Tuesday, November 10, 2009

Our First Camp (Part 1/3)

The First National Jamboree was held in Cibubur, Jakarta in 1973 and I was joyful to be part of the pioneer event. My both parents dedicated their time as volunteer and involved as medical officer for the affair. I was three years old at that time. Not much that could be born in mind except it was raining that soaked the camp site for weeks. Since then, outdoor activities became routine schedule especially when school was off.

Fourteen years later, in the month of July 1987, we conquered the highest point of Mount Lawu with the altitude of 3265 m above mean water level. The mount is located at the border of province of Central Java and East Java. As I clearly had down pat, we rose from Cemoro Sewu at 9:30pm and made five stops before we reached, as a final point, the summit at 4:00am. It took us almost six hours walking included some rests.

That was the first time in my life (at young age) was able witnessing sun comes out from its imaginative horizon. I stood up at the highest peak and could see plain sun got higher and higher without any obstacle that blocks my view. What an amazing landscape!

Friday, November 06, 2009

Merah-Putih di Houston (Part 2)

Organisasi kemasyarakatan Indonesia di Houston tak terhitung jumlahnya. Baik organisasi yang hanya “bawah tangan” bersifat kongkow-kongkow ataupun organisasi yang bergerak dengan memerlukan aspek legalitas untuk operasionalnya. Keberadaan wadah berkumpulnya masyarakat Indonesia ini merupakan response terhadap tuntutan logis dimana setiap manusia memerlukan tempat untuk mengekspresikan ide yang seirama, butuh untuk mengulang atau rindu akan kampung halaman, rindu akan guyonan masa kecil, kangen akan rasa masakan khas kampung, dan masih banyak lagi.


To name a few, beberapa organisasi kemasyarakatan yang saat ini berada dalam territorial Houston adalah IATMI-Houston, IFA, ISRANA, ICMI-Houston, KKIH, FBIC, Keluarga Buddhist Indonesia, Ranah Minang, Riung Pasundan dan masih banyak lagi. Bhinneka Tunggal Ika. Itulah kita. Dari berbagai macam background berkumpul bersama di Houston.


Berangkat dari kejadian gempa yang menghantam Sumatra Barat pada akhir bulan September 2009, telah meng-gerak-kan saudara kita dari Ranah Minang untuk berinisiatif membantu korban bencana dengan melakukan penggalangan dana. Tentunya proposal ini bukan proposal kegiatan yang baru bagi masyarakat Houston karena telah berulang kali dilakukan di Houston.


Merah-Putih di Houston (Part 1)

Kalaulah faktor geografis sangat menentukan brightness dari patriotisme seseorang, maka sudah dapat dipastikan saudara-saudara kita yang tinggal di lereng gunung Semeru, atau di tengah lebatnya hutan tropis Kalimantan, atau bahkan di puncak Gunung Jaya Wijaya Irian Jaya Barat akan mempunyai warna “merah-putih” yang jauh lebih cerah dibandingkan dengan orang-orang Indonesia yang sekarang ini tinggal di Houston. Iya khan?

Kalau level nasionalisme seseorang hanya diukur berdasarkan faktor jarak melintang dari tanah kelahiran, maka sudah pasti mereka yang tinggal di Houston warna merahnya barangkali akan luntur menjadi merah muda dan warna putihnya pun akan memudar seperti putih kecoklatan layaknya kain yang tidak pernah dicuci. Iya to?

Apapun response anda terhadap statement di atas, itulah konsekuensi logis yang akan dihadapi bagi siapa saja yang secara geografis tidak berada dalam perimeter ruang 2-D dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Talaut. Tidak peduli apakah kegiatan anda berkaitan dengan diri sendiri atau diniatkan untuk saudara sebangsa di bumi Nusantara, yang jelas dari kacamata “tanah air”, anda adalah second class warga negara. Ada sesuatu yang selalu dipertanyakan tentang “rasa kepemilikan anda terhadap bangsa ini” karena keberadaan anda yang tidak di dalam perimeter kotak tadi. Apalagi kalau anda ternyata sudah cukup lama meninggalkan dimensi ruang itu. Kecurigaan akan muncul secara alami sebagai naluri manusia untuk mempertahankan sebuah territorial. Sebuah kewajaran yang sah-sah saja tentunya.

Tuesday, November 03, 2009

Pohon Cemara Sialan

Sudah seminggu ini saya dan istri uring-uringan. Bukan hanya sekedar uring-uringan, yang lebih seru lagi, Istri saya melakukan aksi mogok masak. Oalah...memang yang namanya kehidupan rumah tangga, akan ada fluktuasinya, itu part dari romatisme keluarga. Saya bisa menerima kondisi fluktuasi itu. Tetapi kalau ada bagian mogok masak.... nah... inilah source masalah yang saya tidak sempat memperhitungkan side-effectnya. Sementara saya paling tidak tega untuk membiarkan dewa perut saya ini keroncongan. Jadi bagi saya, kehidupan seminggu ini adalah skak mat yang diberikan Istri kepada posisi saya dalam mengambil sikap.

Inti permasalahan dari pertengkaran kami ini sebenarnya berangkat dari hal yang sangat sepele, yaitu keberadaan pohon cemara di dekat pintu garasi sebelah utara rumah. Dua tahun yang lalu, kami membeli sepasang pohon cemara yang kurang lebih mempunyai ukuran yang sama, baik dari segi besar maupun tingginya. Sewaktu kami beli, pohon itu kurang lebih setinggi 75 cm dari tanah. Pohon cemara yang masih kecil dan kelihatan mungil itu memang enak dipandang mata. Memang dari awal rencananya akan ditanam berpasangan, kiri dan kanan. Tetapi, karena faktor lain (saya sendiri lupa pasalnya apa), akhirnya kami bersepakat untuk menanamnya satu di depan dan satunya lagi di belakang.