Monday, September 25, 2006

Puasa Saya Diawali Dengan Dua Roti di Siang Bolong

Pemahaman saya tentang puasa sangat dangkal. Bagaimana saya mengukur dangkal atau tidaknya? Gampang saja. Ini versi saya tentunya. Kalau anda pernah mengikuti sholat Tarawih pada hari-hari terakhir Ramadhan, dan anda menyaksikan betapa Imam sangat khusyuk dalam bacaan sholatnya ditambahi dengan menangis yang tersedu-sedu karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan, maka posisi saya masih sangat jauh dari itu. Memang ada perasaan kecewa karena Ramadhan begitu cepatnya berlalu. Tetapi kalau dalam mewujudan kekecewaan sampai menangis tersedu-sedu, kok masih belum kesana ya makom saya. Barangkali ada yang salah dengan saya ini? Mungkin juga, ada yang konslet dalam pemahaman saya ini.

Beginilah akibatnya kalau logika terlalu sering diandalkan. Sehingga untuk hal-hal yang sifatnya transcendental-pun berakibat menjadi fatal. Puasa tahun ini, kami tidak memulainya dengan se-smooth seperti puasa-puasa tahun sebelumnya. Kalau sebelumnya kami selalu menyambut kedatangan bulan Ramadhan dari pintu rumah, maka tahun ini kami harus menyambutnya ketika sedang berada di luar kota karena sedang ada acara dari kantor. Meskipun sebenarnya kami sudah memperkirakan waktu kedatangannya, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terjadi diluar kontrol kami. Karena hal yang tidak lumrah inilah, maka puasa kami menjadi kurang pas saat memulainya. (ah…alasan saja )

Logika perhitungan saya mengatakan bahwa hari Minggu adalah hari pertama Ramadhan. Tentunya ini bersandar pada perhitungan angka (bukan melihat bulan), sehingga saya berkesimpulan awal puasa akan jatuh pada hari itu. Sebelum berangkat ke luar kota , sebagai backup, saya berencana akan memanfaatkan teknologi internet dan telepon untuk memfasilitasi informasi yang terputus.

Manusia boleh berencana dengan segala maneuver-nya, tetapi hanya Yang Maha Tahu yang berkuasa akan kehendakNya. Kesalahan utama yang saya lakukan adalah berasumsi bahwa semuanya dapat di-check melalui internet. Mitigasi plan berikutnya adalah saya berencana untuk menelpon teman-teman di kota dimana kami tinggal tentang kepastian jadwal hari pertama bulan Ramadhan. Nah ternyata, kedua option tersebut tidak kami lakukan selama kami tinggal di penginapan. Pagi hari, istri saya melihat berita dari CNN bahwa puasa hari pertama adalah hari Minggu. Tanpa check dan recheck terlebih dahulu (hari minggu untuk negara mana?), maka saya semakin yakin dengan perhitungan saya sendiri. Akhirnya pada hari Sabtu, sekitar pukul 8:00 pagi, dua roti seukuran kepalan tangan masuk ke mulut melalui kerongkongan dan akhirnya bersemayam teduh di lambung (perut sebelah kiri), ditambah dengan aliran segar teh panas. Sudah pasti wareg (baca: kenyang). Kaki saya angkat sambil jigang (baca: kaki bersilang satu diatas yang lain) dan membaca koran sambil sesekali menyruput teh panas yang mulai hangat. Wah mantap..sedap sekali rasanya….

Allah Maha Adil. Kalaulah sahabat saya tidak mengirimkan pesannya melalui cellular, tentu saya sekeluarga akan kehilangan hari pertama puasa Ramadhan tahun ini. Ketika dengan khusyuknya saya berbicara dengan orang tua melalui telepon untuk memohon maaf dan mengucapkan selamat berpuasa, ternyata ada telpon masuk dari sahabat saya. Bimbang antara memutus pembicaraan dengan orang tua atau tidak, akhirnya saya meneruskan pembicaraan dengan orang tua sampai selesai. Segera setelah selesai pembicaraan dengan orang tua, saya telepon sahabat saya ini dan yang muncul pertama dalam pembicaraan kami adalah “Apakah sudah tahu kalau puasa pertama dimulai hari Sabtu ini?” Saya langsung berdiri dari duduk dan spontan saja berkata “Ah masak iya?” Langsung terbayang jelas dalam ingatan saya dua buah roti dan secangkir teh manis yang baru saja saya habiskan sejam sebelumnya. Berkah apa yang melebihi dari itu untuk ukuran orang berpuasa? Wong “sahur” kok jam 8 pagi? Subhanallah. Hanya dengan kehendakNya, saya dan keluarga akhirnya bisa mengikuti puasa hari pertama meskipun dengan catatan-catatan khusus didepannya.

Setelah acara akhir pekan di luar kota selesai, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya kembalikan lagi segenap pikiran untuk berkonsentrasi tentang kejadian yang baru saja saya alami untuk events besar ini, Puasa Ramadhan. Kok bisa saya se-teledor ini? Saya merenung kembali betapa saya dimanjakan olehNya dengan segala kejadian selama weekend ini. Pasti ada sesuatu yang tanpa saya sadari telah lenyap dari hak saya sebagai hambaNya akibat ke-teledor-an ini. Ternyata benar, dan baru saya temukan tadi malam ketika kami sholat tarawih bersama keluarga. Dari sekian banyak kemudahan yang sudah saya peroleh dariNya (anggap saja sebagai discount), saya telah kehilangan dua kali sholat tarawih selama di luar kota. Inilah harga dari sebuah teledor. Dan tentunya ke-teledor-an ini berharga sangat mahal karena sudah pasti saya tidak akan penuh satu bulan dalam mengerjakan sholat tarawih. Adakah moment yang paling indah selama bulan Ramadhan selain menjalankan puasa di siang hari, membatalkannya dengan berbuka di sore hari, melakukan sholat tarawih bersama dan bangun untuk makan sahur di malam hari? Jadi kalau ada yang bertanya “Berapa harga dari dua sholat tarawih?” maka jawabannya adalah dua roti seukuran kepalan tangan. (Prahoro Nurtjahyo, 3 Ramadhan 1427H - 25 September 2006)

No comments: