mules. Komplit!

Kali ini, saya ingin share tentang common misconception dari apa yang pernah saya lakukan dalam hal how to manage food. Saya pernah mengikuti seminar Weight Management di Methodist Hospital West Campus Katy di dekat rumah. Setelah ikut satu jam seminar, ternyata bikin juga keder. Bukan karena program-nya yang tough dan tight, tetapi saya keder karena takut akan komitmen apakah saya  bisa commit dengan program semacam ini. Pendekatan yang dipakai lumayan radical dengan 3 tahapan dan relatively costly. Setahun sampeyan bisa keluar biaya at least USD 5000. Memang untuk yang namanya sehat, Priceless adalah harganya. Sky is the limit

Mengapa program seperti ini sering tidak laku atau tidak dapat berjalan as planned? Masalah dasarnya adalah ketidak-pahaman akan konsep program-nya. Sehingga apapun weight management program yang akan diikuti, nanti akan kembali lagi end product-nya. Dalam istilah medis, para dokter menyebutnya dengan sebutan Yo-Yo Concept. Bouncing up and down.  It is easy to lose weight but also easy to gain it back. 

Hal lain yang sering kita lupa adalah "yang tahu seluk beluk tubuh sampeyan itu, ya tentunya adalah sampeyan sendiri". Iya to? Jadi, diet tertentu yang cocok untuk orang lain, belum tentu cocok untuk sampeyan. Intinya, sampeyan sendiri-lah yang jadi dokter, yang harus "do the homework" untuk tahu sistem tubuh yang sampeyan punyai. Bagaimana caranya? Nah... see below.

Friday, October 24, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 2)

Kriteria sehat akan menjadi hal yang subjectif karena masing-masing dari sampeyan akan mempunyai standard yang berbeda. Sesuatu hal yang lumrah dan sah-sah saja. Apa yang saya tulis pada Sehat itu Mahal bagian 2 ini adalah definisi sehat dengan basis personal experience. Sampeyan boleh untuk tidak setuju dengan hipotesa ini. Mumpung masih nggak bayar kalau berbeda pendapat :-)

Untuk meyakinkan bahwa sampeyan tidak salah menangkap pesan dari yang ingin saya sampaikan, saya ingin highlight premise yang saya jadikan untuk berpijak. Yaitu, "Secara medis, salah satu indikator untuk menentukan apakah kita ini berpotensi untuk tidak sehat adalah ketika keseimbangan antara berat badan dan tinggi badan tidak terpenuhi". 


Keseimbangan ini, umumnya, merujuk kepada BMI (Body Mass Index) sebagai indikator apakah kita masuk dalam kategori berat yang ideal, kurus (alias kurang gizi), atau kegemukan (alias melebar ke samping). Secara definisi, kita masuk dalam kategori berat ideal jika nilai BMI berada dalam range antara 21 sampai 25. Reference yang lain malahan memakai 22 sampai 27.

Ketika saya menginap di rumah sakit, nilai BMI saya hampir 30 (kategori Obese). That was the highest point I have ever had. Sekarang, meskipun sudah turun tetapi masih jauh dari kategory ideal even untuk upper envelope (BMI=25). Satu hal yang saya yakin, ketika kita berada diluar range BMI yang normal (baik itu lebih kecil dari 21 atau di atas 25), maka disitulah limit tubuh manusia yang harus berjuang melawan internal tubuhnya sendiri, sehingga rentan untuk dapat bertahan dari hidup sehat.


Thursday, October 23, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 1)

Saya tulis ini di malam jumat bukan karena superstitious untuk menakut-nakuti sampeyan. Tetapi memang inilah satu-satunya waktu yang luang. Semoga topik Sehat itu Mahal bagian 1 dalam blog ini masih sempat menjadi teman sampeyan sekeluarga sebelum menunaikan ibadah sunnah malam Jumat :-) Kalau masih penasaran, kita lanjutkan di lapangan Volley minggu pagi besok.

-------------------

Pengalaman saya menginap sehari di rumah sakit cukup untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa yang namanya sehat itu mahal dan tidak bisa dibeli dengan materi. Karenanya, upaya untuk menjaga sehat itu menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh setiap makhluk yang namanya manusia. Sehat bukan untuk membuat pose tubuh kita menjadi lebih indah dilihat, tetapi upaya untuk menjaga badan agar lebih "mudah" untuk menjalankan ibadah keseharian. As simple as that. Paling tidak kalau Ruku' atau Sujud masih dalam posisi yang mengikuti sunnah Rosul. Iya to? 


Kalau sampeyan belum pernah menginap di rumah sakit karena gangguan pada kesehatan sampeyan, maka saya sarankan untuk tidak pernah membayangkannya. Bahkan, jangan sampai terlintas dalam benak pikiran sampeyan. Jangan sekali-kali berdoa untuk diberikan sakit, karena kalau doa itu dikabulkan dan benar-benar datang, akan sangat luar biasa rasanya. Sakit yang sepele saja bisa membuat meriang seluruh badan dan cukup membuat bulu kuduk sampeyan berdiri mendadak. 

Nah sialnya, yang namanya manusia ini khan tidak pintar membaca pesan yang sudah "dituliskan" oleh sang Khaliq, Pencipta-nya. Maka, yang terjadi adalah, untuk mengerti arti sehat, manusia ini cenderung untuk ingin tahu batas akhir (limit) dari kekuatan tubuhnya. Dengan kata lain, sebelum ada vonis sakit dari sisi medis, kita manusia ini akan terus saja berperilaku nyeleneh yang nota bene cenderung menyimpang dari pakem-nya. Misalnya melekan semalam suntuk karaoke-an selama tiga malam berturut-turut. Meeting seharian selama seminggu. Atau, meng-konsumsi makanan yang jelas-jelas tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia atau justeru membahayakannya karena kandungan zat yang ada dan kuantiti-nya. Sehingga sudah dapat dipastikan, ketika sudah melewati ambang batas limit raga manusia, yang terjadi kemudian adalah mudah ditebak, yaitu tubuh ambruk atau sakit. 


Wednesday, October 01, 2014

Anak Wedhok

Saya tulis ini dari jarak ribuan miles sambil menunggu si burung besi terbang. Entah mengapa, tiba-tiba saya teringat akan Genduk saya ini. Transit 4 jam di Singapore telah membawa lamunan saya ke anak wedhok cantik ini.

Masih segar dalam ingatan bahwa saya harus menggunakan naluri saya sebagai seorang laki-laki untuk menahan laju perkembangan cara berpikir dia. Bukan karena dia seorang anak perempuan. Bukan, sama sekali bukan. Saya melakukannya lebih disebabkan karena kepentingan hirarki dalam keluarga. Sebuah dilema hidup yang pernah ada, dimana saya harus memilih dengan segala konsekuensinya.

Dari awal, saya sudah melihat kelebihan dia yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Bahkan, dia bukan tandingan yang sepadan kalau harus saya adu "head-to-head" dengan saudaranya laki-laki. Substantially, dari kerangka berpikir yang jernih dan logis, dia mampu menunjukan kelas yang jauh di atas mereka yang nota bene laki-laki. Dan itu sudah terbukti. Kalau saja Rem (Brake) itu tidak pernah saya pasang dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin bagi dia untuk take over dinasti keluarga ini. Which is sesuatu yang sah sah saja. Iya to?