Sunday, October 29, 2006

A picture tells a thousand words

A picture tells a thousand words, but the untold story is still left behind :-) These photos were taken when we all celebrated our happy day (no Saturday school at KJRI). We were fishing at Seawolf Park, Galveston, Texas, on Saturday, the 28th of October 2006. 
We should bring home two big fishes if we were not too "exciting to pull it up". We broke one stick and loss the "possibility" of another big fish. It's alright, it was a great lesson learned about the rod, the bait, the net and most important thing is a lesson of law :-) One big fish is more than enough for 6 families, right? We are not a greedy type of person, are we? We will come back next time.

The big fish, called The Bull Reds, with 39 inches long is our main story. Do not know what the weight is. Probably around 50 lbs. In addition, we also caught 3 little fishes and 1 eel.
The story begins from here:


The 39 inches Bulls with us. Terlihat pada gambar di atas dari kiri ke kanan untuk para orang tua adalah Abang Helmi Pratikno, Cak Prahoro Nurtjahyo, Bang ErwinSyah Putra dan Uda Irzam. Sedang untuk anak-anak yang men-support acara ini, dari kiri ke kanan adalah Bisma, Deva, Fia (baju biru laut), Chinta, Satya dan Oliver.

 

We have to do postprocessing as shown in this photo (above). Bang Erwinsyah Putra took a lead on the postprocessing part. He cleaned the fish and... CUT it into two pieces. Now we know..... "Bro.. remember do not cut the fish"

 
Anak-anakpun tidak ingin ketinggalan. Chinta, Bisma dan Satya berpose dengan ikan.

Not only kids, orang tuapun tidak ingin ketinggalan foto dengan si ikan yang malang. Dari kiri ke kanan: Ning Linna, Deva (pakai topi biru), Fia, Bisma, Uda Irzam, Chinta, Satya dan Ning (Uni) Ima. 

Even our lawyer (Mas Alfrid) is happy with our big fish. Unfortunately, he missed the big event when we got caught by Texas Wildlife Ranger. We might use his expertise though :-) From left to right: Oliver, Fia, Chinta (with pink hat), Deva, Bisma, Mr. Alfridijanta, and Satya.

Friday, October 06, 2006

Sholat Tarawih

Kalau segala sesuatu diukur berdasarkan ukuran logika saja, maka banyak sekali kejadian yang muncul karena ketidaktahuan dari si pelaku. Dan kalau pelakunya adalah anak-anak, maka bersiaplah untuk menata hati dan bersabar. Inilah kejadian yang saya alami dengan anak saya yang paling bontot laki-laki berusia 4 tahun.

Ada ritme kegiatan rumah yang berbeda dibandingkan bulan yang lain. Pada bulan Ramadhan ini, action yang saya ambil adalah mogok dari segala tetek bengek acara lembur di Kantor. Kalau biasanya pulang setelah jam Maghrib, maka bulan ini sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah sambil ngabuburit.

Ketiga anak-anak saya paham sekali dengan scenario dadakan ini. Kebetulan dua anak saya (laki-laki 11 tahun dan perempuan 8 tahun) ikut aktif dalam puasa di siang harinya. Sehingga, by nature, mereka akan menuruti irama permainan ini tanpa harus diperintah. Dari seluruh anggota keluarga, maka yang menjadi pemain bawang dalam ritual puasa ini adalah anak saya yang paling kecil. Saya menyebutnya pemain bawang karena dia ikut dalam rombongan tetapi tidak diperhitungkan eksistensinya.

Kalau sudah waktunya berbuka puasa, dia yang nomor satu mencari tempat duduk dan paling kenceng teriaknya, “Sudah lapar….”, meskipun dia tidak ikut antrian panjang perut kosong di siang harinya. Waktu sholat Maghrib, semua kondisi masih aman terkendali, belum ada kegaduhan. Memasuki sholat Isya’, masih OK tapi sudah ada tanda-tanda dia mulai berontak. Si kecil sudah mulai gelisah setelah sholat Isya’ selesai. Nah. .puncak klimaksnya kalau sudah masuk sholat tarawih.

Dengan makmum yang hanya 4 orang, dimana mayoritas adalah anak-anak, saya yang dipercaya sebagai Imam keluarga, sudah barang tentu akan memilih surat-surat pendek. Artinya, surat yang dibaca hanya muter-muter dari Al-Ikhlas, Annas, Al-Asr dan sekelasnya yang pendek-pendek. Bukan karena sok toleransi dengan anak-anak kecil, tetapi memang banyak surat yang panjang dimana Imam sendiri belum hafal. Dan dari sekian banyak option pilihan tentang jumlah rokaat, kami sekeluarga sepakat dan jatuh cinta dengan komposisi 2+2+2+2+3 rokaat. Coba anda berhitung secara matematika, dengan mengambil semua ambang batas terendah dari ibadah tarawih ini, maka itulah the lowest point dari usaha kami dalam menjalankan ibadah sholat Tarawih. Dan tentunya semua itu ada konsekuensinya. Wajar khan? Karena kontribusinya paling kecil, maka jangan berharap dapat reward yang paling besar.

Dua rokaat pertama, tangan dia masih berada di atas perut. Masuk dua rokaat kedua, tangan mulai lepas dan berbisik,”Ayah… capek…”. Tangannya yang semula diam mulai bergoyang-goyang. Yang semula goyangannya ke arah depan dan belakang, berganti haluan ke arah samping. Dan sudah pasti, kakaknya yang sama-sama menjadi makmum disamping dia terkena goyangan tangan ini. Aduuhhh…..Matanya mulai berbinar ketika di setiap dua rokaat diakhiri dengan salam. Dan binar mata ini kembali redup setelah tahu Imamnya berdiri lagi untuk kloter berikutnya. Akhirnya, diapun memulai aksi strike-nya. Karena Imamnya tidak mempan dengan segala rengekan, maka dia mulai beraksi dengan tindakan. Ada saja alasannya, ditengah sholat dia bilang “mau pipis”lah atau “masih lapar”lah. Sudah selesai? Belum. Suatu malam, tiba-tiba saja sehabis sujud, dia tidak bangkit lagi untuk rokaat berikutnya dan pura-pura tidur. Walah… ada-ada saja ini.

Lha wong dengan kontribusi kecil saja, masih belum tentu akan dapat memperoleh rewardnya, apalagi ini ditambah aksi mogok. Jumlah makmumnya berkurang satu lagi. Ya sudah…. Kalau rejekinya masih secuil, it’s OK. Paling tidak sudah ada usaha untuk mencobanya. Bagaimana pak Kyai?. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat Siang 14 Ramadhan 1427H – 6 Oktober 2006)

Monday, October 02, 2006

Ramadhan dan Kita

Ketika semua khotbah tentang kebajikan, perbuatan baik, niat yang ikhlas, zakat, dan amal jariyah bertebaran pada bulan suci ini, maka sering kali saya bertanya, kemana saja khotbah semacam ini bersembunyi selain pada bulan puasa? Dengan melihat komposisi umat Islam di seluruh negeri, apakah ada data statistik yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para Muslimin/Muslimah mengeluarkan zakat atau sedekahnya terbanyak di sepanjang tahun? Dan sebagai derivative dari premis itu, adakah trend yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para fakir miskin terpenuhi kebutuhannya karena saudara-saudaranya yang mampu telah menyisihkan sebagian dari hartanya kepada mereka-mereka yang berhak atas hartanya ini? Kalau semua jawabannya adalah iya, artinya khotbah yang seabreg (bertubi-tubi datangnya ketika Ramadhan) itu mempunyai kekuatan religius yang mampu menggetarkan hati yang mendengar untuk melakukan tindakan yang memang harus dilakukan oleh seorang Muslimin/Muslimah.

Kalau assumsi saya benar, maka Ramadhan inilah bulan bagi para fakir miskin untuk sedikit bernafas lega karena sebagian kebutuhannya telah di-support oleh saudaranya yang lain. Dan kalau ternyata semua kenyataan berbeda dengan apa yang seharusnya ada, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ada yang salah dalam pemahaman kita tentang hakekat bulan Ramadhan ini. Seolah pada bulan suci ini adalah ritual ibadah yang vertical, yang hanya melibatkan antara aku dan Dia saja. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitar kita. Sehingga, bisa jadi sindiran ini benar adanya, “Yang akan kamu dapatkan hanya lapar dan dahaga saja”. Kemungkinan kedua, sistem yang tersedia di masyarakat kita ternyata belum mampu untuk menerapkan aplikasi dari teori akherat ini. Dengan bahasa yang sedikit agak vulgar, dana untuk zakat atau sedekah bukan jaminan menjadi “barang yang aman” dari tangan-tangan jahil. Baik yang jahil itu adalah para dermawannya (dengan mengurangi nilai barang terhadap nisabnya) ataupun para pengelolanya (penyalurannya tidak transparan dan tidak jelas standardnya). Wallahualam.

Ketika kenyataan hidup memperlihatkan betapa sistem kita belum bekerja dengan semestinya, maka yang bisa kita lakukan adalah “berilah sesuatu dengan tangan kananmu, tanpa mesti tangan kirimu mengetahui apa dan berapa besar yang telah diberikan oleh tangan kananmu”. Apakah ini berarti asal gugur sebuah kewajiban? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Kembalikan saja ke niat semula.
(Prahoro Nurtjahyo, 10 Ramadhan 1427H - 2 Oktober 2006)

Mesin Jemputan

Saya tidak menemukan istilah yang pas dalam kamus bahasa Indonesia untuk maksud yang ingin saya sampaikan. Sehingga lahirlah kosa kata baru (versi saya tentunya) dan akhirnya istilah ini muncul, Mesin Jemputan. Saya mengartikan Mesin Jemputan sebagai media yang sewaktu-waktu datang kepada kita untuk mengantarkan kita menghadap sang Khalik. Mesin jemputan ini bisa menjemput orang per orang, satu keluarga, satu desa, bahkan satu kabupaten/kotamadya sekalipun. Bisa setiap detik, setiap hari, setiap minggu, pendek kata setiap saat dan dimanapun tanpa meminta persetujuan kita terlebih dulu. Kalau kita mengenal cara kerja angka Random, mungkin dengan teori ini pula cara bekerja dari mesin jemputan ini.
Saya tidak cakap untuk mengingat-ingat setiap kejadian. Karenanya ingatan saya sangat tergantung pada catatan kecil di saku dimana kejadiannya sempat bersinggungan dengan saya, baik itu secara fisik atau bersentuhan dengan hati.

Sebulan sejak Tsunami Desember 2004, kita dibombardir dengan berita-berita melalui media masa, baik itu melalui seminar, fund raising, radio, TV maupun internet, tentang bencana yang datang menghampiri saudara-saudara kita di Aceh yang menelan korban jiwa hampir 200 ribu orang. Tiga bulan setelah Tsunami, Maret 2005, masih ditempat yang sama, terjadi gempa bumi yang menghantam pulau Nias. Masih belum cukup dengan gempa di pulau Nias, datang lagi gempa susulan yang menghampiri Sumatra Barat hingga pertengahan tahun 2005.

Akhir bulan Agustus 2005, Hurricane Katrina menghantam Lousiana, Mississippi dan Alabama. Dilihat dari namanya, artinya sudah ada 10 Hurricane yang telah datang ke Amerika Utara sebelum Katrina. Kalau Tsunami Desember 2004 datang tanpa ada “woro-woro”, maka Hurricane Katrina ini datang dengan “permisi” terlebih dulu. Bahkan 2-3 hari sebelum si mbak Katrina datang, pesannya sudah tertangkap oleh Badan Meteorologi US. Perkara yang terkena hantam kok Lousiana, mengapa bukan Texas atau State yang lain? itu diluar kuasa manusia. Itulah Sunatullah dimana alam hanya tunduk terhadap yang menciptakanNya. Meskipun dari sisi korban jiwa, Hurricane Katrina jauh lebih sedikit dibandingkan Tsunami Aceh, namun bentuk fisik yang dirusak oleh kedua “Natural Disaster” itu sama-sama parahnya. Saya berani jamin tidak ada orang yang lebih senang memilih terkena bencana Hurricane daripada Tsunami atau sebaliknya. Kedua-duanya membawa maut sebagai taruhannya.

Hanya berselang kurang dari 1 bulan, akhir September 2005, Hurricane Rita ikut-ikutan “bertamu” di perbatasan negara bagian Texas dan Lousiana. Rita datang dengan kulo nuwun terlebih dahulu sekaligus mengirim message bahwa dia akan datang dengan fully loaded (Category 5). Entah karena trauma akan dampak yang telah disebabkan oleh Katrina atau memang karena kesadaran warga, hampir 2.5 juta warga Houston mengungsi ke kota lain menjauhi daerah pantai.
Sudah selesaikah? Ternyata belum. Huricane baru menghantam ke negara Meksiko. Dibelahan bumi sebelah sana di Asia Tengah muncul lagi berita yang lain. Awal Oktober 2005, gempa bumi hebat menggetarkan Pakistan, Afganistan dan India. Di Pakistan saja tercatat sekitar 40000 korban meninggal dunia dan sekitar 50000 korban luka-luka.

Bagaimana dengan tahun 2006? Lebih santaikah? Ooo ternyata tidak. Gunung Merapi glegeken berkali-kali dengan wedhus gimbal-nya. Di Yogjakarta untuk kawasan Bantul dan sekitarnya terjadi tanah longsor akibat gempa. Terakhir kita melihat dan mendengar, Tsunami datang lagi bersilaturahmi ke Indonesia dan menyapu bagian barat dari arah selatan pulau Jawa.

What’s next? Hanya Allah Yang Maha Tahu.

“Apakah semua ini memang hanya sekedar teori pergeseran tanah?
Apakah semua ini berkaitan dengan teori kesetimbangan energi?Global Warming?
Apakah semua ini disebabkan karena bumi ini sudah tua sehingga sakit-sakitan?
atau
Jangan-jangan semua ini adalah sebuah pesan yang datang secara beruntun karena setiap kali pesan yang datang, kita tidak pintar untuk meresponnya”
Kalau semua ini ternyata adalah awal dari rentetan pesan yang isi sebenarnya adalah “Hai Manusia bersiaplah, akan datang lebih besar dan akan lebih sering lagi”, maka sudah seharusnya bagi kita untuk menata ulang kembali niat kita tentang hidup dan apa saja yang pernah kita lakukan untuk hidup ini. Kalau hari ini kita masih dapat berkumpul dengan keluarga, maka itu semua adalah pertanda bahwa kita telah diberi dispensasi waktu untuk segera berkemas, menata dan mempersiapkannya sebelum mesin jemputan itu datang melalui aneka macam bentuknya. Pertanyaan dasarnya adalah “Sudah cukupkah bekal yang kita punya sebelum mesin jemputan mengantarkan kita untuk menghadapNya?” (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi 2 Oktober 2006)