Monday, December 25, 2006

Pantat versus Lengan

Bagi beberapa orang, bermain ice skating tidak berbeda jauh dengan bermain sepatu roda atau Roller Blade. Bagi saya, yang belum pernah main sepatu roda (ataupun Roller Blade), olah raga jenis ini lebih menakutkan ketimbang olah raga fisik yang lain. Tinju atau gulat, misalnya.

Setahun yang lalu, ketika anak-anak kami mulai mengenal olah raga jenis ini, saya masih sempat menghindar karena alasan menjaga anak saya yang paling bontot. Waktu itu, hanya istri dan dua anak saya saja yang menikmatinya. Mereka terlihat sangat enjoy dengan permainan ini. Apalagi istri saya. Meskipun, sudah tidak terhitung berapa kali si doi jatuh di ice rink. Saya yang hanya melihat saja sudah ngeri apalagi kalau disuruh mencobanya. Maka lengkaplah tekad saya waktu itu untuk tidak mau ikut dalam rombongan ice skating setiap kali mereka-mereka ini bermain. “Nanti saja lain kali…“ kalimat itu yang sering saya sampaikan ke anak-anak.




Tahun ini, alasan itu sudah tidak mempan lagi. Apalagi argumentasi saya dapat dipatahkan dengan value yang sedang kami bangun di rumah kami, commitment untuk bersama-sama. Maka dengan limited training dari anak saya yang paling besar, “Kiri-kanan Kiri-kanan lurus…..” saya akhirnya memutuskan untuk berani masuk juga ke ice rink itu. Dan ini adalah pertama kali saya mencoba bermain ice skating dalam hidup saya. Tidak melalui instruktur beneran atau training dengan sepatu roda atau roller blade terlebih dulu, tetapi langsung bermain di ice rink. Edan khan?

Begitu masuk ke ice rink, segala macam umpatan langsung keluar dari dalam hati. Ingin rasanya saya cubit mulut yang nyerocos katanya “kiri-kanan…kiri-kanan lurus”. Enak saja si instruktur bilang kiri-kanan kiri kanan. Jangankan untuk diarahkan ke kiri atau ke kanan, lha wong untuk membikin berdiri setimbang saja, susahnya minta ampun. Sudah saya niatkan di otak untuk melangkahkan kaki sebelah kiri, tetapi yang terjadi bukannya terangkat melainkan membuat kaki kanan dan kaki kiri saling menjauh sehingga membentuk huruf V yang lebar. Karena jarak kaki kiri dan kanan semakin menjauh, maka jatuh adalah sebuah konsekuensi logis yang harus dibayar. Jatuhpun ada dua kemungkinan. Pertama, jatuh dengan posisi ke depan. Artinya nyungsep dengan muka terlebih dulu. Kedua, jatuh ke belakang dengan pantat terlebih dahulu.

Bersyukurlah kita manusia mempunyai pantat. Meskipun posisi pantat berdekatan dengan hal-hal yang membikin pusing terutama karena bau yang ditimbulkannya, tetapi keberadaan pantat sebagai bumper sangat menolong manusia terutama kalau pas jatuh. Meskipun semuanya tergantung kasus per kasus, tetapi posisi jatuh dengan menempatkan pantat terlebih dahulu adalah relative lebih aman daripada jatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu atau organ tubuh yang lain.

Entah karena argumentasi seperti ini atau hanya karena nalar saja, anak saya memberi nasehat, “Ayah....kalau jatuh…pantat dulu”. Sebagai orang yang awam, saya ikuti saja nasehat anak saya ini. Saya sudah ngeri duluan kalau jatuhnya kena bagian muka. Dengan tekad maju-tak-gentar pantang-mundur, saya masuk lagi ke ice rink dan sudah belasan kali saya terjatuh dengan posisi pantat terlebih dahulu. Aman..... :-)

Kalau anda percaya akan suratan takdir, maka itulah yang terjadi pada saya. Detik-detik itupun sudah menunggu. Ternyata banyak sekali yang harus saya hafalkan selain kiri-kanan kiri-kanan lurus. Diantaranya adalah posisi badan yang agak membungkuk, cara menggerakan kaki side sliding, cara jatuh dan masih seabreg teori yang lain. Dapat anda bayangkan, ketika pertama masuk ke ice rink, kepala saya penuh dengan segala tetek bengek hafalan itu.

Tak terhitung sudah berapa putaran saya mengitari ice rink itu. Tiba-tiba saya terpelanting karena posisi kaki yang miring dan terjatuh dengan menempatkan lengan tangan sebelah kanan berada di bawah. Boom..... Ala mak...suakitnya...... :-(. Ingin saya memaki itu pantat ”Kemana saja kamu? Pas jatuh kok lengan yang ditaruh di bawah?” Ya.... saya pikir bukan salah dia juga. Kalau pantat itu bisa jawab, pasti dia akan membela diri sambil bilang, ”Memangnya saya diciptakan hanya untuk emergency jatuh? Sudah untung sampeyan yang kena hanya lengan...khan syaratnya nggak mau kena bagian muka” :-) Akhirnya saya minggir sambil nyengir kesakitan diikuti dua anak saya yang cengengesan.

Sampai tulisan ini saya upload, lengan kanan masih terasa ngilu. Ternyata, teori apa saja yang kita pelajari, kalau sudah berada di real lapangan, maka yang sangat menentukan adalah hukum alam dan naluri si manusia itu. Kalau untuk jatuh dengan milih pantat saja masih susah, maka saya sarankan jangan coba-coba masuk ke ice rink.

Tidak ada itu teori ”kiri-kanan kiri-kanan lurus” untuk bermain ice skating. Teori saya setahun yang lalu ternyata lebih ampuh dan masih valid sampai sekarang. Ketika itu saya katakan kepada anak-anak saya, ”Kalau masih mau main ice skating, jatuh is OK. Kalau nangis, balikin sepatunya, kita pulang saja and no more Ice Skating.” So far, the theory works very well. Nobody’s crying and go home with happy and funny story (even though one goes home with gritting his teeth due to a swollen shoulder). (Prahoro Nurtjahyo, Senin, 25 Desember 2006)

Somerville: a Giant Steak ..... (New Picture)

If this Medium Sirloin Steak (above) comes with two pieces, can you imagine what the size for Super Large Sirloin Steak is?

What do you know about Texas? There are two things that come up in our mind when people mention about Texas. First is about the jargon “Bigger is Better”. Second is about the cowboy. (Not to mention about Southern accent, Oil resources, Hurricane, etc). Cowboy will bring the thoughts into live stock, desert and a special meat, steak.

Last week of December 2006, we went to Somerville, about 20 miles west of College Station, Texas. This time, we departed from many places, i.e. College Station, Houston, Woodlands, Katy, and Buenos Aires, Argentina. Friends and relatives congregated with the total of 12 families (25 adults and 15 kids) took pleasure in such a moment.

What is so special about Somerville? This small town is nothing but a quite town. If you’ve ever watched the new movie of Pixar “Cars” in route 66, so you may have an imagination about the town. Well not exactly like that, it just gave you an idea how the town looks like. Somerville may be a bit crowded compared with the movie.

There is a special place in this town called Country Inn Restaurant that served beef steak with a giant size. They have an option starting from 8 oz to 20 oz beef with many type of steak, T-Bone or Sirloin, or you named it. It is fresh meat. If you are not a devotee of steak, they also served other menu. I am not promoting beef steak and, believe me, I am not part of the marketing member of the Country Inn Restaurant in Somerville. You say what you see. You scream what you feel.

I wish I could have a complete picture of these events. Our Guru, bang Zul, has it. You may also ask his opinion about the place. Or, if you reside outside Texas, you may ask mbak Nunuk and mas Rinto who deliberately joined our field trips from Buenos Aires, Argentina. Gracias! (Prahoro Nurtjahyo, Monday, 25 December 2006)


Our special guest from Argentina (mas Rinto and mbak Nunuk) who feels full already after seeing the size of the steak.


This new couple (Buyung and Anis) has shared everything, including one plate of a medium sized T-Bone steak.

The Putras Family's waiting their order.

Happy family.


Eat whatever you have ordered. That's good attitude :-)

Our Gurus enjoy their first order.

This was their first time visited this place. How can he claim as an Aggies?

Having a right partner is very important to finish your order.

Having a right partner is very important to finish your order (cont'd)

Next time, Super Large Sirloin.......
As long as this lady is still around, do not think too much whether you can finish your order or not :-)


Come on Kids ! .......You need a good protein source.

Tuesday, December 19, 2006

It was also Our Home


One of our colleagues invited us for their farewell "party". Well... it's not a farewell farewell, but it is merely about moving from an old place to a new place. I can still see and meet them every week at the new place, but that is not the point I like to raise in this short story.

For some people, house is just a house, the place to keep warm or cold depending on the weather. I could understand how difficult the moving processes are for some people (including me, probably). I should learn a lot from them about their decisions to “leave” the house. That is not an easy decision. Believe me, it is not. But, that is about life, my friend. Just like a traveling wave, sometimes up and down, back and forth. You can not just stop in the middle, you have to go further and keep writing a new history of life.

The years I knew them are nothing compared with the memory that the house could tell.

For you my “Buddies”, Erwin and Dewi, that place is not only yours (well technically it’s yours, you are the one who paid the mortgage and all bills :-) , but in spirit, it is also ours. Don’t care with other people said. For us, that is not just a house. That is our home. The house has something special for us, in fact to all of us. Hurricane Rita said Amen to that. Our sisters and brothers, who have been at Texas A&M, would love to support the statement. Faris (Willy)’s childhood was there. What else? O..ya… The place we could stay and welcomed us anytime we visited this small town. There is no way to just wipe so many memories off that were built along with the house. Could you? Would you? I wish I could write a long story about the house but it were too many, my friend. Too many....

You may say this story express my personal sentiments. As a friend, whatever the decision you have chosen, I believe it comes after so many deliberations and iterations. Nothing I can do but pray and support. May Allah bless your decision and make your new house as a new home to continue your next journey. (Prahoro Nurtjahyo, Tuesday, 19 December 2006)

Monday, December 18, 2006

Ketika Saya Menjadi Dalang

Karena masa tugas yang sudah selesai, seorang teman akan kembali ke tanah air dan mewariskan 7 wayang kulit kepada saya. Ueedan tenan! Saya yang setiap kali mau nitip teman dari tanah air untuk membawa satu wayang saja masih malu-malu untuk bilang, eee...lha..ndilalah... tiba-tiba sekarang malah dapat gratis. Tujuh wayang lagi! Apalagi semuanya adalah para jawara dari golongan putih. Dengan berlagak seperti seorang Ustad kondang, saya katakan kepada Istri saya ”Rejeki itu datangnya memang tidak dapat diduga darimana asalnya!” Istri saya hanya manggut-manggut sambil berguman, ” Iya..iya...”.


Dengan sedikit perbaikan pada bagian ujung Wayang yang sudah mulai mleyot kulitnya dan mengencangkan kembali beberapa tali yang kendor, saya mulai bercerita kepada anak-anak saya tentang aturan dari wayang kulit, bagaimana harus merawatnya, apa saja komponen dari pertunjukan wayang kulit (Dalang, Niyogo, Petabuh Gamelan dan Wayang kulit itu sendiri) dan lain-lain. Karena hanya ada tujuh wayang kulit, maka saya ambil satu per satu dan saya perkenalkan ke anak-anak saya. Mulai dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Kresna dan yang terakhir Gatot Kaca. Tidak puas hanya dengan perkenalan saja, anak-anak meminta kepada saya untuk memainkannya. Walah...walah.... Mau berkelit dengan segala alasan, akhirnya sayapun menyerah dan harus memainkannya juga. Demi sebuah komitmen :-)
Pakai celana pendek dan kaos oblong, saya pegang si Wayang Kulit itu. ”E..Ayah... kok pakai celana pendek?” Kata anak saya laki-laki yang paling besar protes. ”Oiya... lupa....” saya termakan oleh omongan saya sendiri tentang aturan dari wayang kulit ini. Karena tidak ada kain panjang, beskap, keris dan blangkon, akhirnya malam itupun saya dapuk (baca: berperan) menjadi Dalang dengan memakai sarung (pengganti kain panjang), jas (pengganti beskap), sendok sayur (pengganti Keris) dan kopyah sholat (sebagai penganti blangkon). Aduhhh... ini kalau ada tamu datang, pasti mengira keluarga kami ini keluarga edan karena dandanan kepala keluarganya yang acak-acakan. Beruntunglah sampeyan tidak bertamu ke rumah saya pada malam itu..... :-).

Dengan duduk mantap sambil bersila menghadap tembok ditambah sinar lampu yang remang-remang, maka mulailah pertunjukan Wayang Kulit di rumah saya (dan sudah barang tentu, sayalah Dalangnya). Sambil berusaha untuk bersuara merdu sebisanya, pertunjukan malam itu dimulai dengan kalimat ”Langit kelap kelip.........(saya pukuli karton dengan kaki saya sebelah kiri 4 kali, karena posisi duduk saya yang bersila, sehingga keluar bunyi...dok--dok--dok--dok) Angin sigro milir...wooooo.....” Anak-anak saya cekikikan mendengar suara saya. Sambil menoleh kebelakang saya bilang,” Wus... nggak boleh ngomong kalau Dalangnya lagi khusyuk.. ok?” Anak saya diam meski dengan terpaksa..karena wajahnya masih menahan tawa. Sekarang giliran Istri saya yang cengengesan dan lari ke dapur sebelum tertawa ngakak. Wah susah memang kalau satu keluarga isinya pelawak semua.

 
Karena semua tokoh Wayang Kulit yang saya punya adalah laki-laki dan semuanya dari golongan putih, maka saya kebingungan memilih lakonnya. Apalagi untuk mengimbangi cerita-cerita Cartoon Jepang yang sekarang lagi nge-top, seperti Pokemon, Dragon Ball-Z, dan lain-lain. Karena tidak ketemu, akhirnya saya ngawur memilih cerita yang sudah tentu tidak ada dalam pakem cerita perdalangan. Beberapa lakon kami mainkan, diantaranya adalah perang saudara kembar antara Nakula dan Sadewa, Bima berantem melawan Arjuna. Untuk mengikuti selera penonton, akhirnya saya menjadi dalang paling sadis dalam sejarah perdalangan.  


Bagaimana tidak? Untuk semua episode pertunjukan, dari awal sampai akhir saya memainkan adegan perang terus. Kalau tangan kiri saya memegang wayang kulitnya Arjuna, maka tangan kanan saya langsung pegang Bima. Karena keduanya sama-sama saktinya dan kekuatannya yang berimbang. Kalau Yudhistira berada pada tangan saya yang sebelah kiri, maka dengan cepat tangan kanan saya menyambar Kresna. Hanya Gatot Kaca saja yang jarang terambil wayangnya. Maklum, semua kharakter wayang yang ada adalah paman-pamannya. Jadi kalau ikut keluar, bahasanya nggak bahasa Gaul lagi Ember :-). Pernah sesekali saya keluarkan Gatot Kaca, langsung disemprot oleh paman-pamannya, ”Diam kamu anak kecil. Ayo kembali lagi ke kotak sana.” :-)

Diakhir pertunjukan Wayang yang hanya berdurasi 15 menit itu, anak saya laki-laki yang rambutnya ikal langsung berdiri dan tepuk tangan. ”Horee....”. Anak-anak saya berkomentar, ”Wah seru ceritanya... apalagi kalau si Bima sudah mengamuk”. Karena tidak ada Guidance cerita yang jelas, tiba-tiba saya berlaku kejam dengan memainkan lakon berperangnya Bima dan Arjuna (Yang memang dalam lakon wayang tidak pernah terjadi). Bima yang seharusnya melindungi adiknya, karena Dalang sontoloyo ini berubah menjadi tokoh yang adigang adigung mentang-mentang berbadan besar dan berotot. Inilah kesalahan saya sebagai seorang dalang. Ternyata, apapun bentuk cerita yang disodorkan, itulah yang akan termakan oleh para penonton. Karena saya tawarkan cerita perang, maka perang seolah merupakan bentuk solusi yang paling laris untuk setiap kali perselisihan. Too Bad..

Saya menyesal juga dengan kejadian malam itu. Nasi sudah menjadi bubur. Adalah bentuk ignorance yang amat sangat dengan mengangkat cerita semu demi mengikuti selera penonton. Kaki saya yang mulai kesemutan karena duduk bersila segera memutar badan, sambil berkata,”Sekarang sudah malam, Dalangnya mau pipis, lain kali diteruskan lagi”. Sambil ngedumel anak-anak berkata,”Ok..”. Dalam hati saya berpikir keras bagaimana caranya untuk mengembalikan persepsi mereka tentang sosok Bima atau Arjuna. Wah..homework lagi jadinya... :-(


Saya tahu persis bahwa aturan Wayang Kulit sangat njlimet dan banyak cerita klenik dibelakangnya. Lha wong bonek...sudah tahu diluar pakem-pun disikat saja. Untuk mengeliminasi kesalahan berikutnya, sayapun berharap mempunyai koleksi yang lengkap dari wayang kulit ini. Paling tidak, ini akan membantu saya untuk bermain sesuai dengan pakemnya. Wah kalau sampai Ki Dalang NartoSabdo atau Pak Manteb mengetahui saya memainkan lakon yang diluar pakem perwayangan, sudah pasti saya kena kutukan tujuh turunan. Sorry ...Pak Manteb.... demi memenuhi permintaan anak-anak :-)


(Terima kasih buat mas Meizarwin, mbak Fifi, Nabila dan Reyhan atas wayang kulitnya. Sukses selalu. Selamat jalan dan bertemu lagi dilain kesempatan............. Prahoro Nurtjahyo, Senin, 18 Desember 2006)

Thursday, December 14, 2006

Mantra Poligami

Berita tentang Poligami semakin merebak ke seluruh sendi-sendi masyarakat. Tidak lagi menjadi dominasi para Ibu saja, tetapi para Bapakpun masuk dalam diskusi yang semakin membingungkan karena ditabrak dari kiri dan kanan.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berikut saya dapatkan Mantra Poligami dari mbah dukun kampung (milist) sebelah buat teman-teman yang ingin mencoba-coba. Kata mbah dukun, setiap orang (baik suami maupun istri) dapat mengamalkan Mantra ini. Akan lebih afdol kalau dibaca sehari 33 kali sambil minum air kembang. Kalau mencari air kembang susah, bisa juga pakai air teh…hanya saja khasiatnya kurang ampuh dan sedikit agak lama hasilnya. Tapi nggak apa..apa...... Silahkan mencoba mantra ini. Dijamin halal (kata si dukun) :-)






(Prahoro Nurtjahyo, Kamis, 14 December 2006)

Mantra Poligami
(buat suami)

Istriku,
Jika engkau bumi, akulah matahari
Aku menyinari kamu
Kamu mengharapkan aku
Ingatlah bahtera yg kita kayuh, begitu penuh riak gelombang
Aku tetap menyinari bumi, hingga kadang bumi pun silau
Lantas aku ingat satu hal
Bahwa Tuhan mencipta bukan hanya bumi,
ada planet lain yg juga mengharap aku sinari
Jadi..Relakanlah aku menyinari planet lain,
menebar sinarku
Menyampaikan faedah adanya aku,
karna sudah kodrati
dan Tuhan pun tak marah...


Mantra Poligami
(buat istri)

Suamiku,
Bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya
Aku rela kau berikan sinarmu
kepada segala planet yg pernah Tuhan ciptakan
karna mereka juga seperti aku butuh penyinaran
dan akupun juga tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu
AKAN TETAPIIIIIIII. .......
Bila kau hanya sejengkal lilin yg berkekuatan 5 watt,
jangan bermimpi menyinari planet lain!!!
Karena kamar kita yang kecil pun belum sanggup kau terangi
Bercerminlah pada kaca di sudut kamar kita,
di tengah remang-remang
Pencahayaanmu yang telah aku mengerti untuk tetap menguak mata
Coba liat siapa dirimu... MENTARI atau lilin?



(Seperti yang pernah ditulis oleh Ramad Canglae Daulay di milist its, tanggal 14 Desember 2006)

Friday, December 08, 2006

In My Dream

Have you had a chance to read Iranian president’s open letter to American citizens? If you have not, take a couple minutes to read it. It’s only 5 pages. As many Americans react to his letter (which is good, it means they read it), this is how to start a communication with US at the same dimension. You can guess that does end up with Pro and Con about the letter, besides both countries have been tied with not-good relationship back in 1979.

One of the comments cynically mentioned “How dare he, evil, give a lecture to our country”. Other said, “That would be a good approach to talk about the different views”, and so on, and so fourth. I am not on neither side of the controversy. The things can happen from many angles of view. People (leader, especially) around the world should take this as a lesson learned process. While many things can be explored and studied, the true truth is a universal value. Deep down in everybody’s heart will agree that every single human being in this planet deserves equal justice.

To reveal the truth, only a true leader can do it. A fake leader does not even know how to start with. This is the value of leadership. You may disagree with it but there is no such university in the world that guarantees their program can produce a true leader. Not even Harvard, Yale or MIT. To me, a true leader is born with a skill. The skill is very unique that can not be taught in formal educational institution. One thing that I would like to highlight here, True Leader is not a monopoly or belongs to a certain region. It does not matter whether s/he is born in Asia, Africa or America, or s/he studies in Harvard University or Bangladesh University. As long as s/he has values in her/his way of life and strives to meet the values, then s/he is the chosen one with kind of great quality person. It sounds simple, but nowadays, a true leader is an extinct “animal”. You may not find one in a billion people or even in the next two generations. Why? Is Gifted and Talented person really vanished? (Sigh)…Don’t know.

Having higher education does not make an automatic impact becoming a leader. These two variables are independent each other. But, having knowledge will protect us from being bullied or driven by someone else. In that sense, leader with full of knowledge will be more valuable than those who have without it. That draws a bold line of distinction between a true leader and an ordinary leader.

I do not personally know who Iranian President is. And, I can guarantee you that I do not have any relationship with him whatsoever in any ways. The thing is “If the truth comes out from two different people (an ugly man and a handsome man), will it change the essence?” Again, when we claim that we live in a civilized society why we don’t act like one.

I am who I am. ”Once in my life, I’d like to do something that gives benefit to our society. Once? Yes, just once, then I can rest in peace and bring a smile face on my death bed.” May Allah bless what I have been asking for and giving strength to fulfill this long-term commitment. Amen. (Prahoro Nurtjahyo, Friday, 8 December 2006)

Tuesday, December 05, 2006

Jangan Suka Mengolok

Dua belas tahun yang lalu, Ibu mertua saya pernah bertanya yang sebenarnya mengarah pada sebuah wanti-wanti (baca: warning) ke saya, “Nak…Kalau ada seorang laki-laki kawin lagi..apa sih yang dicari? Apakah mencari yang modelnya melintang?” :-) Waduh…Mimpi apa saya ini semalam, kok mendapat serangan pamali seperti ini? Inikah salah satu bentuk kasih sayang seorang ibu untuk mem-proteksi anak perempuannya? Every mother will do the same thing.

Saya sebenarnya mau menjawab, “Lho Bu itu khan Sunnah Rosul”, tapi tidak jadi saya teruskan karena saya sudah tahu apa jawaban balik dari Ibu mertua saya nantinya, “Sunnah Rosul kok yang diambil bagian poligami-nya saja?” Dalam hitungan detik, ada “wangsit” yang membisiki otak saya dan langsung saya transfer ke mulut, “Lha iya ya Bu… kalau ngomong masalah model, sebenarnya itu ada berapa model?” Kalau anda sedang bermain catur, ini adalah Skak Mat. Yang saya peroleh bukan jawaban balik, tetapi mata Ibu mertua saya yang melotot :-) Oo.. Dasar menantu bonek!

Sewaktu saya masih kanak-kanak, Ibu saya kerap sekali mengingatkan kami anak-anaknya untuk jangan suka alok (bahasa jawa) yaitu suka mengolok ketika melihat hal-hal yang tidak pantas yang dilakukan oleh seseorang. ”Cepat Istighfar dan bilang Naudzubillahimindzalik”. Berangkat dari sebuah logika yang sederhana. Bisa jadi karena kita bukan pada posisi yang bersangkutan sehingga dapat dengan lancar dan lincah lidah kita untuk mengatakan, ”Kok bisa dia melakukan hal itu.....” Belum tentu kalau kesempatan itu ada pada kita, bisa jadi kita lebih heboh melakukannya. Naudzubillah.

Berita hot terakhir di tanah air tentang anggota DPR dengan penyanyi dangdut, kemudian Dai terkenal dengan janda kembang, dan masih banyak cerita hot yang lain lagi...telah pindah tempatnya menjadi ajang diskusi di rumah tangga saya. Pada saat makan malam, istri saya mempertanyakan lagi posisi hati saya (setelah 12 tahun dan beranak pinak 3?). Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu saya perlu menata strategi dan extra hati-hati. Pertama, apapun jawabannya, saya tidak ingin melukai hati pasangan hidup saya ini. Kedua, sayapun tahu bahwa dia tidak ingin memperoleh jawaban yang asal membuat hatinya tenteram saja (kalau cuman sebatas itu sih..laki-laki mah jagonya nge-gombal :-), tentu saja yang dia perlukan adalah ketulusan dalam menjawab.

Sambil menata posisi duduk saya katakan,

Saya tidak suka berandai-andai karena masih banyak urusan lain yang lebih memerlukan konsentrasi pikiran daripada sekedar berandai-andai bergoyang joget dengan penyanyi dangdut

Saya teruskan lagi,

Saya laki-laki normal dan tahu persis berapa besar batas (limit) kekuatan Iman saya untuk hal-hal yang seperti ini. Dan tentunya, janganlah kamu tanyakan dimana batas kekuatan Iman saya karena sayapun masih mencari dimana batasnya. Yang sekarang dapat saya lakukan adalah mengatakan sejujurnya apa yang ada dalam benak saya dan berdoa kepadaNya agar dijauhkan dari segala macam kesempatan (kalaupun harus ada).

“Lha.. kalau setannya lebih kuat bagaimana?” Ahh…alasan saja, suami bonek !

Malam itu, ketika kami akan tidur, saya tanyakan kembali ke istri saya, “Ada berapa model sih sebenarnya?” Jawabannya sebuah cubitan dipinggang. Sakit Euy.. :-) (Prahoro Nurtjahyo, Selasa, 5 December 2006)

Friday, December 01, 2006

Bonek

Pada awal tahun 1990an, salah seorang teman saya, seorang wartawan yang sedang menanjak karirnya, dikejar-kejar oleh persatuan Germo suatu kompleks pelacuran kelas wahid di salah satu kota terbesar di Indonesia. Si teman ini dikejar-kejar bukan karena dia “tidak bayar” (karena memang dia tidak “pakai”) tetapi disebabkan karena tulisan dia pada koran harian di mana dia bekerja mengakibatkan merosotnya “pelanggan aktif” yang rutin mendatangi komplek pelacuran itu. 

Karena hampir disetiap mencari bahan berita, kami selalu terlihat runtang-runtung berdua, maka sebagai akibatnya, sayapun ikut terkena dampak dari tulisan yang dimuat di harian kota itu dan ikut lari tungang langgang karena kejaran para Germo ini. Apes… ora melu mangan nangkane, mung keno pulute…(Tidak ikut makan buah nangkanya, tapi kena getahnya) ….
 
Saya lari bukan karena takut, tetapi karena nalar saya yang berbicara lain. Mereka-mereka pengejar ini bukanlah sekelompok orang yang dapat diajak duduk satu meja dan berdikusi menggunakan akal dan logika yang benar. Para Germo ini selalu mengedepankan argumentasi bahwa berita yang miring tentang kompleks pelacuran sangat berpotensi untuk mematikan aktifitas asap dapur yang ngebul untuk sekian ratus kepala keluarga, belum lagi buah hati dari para “bidadari malam” yang ditinggal di desa, perekonomian para tukang becak, bemo dan ojek di sekitar kompleks, dll. Diawal usia saya yang masih 20an dan lingkungan masyarakat yang Bonek (bondo nekat), itulah awal-awal tahun yang turut mengukir perjalanan hidup saya.