Sunday, November 23, 2014

Kenangan Terindah

Saya paksakan tulisan ini keluar di Blog Celometan seminggu lebih awal hanya untuk menjemput sampeyan. Kata "paksa" memang sering mempunyai konotasi yang negatif. Tidak ada perkecualian, hal yang sama juga berlaku untuk saya. Mengapa? Karena dipaksakan, maka consequences sudah pasti menunggu. Iya to?  Yang jelas, saya sudah katakan ke juragan bahwa untuk bulan ini saya mau libur dulu kolom-nya. Memang belum ada jawaban, tetapi saya sudah yakin ibunda boss akan mrengut (baca: berkerut keningsambil malang kerik (baca: bertolak pinggangdan jelas akan memotong "angka nol" saya sehingga bergelindinganYo wis Ibu... aku rapopo :-)

Minggu depan saya akan punya gawe yang penting. Bagi beberapa orang, mungkin gawe ini hanya acara having fun, tetapi tidak bagi saya. Menurut saya, ini lebih dari sekedar acara plesiran. Ini adalah salah satu dari sekian momentum yang sudah saya persiapkan setahun sebelumnya. 



Tinggal di kampung yang banyak godaan seperti kampung saya ini, kalau tidak pintar-pintar me-manage waktu pada saat Black Friday maka setiap anggota keluarga akan tenggelam dengan self activity masing-masing. Si kecil akan semakin getol dengan game tool-nya (Wii, Playstation atau XBOX) karena merasa long weekend, para teenager akan lebih fokus dengan cell phone and selfie-nya, para bapak sibuk dengan acara TV Sport dan tidur panjangnya, dan para ibu akan spend time dengan "berburu" barang dan belanja di Mall. Sudah rahasia umum. It's Black Friday anyway :-)

Friday, November 14, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 4)

Seperti halnya pada tulisan Bagian 1, maka Bagian 4 ini-pun saya tulis di hari Jumat juga. Tepatnya hari Jumat Pahing bulan Suro. Tidak ada maksud untuk mengkaitkannya dengan klenik, tapi hanya kebetulan saja bertepatan dengan hari baik Jumat dan bulan baik Suro alias Muharram.

Masih dengan tema yang sama Sehat itu Mahal, kita sering salah persepsi ketika mendengar kata DIET. Bagi saya, pengertian diet itu tidak sama artinya dengan tidak makan atau mengurangi makan. Yang seperti itu tidak tepat dan sudah terlanjur masuk sebagai pemahaman sebagian besar masyarakat kita. 


DIET menurut madzab yang saya anut adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan tubuh sesuai dengan porsinya. Misalnya, kalau di dalam tubuh ini sudah terlalu banyak kadar lemaknya, maka, in response, yang dimakan adalah yang less lemak. Iya to? Kalau terlalu banyak kandungan kadar gula darah-nya, maka yang harus dihindari adalah makanan yang men-support glukosa, salah satunya nasi. Dan seterusnya-dan seterusnya. Make sense?

Sampeyan mungkin dalam hati menyela juga, "ngapain sih kok repot amat. Ribet dengan urusan makanan. Harus ini, harus itu. Tidak boleh yang ini atau yang itu." 


Wednesday, November 12, 2014

Salah Siapa?

Beberapa minggu terakhir media TV di kampung ini memberikan sorotan tentang perilaku kekerasan orang tua terhadap anak. Seorang ayah, pemain football ternama dari kampung tetangga, harus mondar-mandir ke Court (kantor pengadilan) karena dilaporkan oleh anaknya dengan dakwaan physically abused, dipukul oleh si ayah. Saya yang semula melihat inti permasalahan ini clear as crystal akhirnya menjadi blur (samar-samar) karena kepentingan lawyer yang sudah masuk dan memakai pasal-pasal tertentu untuk keluar dari permasalahan yang sebenarnya. Emboh ora eruh!

Terus terang di negara yang mengaku nenek moyangnya demokrasi (seperti kampung awak ini), saya terkadang justeru bingung sendiri ketika kuasa Orang Tua dilucuti oleh seorang Anak. Tidak ada lagi namanya command center di dalam rumah. Bagaimana tidak? Wong dengan congkak-nya seorang anak dapat mengancam orang tuanya begini, "If you touch me, I will call 911".  Dan ini bukan gertakan sambal belaka. Seriously, si anak sudah memegang telpon dan siap menekan tombol angka 9-1-1.  Ampun dah!

Kalau sudah begitu, siapa sebenarnya yang memegang authority tertinggi di rumah ini? Edan opo nggak? Inikah produk western? Dan aneh-nya, system seperti ini sudah mendarah daging di seluruh lapisan society baik dari yang formal seperti sekolah dan perkantoran sampai dengan yang di cafe-cafe atau di neighborhood. Inilah cara-cara sistematis yang sudah diajarkan oleh sekolah kepada anak-anak kita. Jadi, pada dasarnya, secara tidak sengaja kita ini sudah memberikan andil untuk menumbuh-suburkan system ini juga. Yo wis!

Apa yang salah dengan system ini?

Selalu ada saja jawaban normatif, "Systemnya sih sudah baik, hanya saja pelaksanaannya yang masih perlu diperbaiki". Lha mbelgedes kalau itu jawabannya. It is so cheap!

Sunday, November 02, 2014

The devil is in the detail (Bagian 7)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 7) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



The devil is in the detail (Bagian 6)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 6) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



The devil is in the detail (Bagian 5)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 5) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



The devil is in the detail (Bagian 4)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 4) dari cerita sebelumnya 
di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.

The devil is in the detail (Bagian 3)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 3) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



The devil is in the detail (Bagian 2)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 2) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



The devil is in the detail (Bagian 1)

Photo Quilt berikut adalah lanjutan (bagian 1) dari cerita sebelumnya di http://prahoro.blogspot.com/2014/11/memenuhi-hak-istri.html.



QUILT: Memenuhi Hak Istri

Memang sedikit agak nyeleneh kalau saya tampilkan ini dalam blog celometan. Bukan apa-apa, tetapi karena saya tahu pasti, daripada nanti di-uber-uber istri minta dibelikan, lebih baik saya tancapkan di layar komputer saja sambil bilang, "Once Upon a Time, kita bangun kenang indah sambil jalan-jalan di taman Quilt. Daripada beli... coba sih kalau bikin sendiri"...he...he..he...  Photo-photo dibawah dijepret untuk memenuhi hak istri :-)


Acara festival Quilt tahunan yang diselenggarakan di Houston tahun ini memang agak beda. Kalau sampeyan pernah datang ke acara OTC (Offshore Technology Conference) yang digelar setiap awal bulan Mei itu, maka Quilt Festival ini tidak kalah besarnya. Ada kemiripan diantara keduanya. Sama-sama dibanjiri oleh tamu-tamu dari seluruh manca negara. Di lantai atas dipakai untuk kelas, kursus, conference/seminar sementara untuk lantai bawah ada exhibition, pameran dan, off course, jualan (ini bagian yang emak-emak demen banget...he...he...).


Yang membedakan acara ini dengan OTC adalah tipe pengunjung yang datang. Kalau OTC dibanjiri oleh professional offshore, Nah kalau Quilt Festival ini didominasi pengunjung dari dua macem tipe. Pertama, ibu-ibu. Ini jelas dan kalau sampeyan laki-laki, sudah pasti sampeyan akan ganteng sendiri. Namun demikian, di dalam hall ini, disediakan tempat khusus untuk para bapak yang setia ikut mengantar istri, namanya Husband's Lounge. Di tempat ini para bapak menghabiskan waktunya sambil nonton bola liga Inggris .he...he...he.... 

Monday, October 27, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 3)

Kami tinggal di kampung Katy yang kecil. Meskipun mungil, tetapi di kampung ini kami dapat menemukan hampir semua bahan makanan, jenis makanan atau kuliner dari macam-macam taste. Mulai dari restaurant yang ala Mexico, Italia, Chinese, sampai Thailand. Mulai dari yang rasanya manis, masam sampai asin. Mulai dari yang pedasnya biasa-biasa, setengah biasa sampai yang pedes-nya bener-bener membikin perut mules. Komplit!

Kali ini, saya ingin share tentang common misconception dari apa yang pernah saya lakukan dalam hal how to manage food. Saya pernah mengikuti seminar Weight Management di Methodist Hospital West Campus Katy di dekat rumah. Setelah ikut satu jam seminar, ternyata bikin juga keder. Bukan karena program-nya yang tough dan tight, tetapi saya keder karena takut akan komitmen apakah saya  bisa commit dengan program semacam ini. Pendekatan yang dipakai lumayan radical dengan 3 tahapan dan relatively costly. Setahun sampeyan bisa keluar biaya at least USD 5000. Memang untuk yang namanya sehat, Priceless adalah harganya. Sky is the limit

Mengapa program seperti ini sering tidak laku atau tidak dapat berjalan as planned? Masalah dasarnya adalah ketidak-pahaman akan konsep program-nya. Sehingga apapun weight management program yang akan diikuti, nanti akan kembali lagi end product-nya. Dalam istilah medis, para dokter menyebutnya dengan sebutan Yo-Yo Concept. Bouncing up and down.  It is easy to lose weight but also easy to gain it back. 

Hal lain yang sering kita lupa adalah "yang tahu seluk beluk tubuh sampeyan itu, ya tentunya adalah sampeyan sendiri". Iya to? Jadi, diet tertentu yang cocok untuk orang lain, belum tentu cocok untuk sampeyan. Intinya, sampeyan sendiri-lah yang jadi dokter, yang harus "do the homework" untuk tahu sistem tubuh yang sampeyan punyai. Bagaimana caranya? Nah... see below.

Friday, October 24, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 2)

Kriteria sehat akan menjadi hal yang subjectif karena masing-masing dari sampeyan akan mempunyai standard yang berbeda. Sesuatu hal yang lumrah dan sah-sah saja. Apa yang saya tulis pada Sehat itu Mahal bagian 2 ini adalah definisi sehat dengan basis personal experience. Sampeyan boleh untuk tidak setuju dengan hipotesa ini. Mumpung masih nggak bayar kalau berbeda pendapat :-)

Untuk meyakinkan bahwa sampeyan tidak salah menangkap pesan dari yang ingin saya sampaikan, saya ingin highlight premise yang saya jadikan untuk berpijak. Yaitu, "Secara medis, salah satu indikator untuk menentukan apakah kita ini berpotensi untuk tidak sehat adalah ketika keseimbangan antara berat badan dan tinggi badan tidak terpenuhi". 


Keseimbangan ini, umumnya, merujuk kepada BMI (Body Mass Index) sebagai indikator apakah kita masuk dalam kategori berat yang ideal, kurus (alias kurang gizi), atau kegemukan (alias melebar ke samping). Secara definisi, kita masuk dalam kategori berat ideal jika nilai BMI berada dalam range antara 21 sampai 25. Reference yang lain malahan memakai 22 sampai 27.

Ketika saya menginap di rumah sakit, nilai BMI saya hampir 30 (kategori Obese). That was the highest point I have ever had. Sekarang, meskipun sudah turun tetapi masih jauh dari kategory ideal even untuk upper envelope (BMI=25). Satu hal yang saya yakin, ketika kita berada diluar range BMI yang normal (baik itu lebih kecil dari 21 atau di atas 25), maka disitulah limit tubuh manusia yang harus berjuang melawan internal tubuhnya sendiri, sehingga rentan untuk dapat bertahan dari hidup sehat.


Thursday, October 23, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 1)

Saya tulis ini di malam jumat bukan karena superstitious untuk menakut-nakuti sampeyan. Tetapi memang inilah satu-satunya waktu yang luang. Semoga topik Sehat itu Mahal bagian 1 dalam blog ini masih sempat menjadi teman sampeyan sekeluarga sebelum menunaikan ibadah sunnah malam Jumat :-) Kalau masih penasaran, kita lanjutkan di lapangan Volley minggu pagi besok.

-------------------

Pengalaman saya menginap sehari di rumah sakit cukup untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa yang namanya sehat itu mahal dan tidak bisa dibeli dengan materi. Karenanya, upaya untuk menjaga sehat itu menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh setiap makhluk yang namanya manusia. Sehat bukan untuk membuat pose tubuh kita menjadi lebih indah dilihat, tetapi upaya untuk menjaga badan agar lebih "mudah" untuk menjalankan ibadah keseharian. As simple as that. Paling tidak kalau Ruku' atau Sujud masih dalam posisi yang mengikuti sunnah Rosul. Iya to? 


Kalau sampeyan belum pernah menginap di rumah sakit karena gangguan pada kesehatan sampeyan, maka saya sarankan untuk tidak pernah membayangkannya. Bahkan, jangan sampai terlintas dalam benak pikiran sampeyan. Jangan sekali-kali berdoa untuk diberikan sakit, karena kalau doa itu dikabulkan dan benar-benar datang, akan sangat luar biasa rasanya. Sakit yang sepele saja bisa membuat meriang seluruh badan dan cukup membuat bulu kuduk sampeyan berdiri mendadak. 

Nah sialnya, yang namanya manusia ini khan tidak pintar membaca pesan yang sudah "dituliskan" oleh sang Khaliq, Pencipta-nya. Maka, yang terjadi adalah, untuk mengerti arti sehat, manusia ini cenderung untuk ingin tahu batas akhir (limit) dari kekuatan tubuhnya. Dengan kata lain, sebelum ada vonis sakit dari sisi medis, kita manusia ini akan terus saja berperilaku nyeleneh yang nota bene cenderung menyimpang dari pakem-nya. Misalnya melekan semalam suntuk karaoke-an selama tiga malam berturut-turut. Meeting seharian selama seminggu. Atau, meng-konsumsi makanan yang jelas-jelas tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia atau justeru membahayakannya karena kandungan zat yang ada dan kuantiti-nya. Sehingga sudah dapat dipastikan, ketika sudah melewati ambang batas limit raga manusia, yang terjadi kemudian adalah mudah ditebak, yaitu tubuh ambruk atau sakit. 


Wednesday, October 01, 2014

Anak Wedhok

Saya tulis ini dari jarak ribuan miles sambil menunggu si burung besi terbang. Entah mengapa, tiba-tiba saya teringat akan Genduk saya ini. Transit 4 jam di Singapore telah membawa lamunan saya ke anak wedhok cantik ini.

Masih segar dalam ingatan bahwa saya harus menggunakan naluri saya sebagai seorang laki-laki untuk menahan laju perkembangan cara berpikir dia. Bukan karena dia seorang anak perempuan. Bukan, sama sekali bukan. Saya melakukannya lebih disebabkan karena kepentingan hirarki dalam keluarga. Sebuah dilema hidup yang pernah ada, dimana saya harus memilih dengan segala konsekuensinya.

Dari awal, saya sudah melihat kelebihan dia yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Bahkan, dia bukan tandingan yang sepadan kalau harus saya adu "head-to-head" dengan saudaranya laki-laki. Substantially, dari kerangka berpikir yang jernih dan logis, dia mampu menunjukan kelas yang jauh di atas mereka yang nota bene laki-laki. Dan itu sudah terbukti. Kalau saja Rem (Brake) itu tidak pernah saya pasang dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin bagi dia untuk take over dinasti keluarga ini. Which is sesuatu yang sah sah saja. Iya to?


Tuesday, August 26, 2014

Memilih Presiden (ala Cak Nun)

Hari Sabtu kemarin saya sempatkan untuk mendengar keluh kesah tentang PEMILU di negeri ini dari teman-teman di kampung. Bisa jadi, sampeyan sudah pernah membaca tulisan ini. Sengaja saya comotkan tulisan EMHA ini dan sisipkan dalam blog celometan ini, untuk meminta kata "Aamiin" ketika sampeyan selesai membacanya.  Peace dan salam tiga jari :-) Wallohualam (Prahoro Nurtjahyo, Selasa 26 Agustus 2014)
===========================
Essai:  Emha Ainun Nadjib (21 Maret 2014)
Kalau kita makan, kita punya kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak. 
Setiap pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.


Friday, June 27, 2014

Ramadhan vs Pesta Demokrasi

Dua kali saya diberi kesempatan untuk dapat memulai hari pertama Ramadhan di tanah air. Tepatnya di Jakarta. Yang nota bene justeru bukan tanah kelahiran saya. Tapi memang begitulah, semakin mantap keyakinan saya bahwa setiap gerak manusia sudah ada yang mengaturnya. Bahkan, seberapapun njlimet rencana yang disusun, plus segudang mitigasi plan yang dipersiapkan, Allah Yang Maha Berkehendak atas semua tetek bengek rencana manusia tadi. Subhanalloh.

Tahun ini, saya sudah noto mening-mening (baca: carefully plan) dengan istri dan anak-anak bahwa bulan puasa tahun ini, kami akan fokuskan di Masjid kampung dekat rumah. Sudah terbayang, sholat Tarawih yang panjang dan berakhir pukul 12 malam, suasana 10 malam hari terakhir iktikaf "camping" di Masjid, iftar keroyokan, dan lain-lain.

Walhasil, hari ini saya mendarat di Bandara Internasional Cengkareng Sukarno Hatta. Perubahan rencana yang benar-benar diluar dugaan saya.

Bisa jadi saya yang salah, tetapi beberapa event kejadian kecil kehadiran hari pertama di Jakarta, cukup meyakinkan saya bahwa kota ini tidak siap untuk menyongsong bulan suci ini. Tentu, perbandingan saya adalah dengan kampung kecil dimana saya tinggal sekarang, Katy. Lha iya to? Ada lomba Azan, Speech, Sodaqoh, learning Fiqh, Seerah Nabawiyah, dll.

Saturday, May 31, 2014

Oleh-Oleh Camping


Terkadang nikmat itu datangnya bertubi-tubi dan kebablasan. Adalah tugas kita untuk membendungnya. Kalau tidak, maka besar kemungkinan kita akan overwhelm dengan kenikmatan itu dan akhirnya lupa. Kita lupa kalau ternyata yang namanya “nikmat”-pun sebenarnya adalah bagian ujian dari-Nya. Iya to?

Tidak terasa, sudah seminggu ini saya lewati kenikmatan dua malam di hutan itu. Kalau dalam tulisan ini sampeyan tidak merasakan adanya “penyesalan”, karena memang itulah yang sedang saya rasakan. Apapun kesan sampeyan tentang acara dua malam itu, bukanlah sesuatu yang penting bagi saya. Kenapa? Karena kalau saya melihat sampeyan bisa tersenyum, that is enough. Itu sudah cukup membuat saya untuk ikut tersenyum juga.

Dan saya yakinkan kepada sampeyan, ketika saya menulis di celometan ini, saya tersenyum untuk sampeyan semua karena kenikmatan yang sedang saya rasakan.

Paling tidak, saya menemukan tiga kenikmatan selama dua malam itu. Kenikmatan yang pertama adalah sharing. Ketika kami sampai di lokasi campsite, as predicted, malam datang bersamaan dengan kedatangan kami. Meskipun jauh dari awal saya sudah coba untuk meng-antisipasi-nya, toh “keributan sharing” itu tetap terjadi. Malam itu, saya benar-benar merasakan nikmat “Kalah Tanpo Wirang” (Baca: Kalah tanpa harus malu).  Sudah lama saya tidak paham dengan falsafah Jawa yang satu ini, tetapi malam itu, saya benar-benar tahu apa makna dari filsafat itu.