Kalau segala sesuatu diukur berdasarkan ukuran logika saja, maka banyak sekali kejadian yang muncul karena ketidaktahuan dari si pelaku. Dan kalau pelakunya adalah anak-anak, maka bersiaplah untuk menata hati dan bersabar. Inilah kejadian yang saya alami dengan anak saya yang paling bontot laki-laki berusia 4 tahun.
Ada ritme kegiatan rumah yang berbeda dibandingkan bulan yang lain. Pada bulan Ramadhan ini, action yang saya ambil adalah mogok dari segala tetek bengek acara lembur di Kantor. Kalau biasanya pulang setelah jam Maghrib, maka bulan ini sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah sambil ngabuburit.
Ketiga anak-anak saya paham sekali dengan scenario dadakan ini. Kebetulan dua anak saya (laki-laki 11 tahun dan perempuan 8 tahun) ikut aktif dalam puasa di siang harinya. Sehingga, by nature, mereka akan menuruti irama permainan ini tanpa harus diperintah. Dari seluruh anggota keluarga, maka yang menjadi pemain bawang dalam ritual puasa ini adalah anak saya yang paling kecil. Saya menyebutnya pemain bawang karena dia ikut dalam rombongan tetapi tidak diperhitungkan eksistensinya.
Kalau sudah waktunya berbuka puasa, dia yang nomor satu mencari tempat duduk dan paling kenceng teriaknya, “Sudah lapar….”, meskipun dia tidak ikut antrian panjang perut kosong di siang harinya. Waktu sholat Maghrib, semua kondisi masih aman terkendali, belum ada kegaduhan. Memasuki sholat Isya’, masih OK tapi sudah ada tanda-tanda dia mulai berontak. Si kecil sudah mulai gelisah setelah sholat Isya’ selesai. Nah. .puncak klimaksnya kalau sudah masuk sholat tarawih.
Dengan makmum yang hanya 4 orang, dimana mayoritas adalah anak-anak, saya yang dipercaya sebagai Imam keluarga, sudah barang tentu akan memilih surat-surat pendek. Artinya, surat yang dibaca hanya muter-muter dari Al-Ikhlas, Annas, Al-Asr dan sekelasnya yang pendek-pendek. Bukan karena sok toleransi dengan anak-anak kecil, tetapi memang banyak surat yang panjang dimana Imam sendiri belum hafal. Dan dari sekian banyak option pilihan tentang jumlah rokaat, kami sekeluarga sepakat dan jatuh cinta dengan komposisi 2+2+2+2+3 rokaat. Coba anda berhitung secara matematika, dengan mengambil semua ambang batas terendah dari ibadah tarawih ini, maka itulah the lowest point dari usaha kami dalam menjalankan ibadah sholat Tarawih. Dan tentunya semua itu ada konsekuensinya. Wajar khan? Karena kontribusinya paling kecil, maka jangan berharap dapat reward yang paling besar.
Dua rokaat pertama, tangan dia masih berada di atas perut. Masuk dua rokaat kedua, tangan mulai lepas dan berbisik,”Ayah… capek…”. Tangannya yang semula diam mulai bergoyang-goyang. Yang semula goyangannya ke arah depan dan belakang, berganti haluan ke arah samping. Dan sudah pasti, kakaknya yang sama-sama menjadi makmum disamping dia terkena goyangan tangan ini. Aduuhhh…..Matanya mulai berbinar ketika di setiap dua rokaat diakhiri dengan salam. Dan binar mata ini kembali redup setelah tahu Imamnya berdiri lagi untuk kloter berikutnya. Akhirnya, diapun memulai aksi strike-nya. Karena Imamnya tidak mempan dengan segala rengekan, maka dia mulai beraksi dengan tindakan. Ada saja alasannya, ditengah sholat dia bilang “mau pipis”lah atau “masih lapar”lah. Sudah selesai? Belum. Suatu malam, tiba-tiba saja sehabis sujud, dia tidak bangkit lagi untuk rokaat berikutnya dan pura-pura tidur. Walah… ada-ada saja ini.
Lha wong dengan kontribusi kecil saja, masih belum tentu akan dapat memperoleh rewardnya, apalagi ini ditambah aksi mogok. Jumlah makmumnya berkurang satu lagi. Ya sudah…. Kalau rejekinya masih secuil, it’s OK. Paling tidak sudah ada usaha untuk mencobanya. Bagaimana pak Kyai?. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat Siang 14 Ramadhan 1427H – 6 Oktober 2006)
Ada ritme kegiatan rumah yang berbeda dibandingkan bulan yang lain. Pada bulan Ramadhan ini, action yang saya ambil adalah mogok dari segala tetek bengek acara lembur di Kantor. Kalau biasanya pulang setelah jam Maghrib, maka bulan ini sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah sambil ngabuburit.
Ketiga anak-anak saya paham sekali dengan scenario dadakan ini. Kebetulan dua anak saya (laki-laki 11 tahun dan perempuan 8 tahun) ikut aktif dalam puasa di siang harinya. Sehingga, by nature, mereka akan menuruti irama permainan ini tanpa harus diperintah. Dari seluruh anggota keluarga, maka yang menjadi pemain bawang dalam ritual puasa ini adalah anak saya yang paling kecil. Saya menyebutnya pemain bawang karena dia ikut dalam rombongan tetapi tidak diperhitungkan eksistensinya.
Kalau sudah waktunya berbuka puasa, dia yang nomor satu mencari tempat duduk dan paling kenceng teriaknya, “Sudah lapar….”, meskipun dia tidak ikut antrian panjang perut kosong di siang harinya. Waktu sholat Maghrib, semua kondisi masih aman terkendali, belum ada kegaduhan. Memasuki sholat Isya’, masih OK tapi sudah ada tanda-tanda dia mulai berontak. Si kecil sudah mulai gelisah setelah sholat Isya’ selesai. Nah. .puncak klimaksnya kalau sudah masuk sholat tarawih.
Dengan makmum yang hanya 4 orang, dimana mayoritas adalah anak-anak, saya yang dipercaya sebagai Imam keluarga, sudah barang tentu akan memilih surat-surat pendek. Artinya, surat yang dibaca hanya muter-muter dari Al-Ikhlas, Annas, Al-Asr dan sekelasnya yang pendek-pendek. Bukan karena sok toleransi dengan anak-anak kecil, tetapi memang banyak surat yang panjang dimana Imam sendiri belum hafal. Dan dari sekian banyak option pilihan tentang jumlah rokaat, kami sekeluarga sepakat dan jatuh cinta dengan komposisi 2+2+2+2+3 rokaat. Coba anda berhitung secara matematika, dengan mengambil semua ambang batas terendah dari ibadah tarawih ini, maka itulah the lowest point dari usaha kami dalam menjalankan ibadah sholat Tarawih. Dan tentunya semua itu ada konsekuensinya. Wajar khan? Karena kontribusinya paling kecil, maka jangan berharap dapat reward yang paling besar.
Dua rokaat pertama, tangan dia masih berada di atas perut. Masuk dua rokaat kedua, tangan mulai lepas dan berbisik,”Ayah… capek…”. Tangannya yang semula diam mulai bergoyang-goyang. Yang semula goyangannya ke arah depan dan belakang, berganti haluan ke arah samping. Dan sudah pasti, kakaknya yang sama-sama menjadi makmum disamping dia terkena goyangan tangan ini. Aduuhhh…..Matanya mulai berbinar ketika di setiap dua rokaat diakhiri dengan salam. Dan binar mata ini kembali redup setelah tahu Imamnya berdiri lagi untuk kloter berikutnya. Akhirnya, diapun memulai aksi strike-nya. Karena Imamnya tidak mempan dengan segala rengekan, maka dia mulai beraksi dengan tindakan. Ada saja alasannya, ditengah sholat dia bilang “mau pipis”lah atau “masih lapar”lah. Sudah selesai? Belum. Suatu malam, tiba-tiba saja sehabis sujud, dia tidak bangkit lagi untuk rokaat berikutnya dan pura-pura tidur. Walah… ada-ada saja ini.
Lha wong dengan kontribusi kecil saja, masih belum tentu akan dapat memperoleh rewardnya, apalagi ini ditambah aksi mogok. Jumlah makmumnya berkurang satu lagi. Ya sudah…. Kalau rejekinya masih secuil, it’s OK. Paling tidak sudah ada usaha untuk mencobanya. Bagaimana pak Kyai?. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat Siang 14 Ramadhan 1427H – 6 Oktober 2006)
1 comment:
Post a Comment