Thursday, March 10, 2005

Perang Saudara

Kehidupan pekerjaan dan kota ini telah menjauhkan kebiasaan saya berkumpul dengan keluarga. Tidaklah terlalu berlebihan jika akhirnya saya berusaha untuk meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak saya yang paling besar, laki-laki berusia 10 tahun. Saya mencari bahan cerita yang asyik untuk diperbincangkan. Saya mulai membuka buku cerita Babat Tanah Jawi, Ramayana dan akhirnya berhenti pada Mahabharata. Dari serial Mahabarata, saya ambil bagian yang paling seru yaitu perang Bharatayuda.

Ayah mempunyai cerita epic yang seru”, demikian kata saya kepada dia weekend yang lalu. “Apa itu ayah?” katanya riang. Menurut dia, cerita seru apa yang dapat mengalahkan Yu-GiOh, Pokemon atau kartun sejenisnya produk dari Jepang?

Saya ambil bagian depan dari Mahabharata untuk mengambil setting cerita tentang tempat, masyarakat, sampai terpeciknya akar permasalahan terjadinya perang itu.

Dengan berapi-api saya bercerita kepada anak saya tentang siapa saja yang berada di pihak Kurawa, mengapa dia ada di Kurawa, apa tendensinya, apa kesaktian dari para pendukungnya, seperti Resi Durna, Resi Bisma, Prabu Salya, dll. Di sisi lain, untuk mengimbangi, saya juga menceritakan kehidupan Pendawa yang dikuyo-kuyo oleh Kurawa karena dicurangi dalam permainan dadu yang menjadikan istana sebagai taruhannya. Tidak lupa memberikan gambaran tentang bagaimana tinggi besar dan kuatnya si Bima. Juga hebatnya Arjuna dan saudara kembar mereka Nakula dan Sadewa.

Akhirnya cerita masuk ke perang dahsyat yang mempertemukan dua keluarga besar Pandawa dan Kurawa. Tidak hanya melibatkan dua keluarga itu saja bahkan mengajak orang lain yang tidak tahu persoalannya untuk terlibat dalam perang itu.

Saking serunya, saya mulai melenceng alur cerita perang Bharatayuda ke cerita yang lain. Saya gambarkan bahwa bersitegangnya Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini, mirip sekali dengan cerita perang Bharatayuda itu. Perang saudara yang membawa banyak petaka bagi mereka yang tidak tahu menahu. Akhirnya terbuka juga catatan sejarah bangsa tahun 1960an tentang pidato Presiden Soekarno untuk Mengganyang Malaysia.

Entah karena cerita saya yang menarik, atau anak saya takut dimarahi kalau tidak memperhatikan, akhirnya cerita tutur tinular yang hampir satu jam itu selesai juga dengan kesimpulan akhir bahwa Pendawa memenangkan perang atas saudaranya Kurawa.

Jadi nak” demikian pesan saya, “Dalam kehidupan ini berkacalah pada pengorbanan Pendawa. Pada akhirnya, kebaikan selalu mengalahkan keburukan”
Belum cukup wejangan itu, dengan suara yang dalam (biar kedengaran lebih berwibawa) saya tambahkan lagi,
“Nah sekarang kamu tahu, bagaimana perang saudara itu terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh Pendawa?”

Setelah lama diam, anak saya mulai angkat bicara “Jadi kalau menurut Ayah, Indonesia ini termasuk yang Pendawa atau Kurawa?”

Pleng ! Sebuah pertanyaan yang tidak berada dalam radar saya akan dipertanyakan dan jawabannya sudah jelas tidak ditemukan dalam buku setebal Mahabharata itu. Ternyata perhatian dia lebih kepada apa yang terjadi di depan mata, ketimbang cerita atau dongeng yang saya ceritakan tadi. Walah… masuk yang mana kita ini? Benarkah kita ini dipenuhi dengan kebaikan? Atau malah penuh dilumuri dengan kesalahan? Kok saya jadi ragu untuk memberi label bahwa Indonesia dalam perang Bharatayuda itu adalah Pendawa sementara Malaysia-lah yang Kurawanya.

“Ya sudahlah bobok dulu, besok kita lanjutkan lagi ceritanya” saya katakan untuk mengalihkan perhatian karena saya juga bingung harus menjawab yang mana: Pendawa atau Kurawa? (Prahoro Nurtjahyo, 10 Maret 2005)

No comments: