Saturday, September 30, 2006

Antara Saya, Rita dan Houston

Akhir bulan ini, setahun yang lalu, 24 September 2005, Hurricane Rita sempat akan sowan ke Houston dan kebetulan saja, dia membatalkan niat kedatangannya. Batal datang? Iya. Karenanya ada kemungkinan dia akan datang lagi meski dengan nama yang lain. Kapan? Hanya Yang Maha Kuasa yang mengetahui sesudah dan sebelum kejadian.

Kalau dibandingkan Tsunami di Aceh akhir tahun 2004 yang lalu, maka Hurricane Rita ini memang lebih sopan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Hurricane Rita tidak mematikan. Mengapa lebih sopan? Paling tidak, dia datang dengan mengucapkan salam. Meski salam pertamanya ditujukan kepada masyarakat di Matagorda, Corpus Christi dan sekitarnya, sedangkan warga Houston, sekitar 300 miles sebelah timur laut Matagorda juga terimbas salam dari Rita ini. Salam yang sangat luar biasa dampaknya.

Ucapan salam dari Rita, kami sambut dengan berlarian ke luar kota selama 3 hari. Artinya selama 3 hari pula, kami mengamati Rita dari tempat pengungsian. Disadari atau tidak, cemas dan takut adalah bagian dari mereka yang kebetulan tidak sempat mengungsi, entah karena kondisi fisik atau karena jalanan yang macet ketika itu.

Banyak dari kita yang menjadi alim dan khusyuk dalam berdoa. Saya yang biasanya selesai sholat kemudian langsung berdiri dan mak plencing lari, tetapi mendadak kerasan untuk wiritan berjam-jam. Setelah melihat kiri kanan….E..ternyata saya tidak sendirian. Banyak juga ternyata barisan pengemar baru wiritan panjang ini. Dari sekian banyak macam doa dan harapan, yang paling sering saya dengar adalah doa seperti ini, “Mudah-mudahan tidak menghantam Houston”. Tentunya dalam suasana yang “berkabung” saya tidak akan mempermasalahkan segala tetek bengek macam doa. Hanya saja, hati kecil saya yang sering berontak. Lha secara logika, kalau nggak menghantam ke Houston pasti menhantam tempat lain. Iya to? Bahwa Rita datang dari laut menuju ke daratan adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari. Ini bukan sebuah pilihan dimana Rita bisa jadi datang atau bisa jadi tidak datang. Lha ini khan aneh rasanya. Apakah kita berdoa hanya untuk keselamatan Houston saja? Kita ini memang sering sekali lupa dan berpikir untuk diri sendiri tanpa kita menyadarinya bahwa keberadaan kita saat ini adalah juga karena “bantuan” dari saudara-saudara di sekitar kita. Dan pasca kejadian, anak saya yang paling besar berkomentar dengan bangganya, “Wah untung ya.. Ayah, Rita tidak menghantam Houston”. Waduh…. Ternyata transfer nilainya belum sampai ke sana rupanya.

Ketika salam datang dan tidak ada yang membuka pintunya, tidak mungkin Rita kembali karena ternyata Matagorda tutup tidak berpenghuni, misalnya. Kalau kita akan datang ke rumah seseorang, dan kita mengetahui 3 hari sebelum kita datang, ternyata tuan rumahnya sudah kabur, sudah barang tentu kita akan membatalkan rencana kedatangan kita. Tetapi, tidak demikian halnya dengan RITA. Coba bayangkan, si Rita ini yang datang jauh-jauh dari Samudra Atlantic dan sampai ke Galveston, semua tuan rumah sudah tidak ada, apakah RITA akan kembali? Rita dengan lantang akan bilang, “Saya akan datang dari laut, apapun kondisi yang ada di daratan. Tidak peduli apakah tuan rumahnya ada atau sudah mengungsi, Yang jelas saya datang dituntun oleh alam dengan dipandu oleh angin, panas, dan gaya centrifugal bumi”.

Maka kalau kita selamat hari ini, belum tentu kita akan selamat besok. Untuk itu yang bisa kita lakukan sekarang adalah saling mengingatkan bahwa semua yang ada pada kita saat ini adalah titipan yang kelak akan diminta kembali olehNya. (Prahoro Nurtjahyo, Sabtu sore, 30 September 2006)

Monday, September 25, 2006

Puasa Saya Diawali Dengan Dua Roti di Siang Bolong

Pemahaman saya tentang puasa sangat dangkal. Bagaimana saya mengukur dangkal atau tidaknya? Gampang saja. Ini versi saya tentunya. Kalau anda pernah mengikuti sholat Tarawih pada hari-hari terakhir Ramadhan, dan anda menyaksikan betapa Imam sangat khusyuk dalam bacaan sholatnya ditambahi dengan menangis yang tersedu-sedu karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan, maka posisi saya masih sangat jauh dari itu. Memang ada perasaan kecewa karena Ramadhan begitu cepatnya berlalu. Tetapi kalau dalam mewujudan kekecewaan sampai menangis tersedu-sedu, kok masih belum kesana ya makom saya. Barangkali ada yang salah dengan saya ini? Mungkin juga, ada yang konslet dalam pemahaman saya ini.

Beginilah akibatnya kalau logika terlalu sering diandalkan. Sehingga untuk hal-hal yang sifatnya transcendental-pun berakibat menjadi fatal. Puasa tahun ini, kami tidak memulainya dengan se-smooth seperti puasa-puasa tahun sebelumnya. Kalau sebelumnya kami selalu menyambut kedatangan bulan Ramadhan dari pintu rumah, maka tahun ini kami harus menyambutnya ketika sedang berada di luar kota karena sedang ada acara dari kantor. Meskipun sebenarnya kami sudah memperkirakan waktu kedatangannya, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terjadi diluar kontrol kami. Karena hal yang tidak lumrah inilah, maka puasa kami menjadi kurang pas saat memulainya. (ah…alasan saja )

Logika perhitungan saya mengatakan bahwa hari Minggu adalah hari pertama Ramadhan. Tentunya ini bersandar pada perhitungan angka (bukan melihat bulan), sehingga saya berkesimpulan awal puasa akan jatuh pada hari itu. Sebelum berangkat ke luar kota , sebagai backup, saya berencana akan memanfaatkan teknologi internet dan telepon untuk memfasilitasi informasi yang terputus.

Manusia boleh berencana dengan segala maneuver-nya, tetapi hanya Yang Maha Tahu yang berkuasa akan kehendakNya. Kesalahan utama yang saya lakukan adalah berasumsi bahwa semuanya dapat di-check melalui internet. Mitigasi plan berikutnya adalah saya berencana untuk menelpon teman-teman di kota dimana kami tinggal tentang kepastian jadwal hari pertama bulan Ramadhan. Nah ternyata, kedua option tersebut tidak kami lakukan selama kami tinggal di penginapan. Pagi hari, istri saya melihat berita dari CNN bahwa puasa hari pertama adalah hari Minggu. Tanpa check dan recheck terlebih dahulu (hari minggu untuk negara mana?), maka saya semakin yakin dengan perhitungan saya sendiri. Akhirnya pada hari Sabtu, sekitar pukul 8:00 pagi, dua roti seukuran kepalan tangan masuk ke mulut melalui kerongkongan dan akhirnya bersemayam teduh di lambung (perut sebelah kiri), ditambah dengan aliran segar teh panas. Sudah pasti wareg (baca: kenyang). Kaki saya angkat sambil jigang (baca: kaki bersilang satu diatas yang lain) dan membaca koran sambil sesekali menyruput teh panas yang mulai hangat. Wah mantap..sedap sekali rasanya….

Allah Maha Adil. Kalaulah sahabat saya tidak mengirimkan pesannya melalui cellular, tentu saya sekeluarga akan kehilangan hari pertama puasa Ramadhan tahun ini. Ketika dengan khusyuknya saya berbicara dengan orang tua melalui telepon untuk memohon maaf dan mengucapkan selamat berpuasa, ternyata ada telpon masuk dari sahabat saya. Bimbang antara memutus pembicaraan dengan orang tua atau tidak, akhirnya saya meneruskan pembicaraan dengan orang tua sampai selesai. Segera setelah selesai pembicaraan dengan orang tua, saya telepon sahabat saya ini dan yang muncul pertama dalam pembicaraan kami adalah “Apakah sudah tahu kalau puasa pertama dimulai hari Sabtu ini?” Saya langsung berdiri dari duduk dan spontan saja berkata “Ah masak iya?” Langsung terbayang jelas dalam ingatan saya dua buah roti dan secangkir teh manis yang baru saja saya habiskan sejam sebelumnya. Berkah apa yang melebihi dari itu untuk ukuran orang berpuasa? Wong “sahur” kok jam 8 pagi? Subhanallah. Hanya dengan kehendakNya, saya dan keluarga akhirnya bisa mengikuti puasa hari pertama meskipun dengan catatan-catatan khusus didepannya.

Setelah acara akhir pekan di luar kota selesai, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya kembalikan lagi segenap pikiran untuk berkonsentrasi tentang kejadian yang baru saja saya alami untuk events besar ini, Puasa Ramadhan. Kok bisa saya se-teledor ini? Saya merenung kembali betapa saya dimanjakan olehNya dengan segala kejadian selama weekend ini. Pasti ada sesuatu yang tanpa saya sadari telah lenyap dari hak saya sebagai hambaNya akibat ke-teledor-an ini. Ternyata benar, dan baru saya temukan tadi malam ketika kami sholat tarawih bersama keluarga. Dari sekian banyak kemudahan yang sudah saya peroleh dariNya (anggap saja sebagai discount), saya telah kehilangan dua kali sholat tarawih selama di luar kota. Inilah harga dari sebuah teledor. Dan tentunya ke-teledor-an ini berharga sangat mahal karena sudah pasti saya tidak akan penuh satu bulan dalam mengerjakan sholat tarawih. Adakah moment yang paling indah selama bulan Ramadhan selain menjalankan puasa di siang hari, membatalkannya dengan berbuka di sore hari, melakukan sholat tarawih bersama dan bangun untuk makan sahur di malam hari? Jadi kalau ada yang bertanya “Berapa harga dari dua sholat tarawih?” maka jawabannya adalah dua roti seukuran kepalan tangan. (Prahoro Nurtjahyo, 3 Ramadhan 1427H - 25 September 2006)

Thursday, September 07, 2006

Blender

Keluarga kami memang boros dengan peralatan memasak yang namanya Blender. Tak terhitung berapa kali kami sudah beli Blender, baik dari yang merek A sampai Z, yang warna merah, hijau sampai putih, tetapi selalu saja semuanya berakhir dengan rusaknya si Blender yang relative tidak terlalu lama dari waktu ketika dibelinya. Kalaulah rusak karena sudah dipakai 1 tahun, ya wajarlah namanya juga barang yang dipakai setiap hari. 

Meskipun benda mati, tapi khan ada umurnya juga. Maka rusaknya Blender kami ini pun bervariasi. Ada yang setelah 3 minggu dibeli jebol puteran-nya, 1 bulan baru dibeli mur-nya lari entah kemana, ada juga yang 2 bulan setelah dibeli kabelnya terbakar. Dari semua Blender yang pernah kami miliki, usianya tidak lebih dari 3 bulan.

Saya jadi berpikir, “Apakah memang rumah kami ini tidak ber-aura barang-barang modern?” Sehingga untuk alat yang bernama Blender inipun kami harus merelakan kepergiannya dan berganti haluan memakai uleg-uleg dan Layah (beberapa daerah menyebutnya dengan Cuwek). Meskipun sama fungsinya, Layah umumnya terbuat dari batu kali, sedangkan Cuwek terbuat dari tanah liat.

Yo wis, kalau memang begitu garisnya. “Mau apa lagi, bagaimana kalau kita kembali ke asal saja?”, demikian kata saya ke istri. “Wong dulu kita juga biasa pakai Uleg-uleg dan Layah. Malahan rasanya lebih sedep.” Meski dengan wajah sedikit manyun, tetapi istri saya manut saja. Bagaimana nggak manyun? Karena pada akhirnya toh istri saya juga yang nanti menjadi pelaku utamanya untuk nguleg di Layah itu.

Walhasil… kehidupan dapur kami tanpa Blender-pun mulai memasuki babak baru. Saya tidak ambil pusing meski tanpa kehadiran si Blender, bahkan rumah menjadi lebih tenang tanpa ada suara yang meraung-raung. Wreng…wreng…wreng. Sekarang yang terdengar bunyi baru…..klethek … klethek … klethek …. berbenturan dua batu antara Layah dan Uleg-uleg.

Permasalahan baru dengan Layah inipun mulai muncul. Layah dari batu kali sebesar bagong itupun mulai merajai dapur kami. Bukan hanya “raja” dari segi kekuatan Layah, tetapi juga “raja” dari segi ukuran. Dapat anda bayangkan bahwa batu sebesar pantat kerbau itu kami letakkan di atas meja makan. Dan sudah barang tentu, karena ukurannya yang besar, perabotan yang lain harus mengalah. Mengalah dalam arti yang sebenarnya, surrender. Mau diadu dengan apapun, si Layah ini pasti menang. Kok bisa menang? Bagaimana dia tidak menang, lha wong dia terbuat dari batu kali. Peralatan dapur mana yang mau bersenggolan dengan batu kali? Paling tidak, 1 piring dan 1 mangkok sudah menjadi korban “pergesekan” dengan si Layah yang berakhir dengan pecahnya bibir si piring. Seandainya piring itu bisa ngomong, tentunya dia akan bilang “I do not want to argue with him. He is a stone …Man”.

Sudah barang tentu istri saya bukan hanya lagi manyun sekarang, melainkan sudah mulai menggerutu. “Apa sih susahnya kalau beli Blender lagi?” Dan aksi istri saya didukung oleh ketiga anak-anak saya. Kalau sudah waktunya makan malam, mereka berlarian ke kamar masing-masing. Ada saja alasannya. “Tadi makan banyak di sekolah”. Dari semua alasan, intinya hanya satu “bagaimana menghindari duduk bersama satu meja dengan Layah dari batu yang sebesar bagong itu”.

Memang keberadaan Layah di meja kami menghadirkan masalah baru dan dapat berdampak macam-macam. Paling tidak, ada dua macam pemikiran bagi orang-orang yang kebetulan melihat kami ketika makan malam bersama. Pertama, bagi yang tahu, wow ... keluarga kami sedang menyantap ikan bakar dengan lalapan dan sambel segar di atas Layah itu. Kalau pemikiran itu yang terjadi, maka saya tidak terlalu mempedulikannya. Kedua, bagi yang tidak tahu, inilah sialnya (dan yang saya takutkan), kami bisa jadi dianggap sedang melakukan upacara ritual melingkar di sekeliling batu yang terletak di atas meja makan itu. Waduh……

Inilah kehidupan keluarga kami tanpa Blender. Betapa batu sebesar bagong ini menjadi idola kami yang baru dan tentu menjadi masalah juga bagi kami karena ternyata kedudukan kami dikalahkan oleh sebuah batu. Kalau ada yang iri karena kami mempunyai Layah (Cuwek) sebesar Bagong, maka please anda tidak perlu iri. Apapun yang anda lihat, hanya indah saat sambel segar itu berada di dalam mulut saja. Selebihnya, terlalu banyak repot mengurusnya daripada menikmatinya. Apalagi dengan ukurannya yang sebesar itu. Jadi, kembali ke Blender saja?
(Prahoro Nurtjahyo, Kamis Pagi, 7 September 2006).