Monday, November 07, 2005

Mencari Investor ke US

Saya akan mengawali tulisan ini dengan sebuah statement “Tidak ada suatu bangsa yang maju karena bantuan oleh bangsa lain” Sama artinya juga “Majunya suatu bangsa sangat tergantung oleh bangsa itu sendiri. Yang bisa memajukan bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri, bukan Jepang, Australia apalagi US”. Jadi kalau ada bantuan atau hibah dari negara lain, janganlah cepat-cepat kita bersuka cita, pesta kenduri atau syukuran. Tim pemerintah pulang disambut dengan suka cita karena berhasil hutang sekian trilyun dari negara donor. Lho.. ini ada logika yang terbalik. Mengapa? Karena pada saat yang sama artinya kita telah jatuh pada mata rantai yang namanya “tergantung”. Dalam bahasa pasar, kita mengenal rentenir. Ini sama saja. Memangnya negara yang mau membantu atau yang memberi hutang tidak menginginkan sesuatu untuk kembali? Kalau mereka memberi “hibah” 3 Milyar, benarkah itu free? Get real! Saya yakin 100% bahwa apa yang nanti akan dia peroleh jauh lebih besar dari 3 Milyar. Negara yang ekonominya bersandar pada azas capitalism, maka konsep dasarnya jelas, there’s no such a free lunch!
Mari sekarang perhatian kita alihkan ke kota Houston dalam kaitannya dengan industri migas. Sebagai kota pusat energi dunia, maka sudah sepantasnya jika Houston menjadi sentral bagi siapa saja, khususnya pebisnis, yang bekerja di bidang energi. Selain karena sebagian besar headquarter perusahaan minyak dunia berada di Houston, ini juga disebabkan karena kota ini sebagai tempat beberapa events penting yang bersinggungan dengan issue teknologi terkini. Houston adalah leading edge dari semua pergerakan yang bersentuhan dengan energi. Kita ambil contoh OTC (Offshore Technology Conference). Konferensi yang dimulai sejak akhir 60an hingga kini diselenggarakan pada minggu pertama bulan Mei setiap tahun. Events ini adalah events yang menyatukan semua element yang bersinggungan dengan energi di seluruh dunia. Jadi adalah hal yang lumrah, jika orang berebut informasi tentang energi pastilah dia datang atau mencari tahu ke kota ini. Maka sangatlah tidak relevan jika menginginkan informasi terkini tentang industri migas kemudian melakukan kunjungan kerjanya ke kota lain. Misalnya pergi ke Temanggung, Jawa Tengah atau ke Gunung Kawi, Jawa Timur. Lha ngapain mereka kesana? Mencari Jimat?

Rentetan peristiwa

Baru-baru ini Houston kedatangan tamu dari Indonesia yang berkeinginan untuk mencari investor untuk bidang energi berkenaan dengan beberapa proyek yang ada di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan energi. LNG adalah salah satunya proyek yang ditawarkan.

Kali ini saya tidak tertarik untuk ngrusui (baca: mengganggu) mereka yang datang. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menyibak kembali perjalanan peristiwa yang pernah ada di US yang mengkaitkan antara Indonesia dan US terutama yang bersinggungan dengan migas dan apa yang dihasilkan dari rentetan peristiwa itu.

Tahun 2001, di Houston, Texas pernah diadakan HED (Houston Energy Dialog), yang salah satu fungsinya ingin menarik investor di bidang migas. Hadir pada kesempatan itu adalah Megawati (Presiden waktu itu) dan SBY (Menko Polkam waktu itu). Apa hasilnya? HED ini ikut tenggelam seiring dengan waktu yang berjalan. That’s it.

Akhir bulan September 2003, masih di tempat yang sama di Houston, Texas, pernah diselenggarakan Simposium tentang Masa Depan Dunia Perminyakan Indonesia. Hasilnya telah dirumuskan dan dibukukan kemudian diserahkan kepada ketua IATMI Pusat waktu itu (sekarang Ketua BPMIGAS). Dan kita semua tahu, follow-upnya adalah nol. That’s it and had been done.

Tanggal 25 Mei 2005, SBY bertemu dengan Bush di Washington D.C. untuk menghidupkan kembali suasana yang sudah 8 tahun vacuum akibat “sanksi militer” US. Jadi ibaratnya, Indonesia selama ini adalah anak yang nakal, maka oleh US, Indonesia ini dihukum karena tidak manut. Bagian mana yang tidak manut? Salah satu yang diangkat ke permukaan oleh US adalah beberapa kejadian tentang pelanggaran HAM di Indonesia (Kasus penculikan, Timor Timur, Ambon, Palu, dan Aceh). Sehari setelah pertemuan antara kedua pemimpin negara itu, tanggal 26 Mei 2005, diteruskan dengan Energy Policy Dialogue antara US dengan Indonesia. Intinya mereka membahas tentang kemungkinan investasi bidang energi khususnya tenaga listrik, minyak dan gas bumi di Indonesia. Dari pihak pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri BUMN Sugiharto dan Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Iin Takhyan. Guna mem-follow up hasil Energy Policy Dialogue bulan Mei 2005, diadakan pertemuan lagi kelompok kerja di Jakarta tanggal 29 Agustus 2005. Sudah barang tentu, there’s no such a free lunch. Salah satu yang juga ikut “terselesaikan” adalah kasus Cepu.

Tamu-tamu yang datang ke Houston pada tanggal 3 Oktober 2005 kemarin, apapun kapasitas yang diwakilinya, kalau mereka datang mewakili pemerintah maka sudah waktunya untuk mengirim pesan ke boss yang mengirimnya dengan isi, “Pak boss SBY, sebaiknya kita benahi yang ada didalam dulu, baru kita road show keluar”. Sementara itu, kalau mereka datang mewakili kelompok bisnis tertentu maka sebaiknya anda meluruskan kembali niat anda dan memegang teguh prinsip win-win solution antara kedua negara. Tidak ada satupun bangsa yang maju karena bantuan negara lain. Kalau Indonesia ingin maju, maka yang bisa membawanya maju adalah rakyatnya sendiri, bukan hutang ke negara lain.

Mencari informasi ke Houston adalah langkah yang benar. Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana mereka mengetahui permasalahan Indonesia secara macro yang mempunyai ekses langsung di bidang energi? Sudahkah tim yang datang ke Houston ini memperlajari hasil-hasil yang pernah dikeluarkan oleh event sebelumnya. HED misalnya. Apakah hasil dari HED pernah dievaluasi? Disosialisasikan? Saya kok jadi sangsi bahwa kedatangan tim ini adalah satu paket dengan kunjungan dari SBY ke US akhir bulan Mei kemarin. Jadi sebenarnya hanya embel-embel saja. Kalau dalam istilah tinju, inilah yang disebut dengan partai tambahan alias bukan pertunjukkan utama. Karena embel-embel sifatnya jadi sebenarnya bukan partai yang menarik untuk ditonton. Dimunculkan untuk melengkapi persyaratan ceremonial saja karena big fish nya sudah tertangkap.
Belajar dari Negara lain
Kebanyakan pemimpin kita tidak mempunyai hobi membaca. Membaca apa saja, baik itu secara harfiah membaca maupun beyond dari membaca (pada level analisa), mulai dari keadaan perkembangan di tanah air, tingkat regional maupun internasional. Ini adalah kelemahan utama pemimpin kita sehingga analisanya cekak alias tidak cukup dan berakibat tidak mumpuni dalam bidangnya. Apa hasilnya? Hasilnya adalah pemimpin kita tidak pandai belajar dari sejarah atau pengalaman yang pernah terjadi. Tak terhitung sudah berapa model kerjasama yang dipakai baik antar negara atau perusahaan yang berakhir dengan win lose solution yang berdampak pada jutaan rakyat Indonesia. Selain karena lemahnya kualitas pemimpin, juga disebabkan karena urusan perut masih menjadi hantu bagi mereka. Takut kelaparan karena kehilangan pekerjaan.

Mari kita lihat contoh bagaimana dua negara, Libya dan Venezuela, melakukan strateginya yang indah dan elegan untuk menjaga suatu martabat dan harga diri sebuah bangsa.

Akhir bulan September 2005, Menteri Energy Libya mengumumkan secara terbuka bahwa negaranya memerlukan dana investasi sekitar USD 20 Billion untuk mengeksploitasi minyaknya. Libya yang saat ini memproduksi minyak sekitar 1.7 juta Barrel per hari ingin meningkatkan produksinya menjadi lebih dari 3 juta Barrel per harinya pada tahun 2015. Untuk “iming-iming” kepada para investor, mereka menunjukan beberapa lapangan yang mereka miliki dimana hanya memerlukan biaya produksi kurang dari USD 1 per Barrelnya. Dengan harga minyak sekarang yang di atas USD 60 per Barrel, maka sudah barang tentu ini merupakan tawaran yang layak untuk diperhitungkan bagi para investor. Libya yang terkena embargo ekonomi dari US sejak tahun 1989 menawarkan sumur mereka ke Shell (Belanda) dengan system sharing contract. Kenapa tidak ditawarkan ke US? Jawabannya adalah “Kenapa harus ditawarkan ke US?”

Venezuela adalah salah satu negara yang mempunyai sumber minyak terbesar didunia diluar kawasan Timur Tengah selain Rusia. Dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta, maka sangatlah ironis sebagai negara kaya minyak, sejak tahun 1970 sampai 1998, mengalami penurunan tingkat ekonomi yang drastis. Selama periode itu, jumlah penduduk miskin meningkat dari sepertiga populasi menjadi setengah dari populasinya. Hugo Chaves memegang kendali sebagai Presiden selama dua kali. Pertama kali menjadi presiden tahun 1999 dan pernah di-kudeta tahun 2002. 

Pada tahun 2004, Hugo kembali memegang kendali dan menggunakan hasil penjualan minyaknya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit dan pengadaan pasar murah. Langkah sederhana yang sangat mendasar dan mempunyai dampak langsung kepada apa yang dibutuhkan rakyat Venezuela. Kebijakan Hugo ditentang oleh para lawan politiknya. Bahkan beberapa kebijakan dia pernah digoyang oleh lawan politiknya dengan menutup industri minyak selama 63 hari. Bayangkan saja, akibat penutupan ini pendapatan negara Venezuela raib hampir separoh dari total pendapatannya. Hugo Chaves dapat bertahan dari gangguan dalam negerinya dan sekarang masih menjadi Presiden. Meskipun banyak dikecam oleh para pengamat ekonomi di negaranya, namun kesuksesan Huga Chaves dalam hal mengentaskan kemiskinan, terutama sekolah dan kesehatan, tidak dipungkiri oleh lawan-lawan politiknya. Oleh rakyat Venezuela, Hugo disambut sebagai pahlawan, sementara oleh Washington, Hugo dianggap sebagai perusak skenario. Bahkan beberapa kebijakannya dituding sebagai salah satu penyebab kenaikan harga minyak dunia. So What? Kepada siapa Hugo harus berpihak? Kepada rakyatnyakah atau kepada Washington D.C.? Kalau cadangan minyak Venezuela itu habis karena untuk memberi makan rakyatnya yang lapar, mengobati rakyatnya yang sakit, memintarkan rakyatnya yang bodoh, maka itu sudah hal yang sangat logis dan masuk akal. Bukankah memang begitu seharusnya? Memanfaatkan hasil bumi untuk kemakmuran rakyatnya. Perkara dia lebih senang berteman dengan Fidel Castro daripada dengan Geroge Bush, itu perkara lain. Orang yang “waras” akan meletakan prinsip win-win solution sebagai dasar suatu kerjasama. Barangkali, Hugo Chaves merasakan win-win solution ketika dia bekerja sama dengan Kuba daripada dengan US. Apapun bentuk kerjasama yang ingin dilakukan, ketika win-lose solution yang terjadi, maka sudah terjadi proses pembodohan dalam kerjasama itu.

What should we do?

US adalah negara pengagum ajaran demokrasi. Akal dan nalar adalah “tuhan” mereka. Ketika Indonesia harus deal dengan US, marilah kita mengunakan akal dan nalar yang benar. Permasalahan dasar kita adalah beranikah pemimpin kita bermain dengan cara bermainnya bangsa ini? Adakah kualitas pemimpin kita yang mampu untuk bilang TIDAK untuk hal-hal yang tidak masuk akal? Apakah ini semua disebabkan karena kita yang memiliki budaya timur? Wah… kok nelongso sekali bangsa kita ini. Jadi karena kita berada dalam budaya dunia timur, maka kita harus lemah, manut dan nrimo. Why? Inilah mental yang harus kita hilangkan. Bisnis adalah bisnis. Tidak ada istilah “lancang” atau “kurang ajar”. Yang ada adalah make sense atau nonsense. Kalau bule main tunjuk di depan kita, apa tidak bisa kita tunjuk hidung mereka? Mari kita tunjukkan bahwa kualitas anak bangsa ini melebihi kemampuan mereka.

Bahwa US adalah negara maju, kita tidak menutup mata. Tetapi tidak harus dengan menghambakan diri atau meletakan harga diri ditelapak kaki mereka untuk mengemis minta hutang kepada mereka. Cara-cara seperti ini yang merusak prinsip-prinsip bisnis yang ada di Indonesia. Inilah mental penjilat, atau kalau meminjam istilahnya Kwik Kian Gie, mental Inlander.

Jangan Tinggalkan Sejarah”. Sejarah juga yang mengajarkan kepada kita betapa J.F. Kennedy mengagumi anak Indonesia yang bernama Soekarno. Kagum bukan karena basa-basi, tetapi karena presiden Soekarno telah menempatkan harga diri bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadinya dalam deal dengan negara lain. Se-melarat apapun dia, kalau masih punya harga diri, itu jauh lebih berharga daripada para penjilat pantat boss atasannya. Menjijikan sekali.

Dahlan Iskhan dalam tulisannya di Jawapos (edisi 13 dan 14 Oktober 2005) mengkritisi apa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan sekarang ini. Antara lain, para menteri yang tidak terkoordinasi dan tumpang tindihnya wewenang antara menteri satu dengan yang lain. Saling menyalib antara Presiden dengan Wakil Presiden karena rebutan pengaruh. Negara ini memang seperti angkutan umum yang digunakan seenaknya untuk memenuhi setoran tertentu kepada pemesan tertentu pula.

Minyak dan gas bumi adalah komoditi pilihan. Tanpa dijajakanpun, akan banyak orang yang antri daftar untuk membeli. Jadi, benahi dulu apa yang ada dalam rumah tangga kita sebelum kita “jalan-jalan” menjajakan barang dagangan ini ke tetangga kanan kiri. Pelajari semua permasalahan kita, terutama tentang aturan dan hukum yang masih abu-abu. Jadikan suasana yang nyaman untuk investasi. Buktikan bahwa berita yang beredar diluar adalah berita yang salah, terutama tentang semaraknya praktek pe-malak-an, baik proyek, hutang atau sumbangan. Bagaimana akan nyaman perasaan investornya kalau tahu-tahu ada bom meletus? Bagaimana investor akan tahu berapa USD dia akan invest kalau banyak dana siluman tak pasti yang harus masuk dalam pembukuan tanpa kuitansi? Lha wong barang sumbangan untuk korban Tsunami di Aceh saja, untuk mengeluarkan dari Belawan masih harus membayar ke masing-masing kantor terkait dan njlimet sekali urusannya. Sudah menyumbang, masih ditarik uang lagi untuk mengeluarkannya. Edan….. It does not make sense at all.
Bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani dan tegas adalah persyaratan yang mutlak harus dipenuhi. Sementara itu, yang kita jagokan untuk menjadi pemimpin lebih tenang dan aman kalau ikut dalam barisannya makmum. Teman-teman satu angkatan yang diharapkan turut bahu-membahu banyak yang berkomentar “Ya sudah sanalah kalau berjuang, saya nanti akan bantu dengan doa”. Saya bukan tidak percaya dengan doa. Doa adalah the lowest point yang kita lakukan ketika kita diberi kekuatan oleh-Nya untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari sebuah doa. Lakukan sesuatu terlebih dulu, kemudian mari berdoa bersama-sama. Bukankah kita dipintarkan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk masyarakat di sekeliling kita? Bukankah sudah cukup waktu untuk menjadi penonton dan sekarang gilirannya menjadi pemain? Ini masalah perut jutaan rakyat Indonesia. Membiarkan umat keleleran adalah salah satu bentuk membiarkan kemunkaran tanpa solusi. Sementara kita berada dalam lingkaran itu dan tidak melakukan apa-apa? Ada kewajiban bersama yang seharusnya kita bersama-sama harus melakukannya.

Terlalu banyak barisan yang hanya merasa cukup sebagai makmum saja ketimbang take the lead sebagai imam. Sementara yang seharusnya cocok hanya sebagai makmum malah memaksakan diri tampil sebagai imam. Sudah waktunya kita bermain sesuai makom-nya. Bagaimanapun kumalnya sebuah peci, itu tempatnya harus dikepala. Dan untuk sepatu, apakah itu merknya Bally, Reebok atau Rockport, tempatnya harus dikaki. Kita terlalu sering melihat sepatu di kepala sementara peci kita jadikan sebagai alas kaki. (Prahoro Nurtjahyo, 7 November 2005)

Sunday, August 28, 2005

Dari ExxonMobil sampai Mental Anak Bangsa

Kalau Kwik Kian Gie (KKG) menyinggung kasus ExxonMobil di Cepu tanpa menyebut kasus Ambalat sebagai bagian dari prolog analisanya, maka ada hubungan causal yang kurang lengkap dari sisi pembekalan materi kepada para pembacanya. Kalau ternyata pada akhirnya barter antara kasus Ambalat dan kasus Cepu menjadi timpang atau tidak sepadan nilainya, itu adalah permasalahan yang lain lagi. Walaupun aneh kedengarannya, itulah kenyataan yang ada di negara kita. Kedaulatan dan harga diri kita telah terlilit oleh “chain reaction” sehingga urusan A terkait oleh urusan B dan urusan dalam negeri tergantung sekali dengan campur tangan negara asing.

Semuanya sangat tergantung dengan hutang luar negeri, tidak percaya diri, sehingga mudah menjadi permainan bangsa lain karena bargaining power yang keropos. Apakah kita ini mudah diacak-acak oleh bangsa lain karena kita bodoh? Atau karena kita memang sudah tidak peduli lagi dengan hidup matinya bangsa ini? Atau jangan-jangan kita semua ini sudah menjadi futuristic bahwa yang penting adalah kehidupan akhirat? Futuristic? Ah rasanya kok tidak. Masih mending kalau futuristic. Ini sudah pada level masa bodoh. Atau inikah yang kita pahami selama ini dengan konsep “Hablul Minannas”?
Dua Ekstreem
Pasca dinasti Suharto jatuh, Indonesia menjadi eksperimen dari para “reformis”. Berbekal dengan konsep bernegara yang kabur dan situasi yang rentan pecah pada saat itu, telah memberikan kesempatan para oportunis untuk memasuki gelanggang percaturan politik Indonesia yang sejak lahir (1945) memang sudah rawan untuk pecah. Asal memakai label kata-kata reformasi, maka semua tindakan seolah telah memperoleh sertifikat halal dan benar.

Menjelang jatuhnya Suharto pada tahun 1998, hubungan antara pemerintah Indonesia pada waktu itu dengan IMF memang sudah tidak mesra lagi. Apalagi ada track record dari Suharto yang pernah “membubarkan” IGGI (institusi negara pemberi hutang kepada Indonesia) sehingga IMF menjadi ketar-ketir juga kalau nanti “dicerai” oleh Suharto. Berbeda dengan IGGI atau CGI, IMF datang ke negara kita dengan membawa bendera Persatuan Bangsa Bangsa (UN) melalui slogannya “menolong negara miskin” akibat krisis moneter. Dengan misi ini, di Indonesia, IMF mempunyai banyak “santri” yang taat mengikuti ajarannya, terutama mereka-mereka yang duduk pada level pejabat pemerintahan. Jatuhnya Suharto membawa dampak ease the pain para boss IMF, sehingga turut mendongkrak para “santri”nya untuk naik pentas.

Pada jajaran elite di tingkat atas, muncul dua ekstreem yang masing-masing meyakini nilai-nilai yang dibawanya. Sebut saja, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie dkk (sebagai pemeluk ajaran IMF) di satu ekstreem yang menitik beratkan pada azas ekonomi ala pasar. Konsep ada uang ada barang. Bayi nangis sekarang, cepat-cepat di kasih dot susu. Sementara KKG dan Rizal Ramli di ekstreem yang lain, lebih melihat dampak jangka panjang.

Sri Mulyani dkk melihat faktor lapangan adalah variable utama. Mereka lebih senang kalau mendengar si bayi tidak menangis sekarang. Sementara KKG dkk lebih melihat bagaimana kondisi kedepannya. Lebih baik si Bayi menangis sekarang tetapi bisa hidup sampai 65 tahun lagi daripada si Bayi hidup sekarang dan belum tentu bertahan hingga usia 10 tahun.

Menurut Sri Mulyani dkk, hutang diperlukan karena kita sedang membangun dan tidak mungkin diputus ditengah jalan. Ada sesuatu yang harus dikorbankan (jika memang perlu) untuk menggapai sebuah harapan (?). Rakyat kelaparan pada detik sekarang ini adalah fact. Sedangkan bagaimana realita 5, 10 atau 20 tahun kedepan bukan prioritas utama dari analisa Sri Mulyani dkk. Harga minyak naik sekarang ini adalah juga kenyataan. Sri Mulyani dkk tidak akan menganalisa harga BBM 5 tahun kedepan, karena banyak variable yang nantinya akan berubah selama lima tahun kedepan. Maka tidaklah heran, ketika madzab ini berkuasa, banyak BUMN kita dijual untuk menjadi abdi dalem (hambanya) dari ndoro IMF.

Beberapa komentar menyebutkan bahwa KKG terlalu idealis, kaku dan tidak melihat kondisi yang ada di lapangan. KKG selalu menghembuskan isu nasionalisme dan patriotisme untuk merebut simpati dari para kalangan menengah ke bawah. Saya cenderung setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ”Sri Mulyani dkk lebih condong pada kehidupan sehari-hari (ekonomi pasar), sementara KKG lebih menempatkan azas pemanfaatan ekonomi berdasar pada ego kepemilikan”. Kuasai dulu semua Sumber Daya Alam (SDA) yang menguasai harkat orang banyak. Infrastructure bisa diperolehnya sambil berjalan. KKG mengajak semua elemen untuk menjadi bagian dari proses. “Menderita” di awal adalah salah satu bagian yang namanya proses. Hanya saja, Madzab-nya KKG ini gagal mengimplementasikan teorinya pada level atas. Teori yang ditawarkan oleh KKG, Stick and Carrot, tidak mendapat sambutan yang positif dari para koleganya. Kenapa? Karena kalau diaplikasikan, akan terlalu banyak Stick-nya daripada Carrot-nya. Penjara yang diharapkan akan diisi oleh para koruptor ternyata akan lebih banyak dan lebih dulu diisi oleh para jaksa, hakim dan polisi.

Mapping SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia

Kharakter bangsa kita memang unik. Jangan terlalu banyak berharap untuk menjadikan bangsa ini melek jalan pikirannya hanya dengan melalui sebuah Seminar, Simposium, atau Rapat Kerja. Sudah dimaki di depan mata saja, masih nggak ngerti juga apa kesalahannya. Makanya, janganlah memakai bahasa yang halus, sindiran atau kalimat bersayap untuk mengajak melek bangsa ini. Coba keluarkan semua nama binatang di Kebun Binatang, Jangkrik, Anjing, Kecoa, dll., maka tidak akan mengubah hasil akhirnya.

Ada time frame dan mapping SDM yang padu diantara mereka yang masih peduli dengan keberlangsungan hidup dari bangsa ini. Salah satu kelemahan yang ada antar generasi adalah missing link sebuah nilai. Tidak ada tali penyambung konsep bernegara antara pendiri republik ini dengan penguasa sekarang ini. Sukarno, Hatta, Syahrir dan sederetan tokoh pendiri bangsa gagal mentransfer sebuah nilai yang sekarang diartikan lain tentang makna dari berjuang untuk rakyat.

Sepuluh tahun atau dua periode pemerintahan yang akan datang adalah waktu yang tepat untuk kembali menata sendi-sendi pemerintahan dan sosial kemasyarakatan kalau kita masih mau membangun bangsa ini. Mengapa 10 tahun lagi? Paling tidak ada 3 skenario:

1. Mengkikis nilai lama melalui jalan yang “damai” atau alami.Sepuluh tahun lagi, para pejabat pemerintahan yang saat ini berusia 55 tahun akan pensiun. Dengan lengsernya para sesepuh ini, akan ada power shift terhadap nilai-nilai lama yang selama ini dianggap memperlambat perubahan. Disadari atau tidak, masih saja ada perasaan ewuh pekewuh, sungkan untuk mengkritik atau menyampaikan message ke para senior kita. Dengan dalih menjaga adat istiadat dan berlindung pada selimut budaya timur (Apa sih sebenarnya budaya timur ini???), maka sesuatu yang straight to the point disebut sebagai tindakan kasar, hilang budaya, sok kebarat-baratan, dan masih banyak lagi.

2. Memfilter SDM kita yang saat ini berusia 45 tahun yang akan naik posisi.
Ini berarti sepuluh tahun lagi, mereka-mereka kelahiran 1960an akan memegang kemudi kendaraan Republik ini. Transisi antara generasi sepuh dengan angkatan ini (kelahiran 60an) memerlukan enforcement untuk membuat benang merah antara professional di bidangnya dengan para karbitan atau kelas kacangan.

3. Menyamakan misi dan visi para SDM yang saat ini berusia 35 tahun.
Generasi ini yang mulai sekarang harus sering digesek atau diadu konsepnya untuk menyamakan visi dan misi berjuang untuk rakyat. Sehingga sepuluh tahun lagi, posisi mereka (sudah Manager) merupakan kekuatan yang dahsyat karena jumlah mereka yang se-paham sudah melebihi senior mereka yang saat itu memegang kendali. Apa kendalanya? Mental bobrok di masyarakat kita sudah pada level yang sangat membahayakan dan seharusnya ada warning nasional tentang bahaya laten ini. Budaya paternalistic yang sendiko dawuh, manut, nrimo akan selalu defensive terhadap nilai baru yang ditawarkan apalagi kalau mengancam keselamatan posisinya. Artinya, generasi yang saat ini berusia 55 tahun sudah menghasilkan ribuan kader dengan mentalitas yang tidak kalah busuknya dibandingkan para seniornya yang akan menutup semua celah untuk menuju perubahan. Ini tantangan kita semua.

Tentunya semua itu harus juga dibarengi dengan mapping orang-orang yang professional dibidangnya, mempunyai visi dan misi yang sama tentang bagaimana membangun bangsa ini. Kalau pulang kampung tanpa ada kejelasan konsep akan kemana bangsa ini berjalan, ya sami mawon. Sampai kapanpun kita akan seperti ini terus.

Saatnya untuk bertempur

Kalau saja bangsa ini kuat, Malaysia tidak dengan seenaknya saja mencoba “bermain” dengan Ambalat setelah mereka “dimenangkan” atas pulau Sipadan dan Linggitan. Banyak masalah yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan terutama yang berkaitan dengan batas wilayah kedaulatan negeri ini. Dengan Singapura misalnya, pengerukan pasir yang lambat laun akan menenggelamkan pulau terdekat kita dengan Singapura. Kelak Singapura akan meng-klaim batas wilayahnya bertambah jika pulau itu sudah tenggelam akibat pasirnya sengaja “digunduli” mengacu pada zona laut (3 miles dari garis pantai). Cepat atau lambat, batas wilayah Malaysia dengan Indonesia akan mencuat lagi terutama diperbatasan Serawak. Patok batas negara yang sudah tidak jelas lagi sekarang, bahkan sudah banyak muncul pasar di daerah perbatasan dengan mata uang ringgit sebagai nilai tukarnya. Belum lagi kasus kepulauan di NTT yang oleh juru bicara Kementrian Luar Negeri di-klaim bukan wilayah Indonesia karena alasan dulunya merupakan bekas jajahan dari Inggris. Masih banyak lagi sederetan permasalahan yang ruwet ….

ExxonMobil di Cepu adalah salah satu contoh lemahnya mental anak bangsa. Akan muncul kasus serupa kalau kita tidak aware, well prepared dan bersikap ksatria untuk menghadapinya. Permasalahan besar kita adalah menyamakan visi dan misi tentang bagaimana membangun bangsa ini. Karena pada akhirnya yang akan “bersinggungan” adalah antar anak bangsa sendiri maka Enforcement dari pemegang kekuasaan adalah syarat mutlak yang harus dipersiapkan. Semoga saja, pemerintah mempunyai blue print tentang kemana bangsa ini akan dibawa dan mapping SDM kita yang saat ini bertebaran kemana-mana. Bagaimana kalau tidak ada “blue print”-nya? Ya ganti saja tintanya, jadi black atau yellow. (Prahoro Nurtjahyo, 28 Agustus 2005)


Monday, August 22, 2005

Pampers

Ini sebenarnya cerita tentang hal yang sepele, yaitu urusan pampers. Barang ini bukanlah barang yang istimewa sampai ketika saya menerima complain dari dua anak saya (laki-laki 10 tahun dan perempuan 7 tahun). Mereka berdua merasa diperlakukan “unfair” dibandingkan dengan adiknya yang paling kecil. Dalam bahasa saya, saya mencoba menterjemahkan complain mereka sebagai berikut “Mereka melihat garis yang tidak bengkok ketika saya memperlakukan mereka. Sekarang mereka melihat garis itu tidak hanya bengkok tetapi malahan kabur tidak jelas lagi”. Wah kalau sudah ke arah sana penafsirannya, maka menjadi runyam dan serius urusannya. Dan soal pampers ini adalah salah satu complain dari sekian complain yang saya terima weekend lalu dari 2 anak saya ini.


Anak kami yang paling kecil berusia 3.5 tahun. Dibandingkan dengan kedua kakaknya tadi, dia relative lebih terlambat. Bukan terlambat keluar gigi, bukan pula terlambat untuk memulai ngomong atau terlambat berjalan. Si kecil ini terlambat dalam hal meninggalkan kebiasaan memakai pampers. Kalau kedua kakaknya “mampu” memenuhi target kami menanggalkan pampers sebelum usia 2.5 tahun, ternyata si kecil ini merasakan kenyamanan dari pampers hingga usia lebih dari 3 tahun.

Tentunya bukan kepada perusahaan pampers ini kami harus memaki. Dengan berbekal pada kalimat ber”introspeksi diri”, saya mengajak rembugan istri saya untuk berdiskusi kira-kira apa penyebabnya.

Istri saya berkomentar bahwa ini sebagai akibat peningkatan “rasa” dari sebuah hasil teknologi. Menurut dia, perusahaan pampers telah meningkatkan standard ergonomic dalam hal men-design pampers dan juga mencoba untuk expand pasarnya. Kalau saat ini mayoritas pasarnya adalah balita (dibawah lima tahun) dan lansia (lanjut usia), sepertinya mereka tengah membidik pasar lain dengan memakai konsep, “Kenapa tidak semua usia saja yang memakai pampers?”. Saya hanya diam saja ketika mendengar komentar istri saya ini. Maklum, kalau nanti saya potong, dia terus ngambek dan tidak mau diskusi lagi. Dalam hati, saya membayangkan betapa semaraknya nanti iklan tentang pampers ini. Kalau ternyata analisa istri saya benar, nanti akan ada iklan yang promosinya kurang lebih berbunyi “Pakailah pampers produk kami. Tidak akan tembus dan akan meningkatkan produktifitas kerja anda tanpa harus bolak-balik ke kamar mandi”. Waduh.. edan tenan.

Dari banyak diskusi dan alternative yang ada, akhirnya saya mengusulkan untuk melepas pampers si kecil seperti kedua kakaknya dulu, lagian sudah waktunya untuk belajar mengontrol organnya sendiri. Tentunya dengan segala resiko dan konsekuensinya. Setelah istri saya sepakat, akhirnya salah satu pekerjaan tambahan dan utama bagi kami adalah melihat secara intens kegiatan si kecil dari jam ke jam. Kalau kedua kakinya sudah diapit sewaktu berjalan, ini sudah warning buat kami bahwa si kecil ingin segera buang air. Bukan itu saja, ada default baru yang melekat di bibir kami untuk selalu menanyakannya hampir setiap 30 menit, “Adik mau pipis?”

Kemarin pagi adalah pertama kali teori ini kami coba. Di awal tampaknya usaha kami lumayan membawa hasil. Si kecil mulai teratur dan dapat mengkontrol bisnis irigasi pengeluaran air ini. ”Wah.. hebat sekali awak ini”. Sudah siap-siap saya ingin segera pamer hasil ini ke teman-teman dan eyangnya. “Siapa dulu ayahnya?” Saya sudah persiapkan semua catatan, tulisan dan teknik untuk mengatasi pelepasan pampers ini. Bye..bye pampers.

Namun ternyata senyuman kami tidak dapat bertahan lama. Menjelang malam akan tidur, mulailah “bencana” itu datang. Dalam tidurnya, si kecil ngompol ke seluruh kasur. Dalam waktu dua jam, sudah dua kali si kecil ganti posisi karena posisi sebelumnya basah terkena ompol. Akhirnya, dalam satu malam telah 5 pulau besar kecil digambarnya di kasur dengan ompol. Lengkap sudah dekorasi kasur kami dalam satu malam oleh ompol si kecil.

Kalau sudah begini, istri saya paling cekatan kerjanya dan ditambahi dengan aksi mogok ngomong. Dia tidak perlu ngomong untuk mengekspresikan ketidaksenangannya. Karena dia tahu pasti bahwa ompol ini akan menjadi bagian dari pekerjaannya yang baru selain pekerjaan rutin yang lain. Kasur harus dijemur. Dan effectnya para tetangga akan melihat dan sudah pasti bertanya, “What’s going on?”. Jawaban standard kami adalah, “O itu? Biasa anak-anak

Istri saya sepertinya sudah mutung dan berkata, “Sudahlah kita pakai pampersnya lagi, nanti lama-lama si kecil akan bisa sendiri mengontrolnya”. Bukan kasur atau pampers itu yang saya permasalahkan, tetapi sorot tanya dari kedua mata kakak-kakaknya yang seakan-akan mempertanyakan kredibiltas ayahnya, “Apa bedanya adik dengan kami, sehingga perlakuan ayah dan mama berbeda?”. Sungguh merupakan ketakutan yang amat sangat bagi saya ketika pertanyaan itu benar-benar dikeluarkan melalui mulut mereka. “Mengapa saya harus menggunakan double standard untuk hal yang sama? Mengapa saya tidak lagi konsisten dengan standard yang pernah saya pakai untuk kedua kakaknya? Mengapa untuk si kecil ini, saya lebih memilih mengalah menuruti kemauannya ketimbang mendisiplinkannya?”

Ketika saya masuk kamarnya, masih dengan pulasnya si kecil tidur di kasur yang di samping kanan kirinya basah karena ompolnya sendiri. Saya katakan dengan lirih di telinganya sebelah kanan, “Believe me, this is for your own good”. Saya tutup kembali pintu kamarnya, dan masuk ke kamar kakak-kakaknya. Saya pandangi mereka yang juga masih tertidur. Saya kirimkan beberapa kalimat melalui SMS ke hati mereka yang isinya, ”Maafkan ayah yang lemah ini. Kalau untuk hal yang sepele seperti pampers ini saja, ayah tidak mampu memegang komitmennya, apalagi untuk urusan yang lebih besar dari ini. Terima kasih karena kalian berdua masih mau mengingatkan ayah tentang nilai sebuah komitmen ini. SMS balik ayah ya…?”.

Saya kembali ke kamar saya dan melihat istri saya yang sudah capai. Sudah tak terhitung berapa round-trip dia harus bolak-balik ganti sprei dan baju si kecil yang basah. Dengan langkah yang hati-hati saya bilang ke istri, ”Ada sebuah komitmen yang kita telah sepakati tanpa kita sadari bahwa fungsi kita di dunia ini hanyalah sebagai perantara saja. Yang bisa kita turunkan untuk anak kita adalah nilai dan rasa tentang hidup, yang kelak juga menjadi tugas mereka untuk menurunkannya ke cucu-cucu kita dan seterusnya”.

Kalau untuk transfer sebuah nilai dan rasa ini saja, kita tidak mampu melakukannya, adakah sesuatu yang lebih dari itu yang pantas kita berikan untuk mereka?”

Biarkan si kecil belajar dari organnya sendiri. Belajar dengan waktu yang sudah kita set. Biarkan dia tahu bahwa kalau dia tetap ngompol, nanti akan berakibat basah, bau dan najis. Kalau sudah terkena najis, maka macet sudah aktifitas lainnya sampai dia harus bersuci lagi”.

Sebelum complain, saya peluk istri saya sambil berseloroh “Beruntunglah kita menjadi bagian dari Indonesia yang mempunyai 17000 pulau. Malam ini, si kecil baru memulai menggambarnya dengan 5 pulau. Masih banyak pekerjaan yang harus dia dan kita selesaikan untuk malam-malam yang akan datang”. Istri saya hanya mesem (baca: tersenyum) saja, tanpa saya tahu pasti apa arti sebenarnya dari mesem itu. Apapun arti senyum itu, saya masih menunggu harapan lain yaitu jawaban SMS anak saya, semoga menerima permohonan maaf ayahnya.
(Prahoro Nurtjahyo, 22 Agustus 2005)

Tuesday, August 02, 2005

Digital Camera + Website = Alat kontrol

PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Perancis dan Belanda telah sepakat untuk “menghajar” habis-habisan para anggota DPR yang nglencer dengan alasan studi banding ke Perancis selama 4 hari. (Baca harian nasional edisi minggu terakhir bulan Juli atau kunjungi website PPI Belanda). Dengan berbekal Digital Camera dan website, mereka membeberkan aktivitas para anggota DPR yang shopping ke Belanda (padahal studi bandingnya ke Perancis). Lembaga yang diharapkan mampu mengontrol kinerja pemerintahan ternyata malah lepas control.

Issue berita semacam ini bukan barang baru di telinga kita. Informasi sejenis, pada umumnya hanya kita terima lewat mulut ke mulut. Jadi sebenarnya, para anggota dewan kali ini sedang apes saja. Mereka kurang pintar menyembunyikan cara gerilyanya. Mungkin karena kurang lihai, masih amateur, jadi terkena batunya. Saya sarankan kepada yth. para anggota dewan atau pejabat pemerintahan yang sedang keluyuran ke luar negeri, kalau mau shopping sebaiknya malam hari dan usahakan 15 menit sebelum tokonya tutup. Jadi anda akan aman dari kuntitan candid camera para mahasiswa atau anggota lembaga non-profit yang masih cinta kepada Indonesia.

Anggota DPR adalah salah satu representative dari perwakilan bangsa/rakyat Indonesia yang “langganan” keluyuran ke Luar Negeri dengan berbagai alasan. Realitanya, ternyata keluyuran ke luar negeri bukan hanya dominasi anggota legislative saja, para eksekutifpun tidak kalah gencarnya. Bagaimana dengan US, khususnya Houston? Sebagai kota pusat energy sedunia, bukankah menjadi ladang empuk bagi preman pemerintahan untuk mem-palak-i perusahaan minyak yang mempunyai operasi di Indonesia? Banyak preman di lingkungan pemerintahan yang paling tidak memperoleh jatah sekali setahun untuk datang ke Houston. Alasan kerja? Atau inspeksi ke Head Quarter? Wah…kalau bicara alasan, bisa dibuat dan macam-macam modelnya. Anda tinggal pesan saja, nanti alasan akan muncul dalam bentuk dokumen resmi. Kenapa tidak pernah terungkap? Karena biayanya masuk dalam cost-recovery? Mungkin saja. Namun yang jelas, praktek semacam ini sudah seperti bagian dari deal bisnis. Wallahualam.
Saya bukan latah sehingga ikut-ikutan ingin mendirikan organisasi semacam Corruption Watch di Houston. Saya hanya membayangkan betapa nyamannya kalau sebuah lembaga melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi yang diembannya. Tidak akan ada lagi issue miring. Misalnya, ini misalnya lho. Kalau lembaga A fungsinya sebagai public service, ya… belajarlah untuk melayani masyarakat dengan baik. Pilihlah seseorang yang duduk di front desk yang murah senyum, ramah dan gaya bicaranya yang lemah lembut baik face to face maupun melalui telepon. Tidak harus yang ganteng atau cantik, yang penting setiap tamu yang datang merasa welcome. Namanya juga menjaga sebuah image, kalau first impression sudah kecut, jangan harap service kita akan direkomendasikan ke orang lain. Sudah tampang jelek, cemberut melulu, ditambah kalau ngomong ketus dan sok sekali. Wah.. lengkap sudah penderitaan public service kita.

Saya membayangkan nanti akan ada “IATMI-Houston Watch”, tugasnya mengawasi kerja ketua, sekjen dan bendahara. Kalau mereka tidak becus mengurus lembaga yang dipimpinnya, kita tendang mereka keluar, ganti dengan siapa-siapa yang lebih mumpuni. Jangan mereka-mereka yang kelas kacangan yang dipasang untuk memimpin sebuah lembaga. Mungkin kita perlu juga “KJRI-Houston Watch”, yang bertugas mengawasi cara kerja lembaga ini, effektifitas jam kerjanya, fungsi yang diemban, dll. Dan macam-macam lagi. Tidak perlu risih, takut, marah, atau keki. Kalau memang kerjanya bagus kenapa harus takut. Tidak ada yang superior dan semua orang bekerja sesuai dengan tugasnya. Tidak ada lagi yang merasa penting dan merasa dibutuhkan. Aneh saja rasanya hidup di alam merdeka tetapi masih menyaksikan gaya feudal, gaya antara priyayi dan bawahan.

Dampak psychologis yang akan muncul adalah pejabat (DPR atau pemerintahan) yang akan “tugas” ke Houston akan berhati-hati. Paling tidak mereka akan catch up dengan lingkungan yang sudah terbentuk. Mereka-mereka yang dikirim bukan kualitas kacangan, tetapi professional. Tidak bermental minta ditraktir seenak udelnya sendiri, shopping oleh-oleh ke mall buat atasannya di kantor dengan biaya rakyat, main golf dengan biaya rakyat, atau pergi ke night club dengan biaya rakyat. Mereka akan aware bahwa di Houston ada anjing Herder (keturunan Jerman) yang akan menyalak yang suaranya akan sampai ke harian nasional di Jakarta dan seluruh pelosok tanah air.

Website kita sudah punya, apalagi digital camera, hampir setiap anggota punya. Menunggu apa lagi kita? Anjing Herder atau Doberman kali ya? (Prahoro Nurtjahyo, 2 Agustus 2005)

Wednesday, June 08, 2005

Arti sebuah kehilangan

Dua hari yang lalu, saya memperoleh khabar bahwa ayah dari salah satu sahabat dekat saya meninggal dunia karena sakit. Sepertinya Tuhan mempunyai rencana lain terhadap upaya yang sudah dilakukan oleh hambanya agar supaya sang ayah kembali sehat. Suratan takdirpun sudah dituliskan bahwa almarhum harus menghadapNya pada hari, tanggal, jam, menit, sampai detik tertentu. Semuanya adalah kuasa dari Tuhan. Inna Lillahi waina Illaihi rojiuun.

Saya menempatkan diri saya pada kategori orang yang cengeng untuk urusan kehilangan. Baik itu kehilangan karena berpisah dengan orang tua, berpisah dengan sahabat dekat apalagi sampai kehilangan karena ditinggal untuk menghadap sang Khalik. Saya bisa merenung dan menangis berjam-jam, bahkan karena terbawa emosi, bisa juga kesedihan itu saya bawa dalam tidur sehingga gelisah dan seterusnya.

Tidak demikian halnya yang saya lihat pada sahabat saya ini. Dari penampilannya, sahabat saya ini masih tetap tegar, terlihat tabah, bahkan masih sempat bercanda dengan cerita-cerita lucunya. Tetap, sebagai manusia, kehilangan itu bagian dari kehidupan kita. Seberapapun sahabat saya berusaha untuk menyembunyikan rasa sedihnya, deep down in his heart, saya masih melihat bahwa dia merasa kehilangan juga. Keberadaan ayah yang telah turut mengukir jiwa raganya dan menemaninya (meskipun hanya melalui telpon) akhirnya harus berpisah.

Ternyata kepasrahan yang tulus lebih mampu mengontrol kesedihan itu sendiri. Mungkin bagi sahabat saya ini, akan terasa lebih sedih jika menyaksikan Evans Library tutup, atau jaringan internet putus selama sehari. Untuk kehilangan orang tua, sahabat saya dapat pasrah bahwa itu adalah kekuasaan Tuhan yang manusia tidak ada kuasa menolaknya. Melihat internet mati, listrik mati, Library tutup adalah bagian dari ulah manusia yang kalau berhati-hati tentunya tidak perlu sampai listrik mati, internet mati apalagi sampai Evans library tutup. Untuk urusan yang satu ini, saya harus banyak belajar dari sahabat saya ini.

At the end, tidak ada yang langgeng. Hilang sudah pasti ada dan hanya menunggu waktu. Ketika pangkat, jabatan, kedudukan sudah meninggalkan kita, yang tetap tegak disisi kita adalah keluarga (anak dan istri) dan sahabat dekat. Mari kita maintain silaturahmi di antara kita, semoga kelak dapat bermanfaat bagi rekan-rekan lainnya. (Prahoro Nurtjahyo, 8 Juni 2005)

Tuesday, June 07, 2005

Sang Priyayi

Sengaja saya mengambil karya sastra almarhum Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi pada tulisan ini untuk bercermin pada potret masyarakat Indonesia, khususnya mereka-mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Saya terkesima dengan kejadian yang baru saja saya alami dan akhirnya oret-oretan ini tertuliskan. Buku sastra dengan sampul berwarna coklat muda dengan gambar rumah joglo ala jawa itu menarik perhatian saya bukan karena gambar dan judul-nya, tetapi lebih kepada arti hakiki dari priyayi itu sendiri.

 Siapa itu Priyayi?
 
Umar Kayam tidak memberikan definisi priyayi secara eksplisit. Bahkan sengaja membiarkan para pembacanya untuk mencari sendiri pengertian dari priyayi. Pak Kayam hanya bertutur tentang pengertian priyayi dalam sebuah dialog antar anggota keluarga ditengah kehidupan bermasyarakat. Satu hal penting yang saya tangkap dari pesan pak Kayam adalah “Priyayi itu tidak akan ditemukan pada wujud fisik seseorang melainkan pada pola berpikir seseorang yang mampu melepaskan nilai-nilai universal yang terkukung oleh adat atau kebiasaan yang tidak logis”. Inikah sebuah kasta baru dari susunan masyarakat kita yang modern? Masyarakat yang bersandar pada norma agama dan logika yang masuk akal. Bukan logika karena akal-akalan. Kalau benar premis itu, mengapa kita tidak mem-priyayi-kan otak kita? Mem-priyayi-kan pola pikir kita?

Priyayi dalam konotasi pengertian awam (kuno) adalah seseorang atau golongan yang ada kaitannya dengan darah bangsawan. Dengan bergesernya jaman, darah bangsawan dapat digantikan fungsinya oleh beberapa status. Karena munculnya strata dalam masyarakat, maka sekarang ini muncul para Priyayi Baru yang disebabkan karena perbedaan status ekonomi, artinya mereka yang kaya dari segi ekonomi adalah Priyayi, sementara yang kere (miskin) adalah kaum Proletar atau bahasa kasarnya Melarat. Bukan hanya perbedaan status ekonomi saja, perbedaan status kekuatan juga akan membedakan apakah seseorang atau golongan masuk pada kategori kelas Priyayi atau kelas Proletar. Siapa yang mempunyai senjata atau tukang pukul, mereka adalah kategori Priyayi, sedangkan siapa yang dipukuli adalah mereka yang kere. Karena kalau mereka tidak kere, tentunya mereka bisa beli senjata atau sewa tukang pukul. Sialnya, yang punya senjata umumnya bersahabat dengan yang kaya, maka dari sekian banyak perbedaan untuk menjadi seorang Priyayi, tetap saja julukan untuk yang kere adalah mereka yang lemah, jelek, miskin, dan tidak punya apa-apa.

Dari segi sikap dan perlakuan, para Priyayi ini adalah para juragan yang minta untuk diladeni. Kalau makan minta disuapi. Bahkan kalau perlu, sehabis buang hajatpun, mereka minta untuk diceboki. Karena adanya demand dan supply, maka kehidupan seperti ini subur dan makmur di Indonesia. Ada saja yang minta untuk disuapi, dan lebih gila lagi ada juga yang mau menyuapi. Jadi sudah sama saja, podo wae. Nah.. siapa yang mau menyuapi? Menceboki? Untuk mencari jawabannya, mari kita kembalikan pada diri kita sendiri: “Apakah kita pernah menyuapi atau pernah disuapi?”


Harga Diri

 
Banyak orang kita yang bilang bahwa di Indonesia semuanya bisa dibeli dengan uang. Sebut apa saja, nanti akan berujung ke uang. Mencari SIM? Mengurus fiskal? Ke kantor kelurahan, kecamatan? Selalu saja ada dua pihak yang “berkepentingan” sehingga kehidupan transaksi macam ini hidup subur di negara kita. Itu hanya beberapa contoh urusan yang kecil. Saya mendefinisikan urusan kecil karena hanya melibatkan dua orang individu. Bagaimana dengan urusan bernegara? Project ratusan juta dollar yang melibatkan jutaan rakyat? Project yang sering lolos ke pihak-pihak tertentu karena tepukan pundak atau ajakan pergi ke luar negeri untuk shopping, main golf, dan lain-lain. Apakah memang para pemimpin kita yang “telmi” (telat mikir) sehingga tidak peduli lagi bahwa kita ini bagian dari rakyat yang sedang megap-megap? Atau kita yang sombong sehingga apa yang ada dalam benak pikiran kita adalah bisnis, bisnis dan bisnis?

Belum cukupkah makanan yang kita makan? Pakaian yang kita pakai? Haruskah kita menurunkan warisan jutaan dollar untuk anak kita? Biarlah anak mencari rejekinya sendiri. Saya percaya apa yang mereka hadapi akan jauh berbeda dengan yang pernah kita hadapi. Biarkan mereka belajar dari jatuh, dari melarat sekalipun. Saya takut dengan kemiskinan. Saya juga takut gelapnya kubur. Saya lebih takut lagi kalau sampai kehilangan harga diri.

Mengambil sikap adalah sebuah keharusan. Kita sendiri yang menentukan akan “sebagai apa” kita ingin dikenang oleh anak-anak kita, istri, teman dekat bahkan musuh kita sekalipun. Akankah kita dikenang sebagai Pahlawan bagi perusahaan sekaligus dihujat sebagai penghisap hak dari ratusan juta rakyat Indonesia?Kalau pejabat kita adalah representative dari negara kita, maka tidaklah mengherankan kalau negara kita, tidak lagi mempunyai bargaining power yang kuat. Kenapa? Pejabat kita doyannya uang, jajan (apa saja), shopping, keluyuran tanpa jelas pertanggungjawabannya apa. Kalau ada pejabat datang kunjungan (bahasa halusnya tugas dinas) ke Houston. Saya ingin tahu apa sih hasilnya untuk rakyat? Kalau mereka itu jujur, sehabis pulang dari Houston seharusnya langsung menghadap DPR dan bicara keras-keras: “Saya kemarin tugas dinas ke Houston dengan biaya dari rakyat dan menjadi saksi keperkasaan Houston Astros setelah menggilas Cardinal 12-4 dalam pertandingan Base Ball”. Hilang sudah harga diri bangsa ini karena dirusak secara marathon dan berjamaah dari rombongan pejabat yang mengatasnamakan wakil rakyat Indonesia.

Tingkah polah kita adalah cerminan bagi anak-anak kita. Kalau bapaknya saja sudah pengecut maka janganlah terlalu banyak berharap untuk mempunyai anak yang pemberani. Kalau bapaknya maling, anaknya mencopet. Ya.. masih make sense lah. Nalar kita yang mengajarkan bahwa buah apel akan jatuh tidak jauh dari pohonnya.


“Great Power Comes With Great Responsibility”

 
Masyarakat berpendidikan, sadar atau tidak, telah ditempatkan posisinya sebagai masyarakat yang seharusnya melek teknologi dan sudah selayaknya menggunakan akal sehat dan nalarnya untuk membedakan mana yang baik dan benar terhadap nilai yang lain. Dari masyarakat eksklusif ini diharapkan akan muncul generasi baru yang dapat memberikan perubahan yang terbaik bagi masyarakat sekitarnya. Kewajiban moral yang disandang adalah tanggung jawab yang akan dipertanyakan lagi olehNya tentang apa saja yang pernah kita lakukan untuk masyarakat di sekitar kita.


Jangan mempermasalahkan Priyayi atau tidak. Selama otak kita menghormati cara berpikir kita yang logis dan tidak memutarbalikkan logika yang ada, maka kita akan lolos dari ujian mempriyayikan otak dan nurani kita. Jangan salah sangka, banyak sekali yang kita lakukan salah, kemudian kita berusaha memutar otak kita untuk mencari-cari logika sehingga apa yang telah kita lakukan dilegitimasi menjadi benar. Artinya, membohongi diri sendiri dengan berlaku culas dan bertindak bodoh. Setiap manusia diberi kemampuan untuk bertindak sesuai dengan akal sehatnya serta nurani yang mengikutinya.

Kalau berjuang secara individu terasa berat godaannya, kenapa tidak kita mulai berjuang secara berjamaah (bersama-sama)? Kalau kita belum mampu membantu secara fisik, kenapa tidak kita bantu melalui lisan atau tulisan? Sekecil apapun yang bisa kita lakukan adalah kewajiban kita untuk melakukannya, persetan orang akan bilang apa.

Mari kita belajar dari hal yang prinsipil saja. Kalau kita pejabat, mari belajar untuk tidak mau disogok atau diladeni. Kalau kita para pebisnis, marilah belajar jangan menyogok atau menyuapi. Dua-duanya sama bejatnya, tidak ada pilihannya. Hanya dengan cara ini kita akan mampu menjadi priyayi untuk diri kita sendiri dan lebih lega pertanggungjawaban kita dihadapan Illahi.
(Prahoro Nurtjahyo, 7 Juni 2005)

Thursday, March 10, 2005

Perang Saudara

Kehidupan pekerjaan dan kota ini telah menjauhkan kebiasaan saya berkumpul dengan keluarga. Tidaklah terlalu berlebihan jika akhirnya saya berusaha untuk meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak saya yang paling besar, laki-laki berusia 10 tahun. Saya mencari bahan cerita yang asyik untuk diperbincangkan. Saya mulai membuka buku cerita Babat Tanah Jawi, Ramayana dan akhirnya berhenti pada Mahabharata. Dari serial Mahabarata, saya ambil bagian yang paling seru yaitu perang Bharatayuda.

Ayah mempunyai cerita epic yang seru”, demikian kata saya kepada dia weekend yang lalu. “Apa itu ayah?” katanya riang. Menurut dia, cerita seru apa yang dapat mengalahkan Yu-GiOh, Pokemon atau kartun sejenisnya produk dari Jepang?

Saya ambil bagian depan dari Mahabharata untuk mengambil setting cerita tentang tempat, masyarakat, sampai terpeciknya akar permasalahan terjadinya perang itu.

Dengan berapi-api saya bercerita kepada anak saya tentang siapa saja yang berada di pihak Kurawa, mengapa dia ada di Kurawa, apa tendensinya, apa kesaktian dari para pendukungnya, seperti Resi Durna, Resi Bisma, Prabu Salya, dll. Di sisi lain, untuk mengimbangi, saya juga menceritakan kehidupan Pendawa yang dikuyo-kuyo oleh Kurawa karena dicurangi dalam permainan dadu yang menjadikan istana sebagai taruhannya. Tidak lupa memberikan gambaran tentang bagaimana tinggi besar dan kuatnya si Bima. Juga hebatnya Arjuna dan saudara kembar mereka Nakula dan Sadewa.

Akhirnya cerita masuk ke perang dahsyat yang mempertemukan dua keluarga besar Pandawa dan Kurawa. Tidak hanya melibatkan dua keluarga itu saja bahkan mengajak orang lain yang tidak tahu persoalannya untuk terlibat dalam perang itu.

Saking serunya, saya mulai melenceng alur cerita perang Bharatayuda ke cerita yang lain. Saya gambarkan bahwa bersitegangnya Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini, mirip sekali dengan cerita perang Bharatayuda itu. Perang saudara yang membawa banyak petaka bagi mereka yang tidak tahu menahu. Akhirnya terbuka juga catatan sejarah bangsa tahun 1960an tentang pidato Presiden Soekarno untuk Mengganyang Malaysia.

Entah karena cerita saya yang menarik, atau anak saya takut dimarahi kalau tidak memperhatikan, akhirnya cerita tutur tinular yang hampir satu jam itu selesai juga dengan kesimpulan akhir bahwa Pendawa memenangkan perang atas saudaranya Kurawa.

Jadi nak” demikian pesan saya, “Dalam kehidupan ini berkacalah pada pengorbanan Pendawa. Pada akhirnya, kebaikan selalu mengalahkan keburukan”
Belum cukup wejangan itu, dengan suara yang dalam (biar kedengaran lebih berwibawa) saya tambahkan lagi,
“Nah sekarang kamu tahu, bagaimana perang saudara itu terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh Pendawa?”

Setelah lama diam, anak saya mulai angkat bicara “Jadi kalau menurut Ayah, Indonesia ini termasuk yang Pendawa atau Kurawa?”

Pleng ! Sebuah pertanyaan yang tidak berada dalam radar saya akan dipertanyakan dan jawabannya sudah jelas tidak ditemukan dalam buku setebal Mahabharata itu. Ternyata perhatian dia lebih kepada apa yang terjadi di depan mata, ketimbang cerita atau dongeng yang saya ceritakan tadi. Walah… masuk yang mana kita ini? Benarkah kita ini dipenuhi dengan kebaikan? Atau malah penuh dilumuri dengan kesalahan? Kok saya jadi ragu untuk memberi label bahwa Indonesia dalam perang Bharatayuda itu adalah Pendawa sementara Malaysia-lah yang Kurawanya.

“Ya sudahlah bobok dulu, besok kita lanjutkan lagi ceritanya” saya katakan untuk mengalihkan perhatian karena saya juga bingung harus menjawab yang mana: Pendawa atau Kurawa? (Prahoro Nurtjahyo, 10 Maret 2005)

Tuesday, March 01, 2005

Masyarakat Intelek yang Tidak Intelektual

Masyarakat kita bukan masyarakat pembaca. Itulah kesimpulan saya. Apa akibatnya ? Yang jelas, karena bukan pembaca yang baik, masyarakat kita mudah sekali menjadi pelupa. Lupa kalau pernah dibodohi. Lupa kalau pernah diambil hak-haknya. Lupa akan pokok-pokok masalah yang pernah terjadi. Dan masih banyak lupa yang lainnya lagi. Karena sudah sangat umum, kondisi yang tampak transparan di permukaan ini, dikhawatirkan (atau bahkan sudah?) menjadi pelecehan intelektual oleh berbagai kepentingan. Karena sifat yang pelupa ini pula, seringkali disalahartikan bahwa masyarakat kita ini dianggap sebagai masyarakat pemaaf. Benarkah? Wallahualam.

Dua hari yang lalu, sahabat dekat saya mengirim berita tentang akan adanya pergantian kepemimpinan di salah satu badan hukum pemerintah yang berkaitan erat dengan industri minyak dan gas bumi. Semula saya tidak terlalu tertarik untuk menanggapi, sudah jenuh, karena permainan yang ada di level atas di negara ini sudah jelas produk akhirnya. Kejadian-kejadian yang muncul dalam publikasi media masa hanyalah sebuah alat untuk mencari legitimasi yang kadang-kadang, maaf, menurunkan derajat nilai kemanusiaan. Menganggap bodoh semua pembacanya. Setelah menyimak lebih dalam, ternyata menggelitik saya untuk terus mencari sumber berita yang berkaitan dengan suksesi itu.

Saya sebenarnya tidak perlu kaget dengan kenyataan yang ada. Sejak SBY naik tahta, dunia MIGAS Indonesia mudah untuk diprediksi akan kemana larinya. Namun tetap saja, tontonan ini membikin hati saya jadi kecut juga. Khususnya yang berkaitan dengan pergantian pucuk pimpinan di lembaga beken badan hukum milik Negara yang berkaitan dengan industri minyak dan gas ini. Apalagi ada statement yang muncul di berita yang menyebutkan “…. disetujui secara aklamasi oleh DPR”. Wow… apa tidak salah cetak itu berita? Aklamasi? Ini jabatan ketua RT atau ketua institusi bergengsi? Semudah itukah aklamasi? Apa sih kerjaan DPR ini? Inikah suara IATMI? Bagaimana komuniti intelektual perminyakan Indonesia? Inikah solusi terbaik yang bisa diajukan?

Saya tidak mempertanyakan kapasitas orang per orang, kandidat per kandidat karena memang bukan maksud dari oret-oretan ini dituliskan. Dan tidak pula maksud tulisan ini untuk menghujat atau sejenisnya. Jauh dari itu niatannya. Saya ingin melihat spectrum yang lebih luas dari sebuah lembaga yang diharapkan suatu saat nanti dapat diperhitungkan dalam kancah persaingan baik itu di regional asia tenggara maupun dunia. Bukan seperti seekor singa yang mengaum lantang tapi hanya di kandang saja.

Kita memerlukan sebuah paradigma baru. Untuk menentukan seseorang masuk dalam kotak kekuasaan artinya memerlukan kekuatan penuh untuk mengontrolnya. Selain nurani yang bersangkutan, masyarakat ilmiah-lah yang harus ikut mengontrolnya. Dalam dunia masyarakat yang berpendidikan, harus ada kesetimbangan antara yang memimpin dan yang dipimpin. Jangan coba-coba memimpin dengan pengetahuan yang pas-pasan. Bisa dibayangkan jika pemimpinnya tidak kompeten dan sak penake dewe (se enak udelnya sendiri) sementara masyarakat ilmiahnya juga diam saja. Ya..inilah potret kita, masyarakat kita, bangsa kita. Dalam masyarakat Jawa dikenal sebutan “Tumbu oleh Tutup” yang dalam konteks ini artinya sama saja antara pemimpin dengan yang dipimpin. Jadi slogannya, mari bodoh bersama-sama.

Kita memerlukan ketua yang mempunyai visi ke depan, bukan hanya sekedar tukang omong dan kenyang pengalaman menduduki jabatan struktural. Ketua harus mempunyai sandaran vertikal yang kuat, mempunyai pengetahuan terhadap bidangnya, amanah terhadap jabatannya, berani mengambil resiko, jujur, mempunyai integritas, konsisten, dan memberi tauladan yang baik kepada masyarakat disekitarnya. “Wah susah sekali dong mencari orang seperti ini?” Iya memang. Jangan jadi ketua kalau hanya berbekal pas-pasan saja. Saya masih beranggapan, bahwa seorang pemimpin adalah unik. Dia memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Set up sudah digariskan dari awal. Sesuatu yang tidak dapat diperoleh di bangku sekolah, tetapi muncul dari ego manusia yang paling mendasar. Ego yang menuntun manusia untuk kembali ke nurani bahwa kita hidup hanya sementara dan bertugas untuk melakukan fungsi sebaik mungkin tanpa melanggar sunatullah (hukum alam).

Benarkah masyarakat kita ini masyarakat pemaaf? Saya kok lebih melihat kenyataan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sengaja di”maintain” kebodohannya, dimatikan saraf kecerdasannya dan disuburkan mental penurut dan nrimonya. Dan phenomena ini berlaku secara universal di lingkungan masyarakat kita, baik itu yang sudah mengenyam pendidikan tinggi atau yang tidak mengenyam sama sekali. Masyarakat ilmiahpun hanya diam saja, atau paling banter hanya ngedumel. Selebihnya nrimo. Nah… budaya nrimo ini yang dimanfaatkan oleh sebagian orang. “Ah…paling hanya beberapa bulan saja komplainnya, habis itu mereka lupa dan menurut saja” atau lebih celaka lagi “Ah paling yang komplain si itu-itu juga, yang lain khan nggak komplain”. Artinya apa, diamnya masyarakat selalu diartikan sebagai bentuk persetujuan dari tindakan atau keputusan para pemegang kekuasan. Memangnya para wakil rakyat dan pemegang kekuasaan ini dilahirkan dimana? Di kutub? Masa tidak tahu budaya masyarakatnya sendiri? Janganlah membodohi masyarakat sendiri, bangsa sendiri. Kalau mau pintar, mari pinter bareng-bareng. Wong maunya bodoh kok mengajak teman yang lain.

Sadar atau tidak, kita adalah para pelaku sejarah. Semua sepak terjang kita selalu terekam dalam catatan sejarah bangsa. Dan saya yakin, masyarakat kita akan menjadi masyarakat pembaca suatu saat. Kelak sejarah akan bercerita kembali apa saja yang pernah kita lakukan terhadap bangsa ini.
(Prahoro Nurtjahyo, 1 Maret 2005)