Monday, December 25, 2006

Pantat versus Lengan

Bagi beberapa orang, bermain ice skating tidak berbeda jauh dengan bermain sepatu roda atau Roller Blade. Bagi saya, yang belum pernah main sepatu roda (ataupun Roller Blade), olah raga jenis ini lebih menakutkan ketimbang olah raga fisik yang lain. Tinju atau gulat, misalnya.

Setahun yang lalu, ketika anak-anak kami mulai mengenal olah raga jenis ini, saya masih sempat menghindar karena alasan menjaga anak saya yang paling bontot. Waktu itu, hanya istri dan dua anak saya saja yang menikmatinya. Mereka terlihat sangat enjoy dengan permainan ini. Apalagi istri saya. Meskipun, sudah tidak terhitung berapa kali si doi jatuh di ice rink. Saya yang hanya melihat saja sudah ngeri apalagi kalau disuruh mencobanya. Maka lengkaplah tekad saya waktu itu untuk tidak mau ikut dalam rombongan ice skating setiap kali mereka-mereka ini bermain. “Nanti saja lain kali…“ kalimat itu yang sering saya sampaikan ke anak-anak.




Tahun ini, alasan itu sudah tidak mempan lagi. Apalagi argumentasi saya dapat dipatahkan dengan value yang sedang kami bangun di rumah kami, commitment untuk bersama-sama. Maka dengan limited training dari anak saya yang paling besar, “Kiri-kanan Kiri-kanan lurus…..” saya akhirnya memutuskan untuk berani masuk juga ke ice rink itu. Dan ini adalah pertama kali saya mencoba bermain ice skating dalam hidup saya. Tidak melalui instruktur beneran atau training dengan sepatu roda atau roller blade terlebih dulu, tetapi langsung bermain di ice rink. Edan khan?

Begitu masuk ke ice rink, segala macam umpatan langsung keluar dari dalam hati. Ingin rasanya saya cubit mulut yang nyerocos katanya “kiri-kanan…kiri-kanan lurus”. Enak saja si instruktur bilang kiri-kanan kiri kanan. Jangankan untuk diarahkan ke kiri atau ke kanan, lha wong untuk membikin berdiri setimbang saja, susahnya minta ampun. Sudah saya niatkan di otak untuk melangkahkan kaki sebelah kiri, tetapi yang terjadi bukannya terangkat melainkan membuat kaki kanan dan kaki kiri saling menjauh sehingga membentuk huruf V yang lebar. Karena jarak kaki kiri dan kanan semakin menjauh, maka jatuh adalah sebuah konsekuensi logis yang harus dibayar. Jatuhpun ada dua kemungkinan. Pertama, jatuh dengan posisi ke depan. Artinya nyungsep dengan muka terlebih dulu. Kedua, jatuh ke belakang dengan pantat terlebih dahulu.

Bersyukurlah kita manusia mempunyai pantat. Meskipun posisi pantat berdekatan dengan hal-hal yang membikin pusing terutama karena bau yang ditimbulkannya, tetapi keberadaan pantat sebagai bumper sangat menolong manusia terutama kalau pas jatuh. Meskipun semuanya tergantung kasus per kasus, tetapi posisi jatuh dengan menempatkan pantat terlebih dahulu adalah relative lebih aman daripada jatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu atau organ tubuh yang lain.

Entah karena argumentasi seperti ini atau hanya karena nalar saja, anak saya memberi nasehat, “Ayah....kalau jatuh…pantat dulu”. Sebagai orang yang awam, saya ikuti saja nasehat anak saya ini. Saya sudah ngeri duluan kalau jatuhnya kena bagian muka. Dengan tekad maju-tak-gentar pantang-mundur, saya masuk lagi ke ice rink dan sudah belasan kali saya terjatuh dengan posisi pantat terlebih dahulu. Aman..... :-)

Kalau anda percaya akan suratan takdir, maka itulah yang terjadi pada saya. Detik-detik itupun sudah menunggu. Ternyata banyak sekali yang harus saya hafalkan selain kiri-kanan kiri-kanan lurus. Diantaranya adalah posisi badan yang agak membungkuk, cara menggerakan kaki side sliding, cara jatuh dan masih seabreg teori yang lain. Dapat anda bayangkan, ketika pertama masuk ke ice rink, kepala saya penuh dengan segala tetek bengek hafalan itu.

Tak terhitung sudah berapa putaran saya mengitari ice rink itu. Tiba-tiba saya terpelanting karena posisi kaki yang miring dan terjatuh dengan menempatkan lengan tangan sebelah kanan berada di bawah. Boom..... Ala mak...suakitnya...... :-(. Ingin saya memaki itu pantat ”Kemana saja kamu? Pas jatuh kok lengan yang ditaruh di bawah?” Ya.... saya pikir bukan salah dia juga. Kalau pantat itu bisa jawab, pasti dia akan membela diri sambil bilang, ”Memangnya saya diciptakan hanya untuk emergency jatuh? Sudah untung sampeyan yang kena hanya lengan...khan syaratnya nggak mau kena bagian muka” :-) Akhirnya saya minggir sambil nyengir kesakitan diikuti dua anak saya yang cengengesan.

Sampai tulisan ini saya upload, lengan kanan masih terasa ngilu. Ternyata, teori apa saja yang kita pelajari, kalau sudah berada di real lapangan, maka yang sangat menentukan adalah hukum alam dan naluri si manusia itu. Kalau untuk jatuh dengan milih pantat saja masih susah, maka saya sarankan jangan coba-coba masuk ke ice rink.

Tidak ada itu teori ”kiri-kanan kiri-kanan lurus” untuk bermain ice skating. Teori saya setahun yang lalu ternyata lebih ampuh dan masih valid sampai sekarang. Ketika itu saya katakan kepada anak-anak saya, ”Kalau masih mau main ice skating, jatuh is OK. Kalau nangis, balikin sepatunya, kita pulang saja and no more Ice Skating.” So far, the theory works very well. Nobody’s crying and go home with happy and funny story (even though one goes home with gritting his teeth due to a swollen shoulder). (Prahoro Nurtjahyo, Senin, 25 Desember 2006)

Somerville: a Giant Steak ..... (New Picture)

If this Medium Sirloin Steak (above) comes with two pieces, can you imagine what the size for Super Large Sirloin Steak is?

What do you know about Texas? There are two things that come up in our mind when people mention about Texas. First is about the jargon “Bigger is Better”. Second is about the cowboy. (Not to mention about Southern accent, Oil resources, Hurricane, etc). Cowboy will bring the thoughts into live stock, desert and a special meat, steak.

Last week of December 2006, we went to Somerville, about 20 miles west of College Station, Texas. This time, we departed from many places, i.e. College Station, Houston, Woodlands, Katy, and Buenos Aires, Argentina. Friends and relatives congregated with the total of 12 families (25 adults and 15 kids) took pleasure in such a moment.

What is so special about Somerville? This small town is nothing but a quite town. If you’ve ever watched the new movie of Pixar “Cars” in route 66, so you may have an imagination about the town. Well not exactly like that, it just gave you an idea how the town looks like. Somerville may be a bit crowded compared with the movie.

There is a special place in this town called Country Inn Restaurant that served beef steak with a giant size. They have an option starting from 8 oz to 20 oz beef with many type of steak, T-Bone or Sirloin, or you named it. It is fresh meat. If you are not a devotee of steak, they also served other menu. I am not promoting beef steak and, believe me, I am not part of the marketing member of the Country Inn Restaurant in Somerville. You say what you see. You scream what you feel.

I wish I could have a complete picture of these events. Our Guru, bang Zul, has it. You may also ask his opinion about the place. Or, if you reside outside Texas, you may ask mbak Nunuk and mas Rinto who deliberately joined our field trips from Buenos Aires, Argentina. Gracias! (Prahoro Nurtjahyo, Monday, 25 December 2006)


Our special guest from Argentina (mas Rinto and mbak Nunuk) who feels full already after seeing the size of the steak.


This new couple (Buyung and Anis) has shared everything, including one plate of a medium sized T-Bone steak.

The Putras Family's waiting their order.

Happy family.


Eat whatever you have ordered. That's good attitude :-)

Our Gurus enjoy their first order.

This was their first time visited this place. How can he claim as an Aggies?

Having a right partner is very important to finish your order.

Having a right partner is very important to finish your order (cont'd)

Next time, Super Large Sirloin.......
As long as this lady is still around, do not think too much whether you can finish your order or not :-)


Come on Kids ! .......You need a good protein source.

Tuesday, December 19, 2006

It was also Our Home


One of our colleagues invited us for their farewell "party". Well... it's not a farewell farewell, but it is merely about moving from an old place to a new place. I can still see and meet them every week at the new place, but that is not the point I like to raise in this short story.

For some people, house is just a house, the place to keep warm or cold depending on the weather. I could understand how difficult the moving processes are for some people (including me, probably). I should learn a lot from them about their decisions to “leave” the house. That is not an easy decision. Believe me, it is not. But, that is about life, my friend. Just like a traveling wave, sometimes up and down, back and forth. You can not just stop in the middle, you have to go further and keep writing a new history of life.

The years I knew them are nothing compared with the memory that the house could tell.

For you my “Buddies”, Erwin and Dewi, that place is not only yours (well technically it’s yours, you are the one who paid the mortgage and all bills :-) , but in spirit, it is also ours. Don’t care with other people said. For us, that is not just a house. That is our home. The house has something special for us, in fact to all of us. Hurricane Rita said Amen to that. Our sisters and brothers, who have been at Texas A&M, would love to support the statement. Faris (Willy)’s childhood was there. What else? O..ya… The place we could stay and welcomed us anytime we visited this small town. There is no way to just wipe so many memories off that were built along with the house. Could you? Would you? I wish I could write a long story about the house but it were too many, my friend. Too many....

You may say this story express my personal sentiments. As a friend, whatever the decision you have chosen, I believe it comes after so many deliberations and iterations. Nothing I can do but pray and support. May Allah bless your decision and make your new house as a new home to continue your next journey. (Prahoro Nurtjahyo, Tuesday, 19 December 2006)

Monday, December 18, 2006

Ketika Saya Menjadi Dalang

Karena masa tugas yang sudah selesai, seorang teman akan kembali ke tanah air dan mewariskan 7 wayang kulit kepada saya. Ueedan tenan! Saya yang setiap kali mau nitip teman dari tanah air untuk membawa satu wayang saja masih malu-malu untuk bilang, eee...lha..ndilalah... tiba-tiba sekarang malah dapat gratis. Tujuh wayang lagi! Apalagi semuanya adalah para jawara dari golongan putih. Dengan berlagak seperti seorang Ustad kondang, saya katakan kepada Istri saya ”Rejeki itu datangnya memang tidak dapat diduga darimana asalnya!” Istri saya hanya manggut-manggut sambil berguman, ” Iya..iya...”.


Dengan sedikit perbaikan pada bagian ujung Wayang yang sudah mulai mleyot kulitnya dan mengencangkan kembali beberapa tali yang kendor, saya mulai bercerita kepada anak-anak saya tentang aturan dari wayang kulit, bagaimana harus merawatnya, apa saja komponen dari pertunjukan wayang kulit (Dalang, Niyogo, Petabuh Gamelan dan Wayang kulit itu sendiri) dan lain-lain. Karena hanya ada tujuh wayang kulit, maka saya ambil satu per satu dan saya perkenalkan ke anak-anak saya. Mulai dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Kresna dan yang terakhir Gatot Kaca. Tidak puas hanya dengan perkenalan saja, anak-anak meminta kepada saya untuk memainkannya. Walah...walah.... Mau berkelit dengan segala alasan, akhirnya sayapun menyerah dan harus memainkannya juga. Demi sebuah komitmen :-)
Pakai celana pendek dan kaos oblong, saya pegang si Wayang Kulit itu. ”E..Ayah... kok pakai celana pendek?” Kata anak saya laki-laki yang paling besar protes. ”Oiya... lupa....” saya termakan oleh omongan saya sendiri tentang aturan dari wayang kulit ini. Karena tidak ada kain panjang, beskap, keris dan blangkon, akhirnya malam itupun saya dapuk (baca: berperan) menjadi Dalang dengan memakai sarung (pengganti kain panjang), jas (pengganti beskap), sendok sayur (pengganti Keris) dan kopyah sholat (sebagai penganti blangkon). Aduhhh... ini kalau ada tamu datang, pasti mengira keluarga kami ini keluarga edan karena dandanan kepala keluarganya yang acak-acakan. Beruntunglah sampeyan tidak bertamu ke rumah saya pada malam itu..... :-).

Dengan duduk mantap sambil bersila menghadap tembok ditambah sinar lampu yang remang-remang, maka mulailah pertunjukan Wayang Kulit di rumah saya (dan sudah barang tentu, sayalah Dalangnya). Sambil berusaha untuk bersuara merdu sebisanya, pertunjukan malam itu dimulai dengan kalimat ”Langit kelap kelip.........(saya pukuli karton dengan kaki saya sebelah kiri 4 kali, karena posisi duduk saya yang bersila, sehingga keluar bunyi...dok--dok--dok--dok) Angin sigro milir...wooooo.....” Anak-anak saya cekikikan mendengar suara saya. Sambil menoleh kebelakang saya bilang,” Wus... nggak boleh ngomong kalau Dalangnya lagi khusyuk.. ok?” Anak saya diam meski dengan terpaksa..karena wajahnya masih menahan tawa. Sekarang giliran Istri saya yang cengengesan dan lari ke dapur sebelum tertawa ngakak. Wah susah memang kalau satu keluarga isinya pelawak semua.

 
Karena semua tokoh Wayang Kulit yang saya punya adalah laki-laki dan semuanya dari golongan putih, maka saya kebingungan memilih lakonnya. Apalagi untuk mengimbangi cerita-cerita Cartoon Jepang yang sekarang lagi nge-top, seperti Pokemon, Dragon Ball-Z, dan lain-lain. Karena tidak ketemu, akhirnya saya ngawur memilih cerita yang sudah tentu tidak ada dalam pakem cerita perdalangan. Beberapa lakon kami mainkan, diantaranya adalah perang saudara kembar antara Nakula dan Sadewa, Bima berantem melawan Arjuna. Untuk mengikuti selera penonton, akhirnya saya menjadi dalang paling sadis dalam sejarah perdalangan.  


Bagaimana tidak? Untuk semua episode pertunjukan, dari awal sampai akhir saya memainkan adegan perang terus. Kalau tangan kiri saya memegang wayang kulitnya Arjuna, maka tangan kanan saya langsung pegang Bima. Karena keduanya sama-sama saktinya dan kekuatannya yang berimbang. Kalau Yudhistira berada pada tangan saya yang sebelah kiri, maka dengan cepat tangan kanan saya menyambar Kresna. Hanya Gatot Kaca saja yang jarang terambil wayangnya. Maklum, semua kharakter wayang yang ada adalah paman-pamannya. Jadi kalau ikut keluar, bahasanya nggak bahasa Gaul lagi Ember :-). Pernah sesekali saya keluarkan Gatot Kaca, langsung disemprot oleh paman-pamannya, ”Diam kamu anak kecil. Ayo kembali lagi ke kotak sana.” :-)

Diakhir pertunjukan Wayang yang hanya berdurasi 15 menit itu, anak saya laki-laki yang rambutnya ikal langsung berdiri dan tepuk tangan. ”Horee....”. Anak-anak saya berkomentar, ”Wah seru ceritanya... apalagi kalau si Bima sudah mengamuk”. Karena tidak ada Guidance cerita yang jelas, tiba-tiba saya berlaku kejam dengan memainkan lakon berperangnya Bima dan Arjuna (Yang memang dalam lakon wayang tidak pernah terjadi). Bima yang seharusnya melindungi adiknya, karena Dalang sontoloyo ini berubah menjadi tokoh yang adigang adigung mentang-mentang berbadan besar dan berotot. Inilah kesalahan saya sebagai seorang dalang. Ternyata, apapun bentuk cerita yang disodorkan, itulah yang akan termakan oleh para penonton. Karena saya tawarkan cerita perang, maka perang seolah merupakan bentuk solusi yang paling laris untuk setiap kali perselisihan. Too Bad..

Saya menyesal juga dengan kejadian malam itu. Nasi sudah menjadi bubur. Adalah bentuk ignorance yang amat sangat dengan mengangkat cerita semu demi mengikuti selera penonton. Kaki saya yang mulai kesemutan karena duduk bersila segera memutar badan, sambil berkata,”Sekarang sudah malam, Dalangnya mau pipis, lain kali diteruskan lagi”. Sambil ngedumel anak-anak berkata,”Ok..”. Dalam hati saya berpikir keras bagaimana caranya untuk mengembalikan persepsi mereka tentang sosok Bima atau Arjuna. Wah..homework lagi jadinya... :-(


Saya tahu persis bahwa aturan Wayang Kulit sangat njlimet dan banyak cerita klenik dibelakangnya. Lha wong bonek...sudah tahu diluar pakem-pun disikat saja. Untuk mengeliminasi kesalahan berikutnya, sayapun berharap mempunyai koleksi yang lengkap dari wayang kulit ini. Paling tidak, ini akan membantu saya untuk bermain sesuai dengan pakemnya. Wah kalau sampai Ki Dalang NartoSabdo atau Pak Manteb mengetahui saya memainkan lakon yang diluar pakem perwayangan, sudah pasti saya kena kutukan tujuh turunan. Sorry ...Pak Manteb.... demi memenuhi permintaan anak-anak :-)


(Terima kasih buat mas Meizarwin, mbak Fifi, Nabila dan Reyhan atas wayang kulitnya. Sukses selalu. Selamat jalan dan bertemu lagi dilain kesempatan............. Prahoro Nurtjahyo, Senin, 18 Desember 2006)

Thursday, December 14, 2006

Mantra Poligami

Berita tentang Poligami semakin merebak ke seluruh sendi-sendi masyarakat. Tidak lagi menjadi dominasi para Ibu saja, tetapi para Bapakpun masuk dalam diskusi yang semakin membingungkan karena ditabrak dari kiri dan kanan.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berikut saya dapatkan Mantra Poligami dari mbah dukun kampung (milist) sebelah buat teman-teman yang ingin mencoba-coba. Kata mbah dukun, setiap orang (baik suami maupun istri) dapat mengamalkan Mantra ini. Akan lebih afdol kalau dibaca sehari 33 kali sambil minum air kembang. Kalau mencari air kembang susah, bisa juga pakai air teh…hanya saja khasiatnya kurang ampuh dan sedikit agak lama hasilnya. Tapi nggak apa..apa...... Silahkan mencoba mantra ini. Dijamin halal (kata si dukun) :-)






(Prahoro Nurtjahyo, Kamis, 14 December 2006)

Mantra Poligami
(buat suami)

Istriku,
Jika engkau bumi, akulah matahari
Aku menyinari kamu
Kamu mengharapkan aku
Ingatlah bahtera yg kita kayuh, begitu penuh riak gelombang
Aku tetap menyinari bumi, hingga kadang bumi pun silau
Lantas aku ingat satu hal
Bahwa Tuhan mencipta bukan hanya bumi,
ada planet lain yg juga mengharap aku sinari
Jadi..Relakanlah aku menyinari planet lain,
menebar sinarku
Menyampaikan faedah adanya aku,
karna sudah kodrati
dan Tuhan pun tak marah...


Mantra Poligami
(buat istri)

Suamiku,
Bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya
Aku rela kau berikan sinarmu
kepada segala planet yg pernah Tuhan ciptakan
karna mereka juga seperti aku butuh penyinaran
dan akupun juga tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu
AKAN TETAPIIIIIIII. .......
Bila kau hanya sejengkal lilin yg berkekuatan 5 watt,
jangan bermimpi menyinari planet lain!!!
Karena kamar kita yang kecil pun belum sanggup kau terangi
Bercerminlah pada kaca di sudut kamar kita,
di tengah remang-remang
Pencahayaanmu yang telah aku mengerti untuk tetap menguak mata
Coba liat siapa dirimu... MENTARI atau lilin?



(Seperti yang pernah ditulis oleh Ramad Canglae Daulay di milist its, tanggal 14 Desember 2006)

Friday, December 08, 2006

In My Dream

Have you had a chance to read Iranian president’s open letter to American citizens? If you have not, take a couple minutes to read it. It’s only 5 pages. As many Americans react to his letter (which is good, it means they read it), this is how to start a communication with US at the same dimension. You can guess that does end up with Pro and Con about the letter, besides both countries have been tied with not-good relationship back in 1979.

One of the comments cynically mentioned “How dare he, evil, give a lecture to our country”. Other said, “That would be a good approach to talk about the different views”, and so on, and so fourth. I am not on neither side of the controversy. The things can happen from many angles of view. People (leader, especially) around the world should take this as a lesson learned process. While many things can be explored and studied, the true truth is a universal value. Deep down in everybody’s heart will agree that every single human being in this planet deserves equal justice.

To reveal the truth, only a true leader can do it. A fake leader does not even know how to start with. This is the value of leadership. You may disagree with it but there is no such university in the world that guarantees their program can produce a true leader. Not even Harvard, Yale or MIT. To me, a true leader is born with a skill. The skill is very unique that can not be taught in formal educational institution. One thing that I would like to highlight here, True Leader is not a monopoly or belongs to a certain region. It does not matter whether s/he is born in Asia, Africa or America, or s/he studies in Harvard University or Bangladesh University. As long as s/he has values in her/his way of life and strives to meet the values, then s/he is the chosen one with kind of great quality person. It sounds simple, but nowadays, a true leader is an extinct “animal”. You may not find one in a billion people or even in the next two generations. Why? Is Gifted and Talented person really vanished? (Sigh)…Don’t know.

Having higher education does not make an automatic impact becoming a leader. These two variables are independent each other. But, having knowledge will protect us from being bullied or driven by someone else. In that sense, leader with full of knowledge will be more valuable than those who have without it. That draws a bold line of distinction between a true leader and an ordinary leader.

I do not personally know who Iranian President is. And, I can guarantee you that I do not have any relationship with him whatsoever in any ways. The thing is “If the truth comes out from two different people (an ugly man and a handsome man), will it change the essence?” Again, when we claim that we live in a civilized society why we don’t act like one.

I am who I am. ”Once in my life, I’d like to do something that gives benefit to our society. Once? Yes, just once, then I can rest in peace and bring a smile face on my death bed.” May Allah bless what I have been asking for and giving strength to fulfill this long-term commitment. Amen. (Prahoro Nurtjahyo, Friday, 8 December 2006)

Tuesday, December 05, 2006

Jangan Suka Mengolok

Dua belas tahun yang lalu, Ibu mertua saya pernah bertanya yang sebenarnya mengarah pada sebuah wanti-wanti (baca: warning) ke saya, “Nak…Kalau ada seorang laki-laki kawin lagi..apa sih yang dicari? Apakah mencari yang modelnya melintang?” :-) Waduh…Mimpi apa saya ini semalam, kok mendapat serangan pamali seperti ini? Inikah salah satu bentuk kasih sayang seorang ibu untuk mem-proteksi anak perempuannya? Every mother will do the same thing.

Saya sebenarnya mau menjawab, “Lho Bu itu khan Sunnah Rosul”, tapi tidak jadi saya teruskan karena saya sudah tahu apa jawaban balik dari Ibu mertua saya nantinya, “Sunnah Rosul kok yang diambil bagian poligami-nya saja?” Dalam hitungan detik, ada “wangsit” yang membisiki otak saya dan langsung saya transfer ke mulut, “Lha iya ya Bu… kalau ngomong masalah model, sebenarnya itu ada berapa model?” Kalau anda sedang bermain catur, ini adalah Skak Mat. Yang saya peroleh bukan jawaban balik, tetapi mata Ibu mertua saya yang melotot :-) Oo.. Dasar menantu bonek!

Sewaktu saya masih kanak-kanak, Ibu saya kerap sekali mengingatkan kami anak-anaknya untuk jangan suka alok (bahasa jawa) yaitu suka mengolok ketika melihat hal-hal yang tidak pantas yang dilakukan oleh seseorang. ”Cepat Istighfar dan bilang Naudzubillahimindzalik”. Berangkat dari sebuah logika yang sederhana. Bisa jadi karena kita bukan pada posisi yang bersangkutan sehingga dapat dengan lancar dan lincah lidah kita untuk mengatakan, ”Kok bisa dia melakukan hal itu.....” Belum tentu kalau kesempatan itu ada pada kita, bisa jadi kita lebih heboh melakukannya. Naudzubillah.

Berita hot terakhir di tanah air tentang anggota DPR dengan penyanyi dangdut, kemudian Dai terkenal dengan janda kembang, dan masih banyak cerita hot yang lain lagi...telah pindah tempatnya menjadi ajang diskusi di rumah tangga saya. Pada saat makan malam, istri saya mempertanyakan lagi posisi hati saya (setelah 12 tahun dan beranak pinak 3?). Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu saya perlu menata strategi dan extra hati-hati. Pertama, apapun jawabannya, saya tidak ingin melukai hati pasangan hidup saya ini. Kedua, sayapun tahu bahwa dia tidak ingin memperoleh jawaban yang asal membuat hatinya tenteram saja (kalau cuman sebatas itu sih..laki-laki mah jagonya nge-gombal :-), tentu saja yang dia perlukan adalah ketulusan dalam menjawab.

Sambil menata posisi duduk saya katakan,

Saya tidak suka berandai-andai karena masih banyak urusan lain yang lebih memerlukan konsentrasi pikiran daripada sekedar berandai-andai bergoyang joget dengan penyanyi dangdut

Saya teruskan lagi,

Saya laki-laki normal dan tahu persis berapa besar batas (limit) kekuatan Iman saya untuk hal-hal yang seperti ini. Dan tentunya, janganlah kamu tanyakan dimana batas kekuatan Iman saya karena sayapun masih mencari dimana batasnya. Yang sekarang dapat saya lakukan adalah mengatakan sejujurnya apa yang ada dalam benak saya dan berdoa kepadaNya agar dijauhkan dari segala macam kesempatan (kalaupun harus ada).

“Lha.. kalau setannya lebih kuat bagaimana?” Ahh…alasan saja, suami bonek !

Malam itu, ketika kami akan tidur, saya tanyakan kembali ke istri saya, “Ada berapa model sih sebenarnya?” Jawabannya sebuah cubitan dipinggang. Sakit Euy.. :-) (Prahoro Nurtjahyo, Selasa, 5 December 2006)

Friday, December 01, 2006

Bonek

Pada awal tahun 1990an, salah seorang teman saya, seorang wartawan yang sedang menanjak karirnya, dikejar-kejar oleh persatuan Germo suatu kompleks pelacuran kelas wahid di salah satu kota terbesar di Indonesia. Si teman ini dikejar-kejar bukan karena dia “tidak bayar” (karena memang dia tidak “pakai”) tetapi disebabkan karena tulisan dia pada koran harian di mana dia bekerja mengakibatkan merosotnya “pelanggan aktif” yang rutin mendatangi komplek pelacuran itu. 

Karena hampir disetiap mencari bahan berita, kami selalu terlihat runtang-runtung berdua, maka sebagai akibatnya, sayapun ikut terkena dampak dari tulisan yang dimuat di harian kota itu dan ikut lari tungang langgang karena kejaran para Germo ini. Apes… ora melu mangan nangkane, mung keno pulute…(Tidak ikut makan buah nangkanya, tapi kena getahnya) ….
 
Saya lari bukan karena takut, tetapi karena nalar saya yang berbicara lain. Mereka-mereka pengejar ini bukanlah sekelompok orang yang dapat diajak duduk satu meja dan berdikusi menggunakan akal dan logika yang benar. Para Germo ini selalu mengedepankan argumentasi bahwa berita yang miring tentang kompleks pelacuran sangat berpotensi untuk mematikan aktifitas asap dapur yang ngebul untuk sekian ratus kepala keluarga, belum lagi buah hati dari para “bidadari malam” yang ditinggal di desa, perekonomian para tukang becak, bemo dan ojek di sekitar kompleks, dll. Diawal usia saya yang masih 20an dan lingkungan masyarakat yang Bonek (bondo nekat), itulah awal-awal tahun yang turut mengukir perjalanan hidup saya.

Sunday, November 26, 2006

Matagorda in our Memory 2006

We might have different opinions about definition. But, that's OK. I can live with that. Thanksgiving is an old fashion of the Pilgrims to express their thanks to the Native Americans. There is always a story behind it. That's what my daughter (7-yrs old) and my son (10-yrs old) told me last year.

Nowadays,
we have twisted the way celebrating thanksgiving. Since our family moved in
Houston from College Station, Texas in 2003, Thanksgiving Days means driving away from our crowded city. As a matter of fact, this is how we save our budget from Black Friday shopping (sshhhh..keep quite. Do not tell your wife about this trick. Just imagine on Friday early morning, you were standing in front of Wal-Mart or Best Buy and waiting on the long line, not to mention the cold weather. I had that kind of fun experiences before :-)

This year 2006, we decided to go to Matagorda for fishing. At least 8 families were joining us on this occasion. To accommodate our plan, we rented two vacation houses near the beach for three days. The trip took about 2 hours from
Houston going Southwest via Texas Highway 6 South, 59 South and 60 South.

What happened in
Galveston back on October 28, 2006 has set a new milestone for our new fisherman "community". Two days before we went to Matagorda, we have prepared our fishing gears following a special instruction from our Guru who resides in Woodlands. As most Indonesian's belief, in order to be Guru (baca: NOT dukun), one should live either in a cave or in a jungle/forest/wood to concentrate and enhance his knowledge :-) The Woodlands is good enough representing a forest, isn't it? The chosen one, Mister Zulkarnain Saleh a.k.a. Bang Zul (see http://pancurbatu.blogspot.com) took the lead on our fishing journey and photo documentation. We all have agreed to raise "our standard" one step above for not catching a small fish anymore :-) Our main goal is to catch The Bull Reds. What a Confidence !


Do we meet our goal? I am not the judge, but you can tell me after reading this story and seeing the following photos.

Take a bow to our Guru !
(This photo was taken by Linna)

Too bad, this was the biggest fish we caught on Thursday, November 23, 2006.
(This photo was taken by Bang Zul)


These Grilled Flounders were Yummy, that counts the aluminum foils :-)
(This photo was taken by Helmi)


Erwinsyah Putra have fought with the assumed Bulls for about 10 minutes but no luck on him this time. Someday Bro...
(This photo was taken by Bang Zul)


Our team's celebrating the caught, from left to right: Rafi and Ady Rendusara, Arcandra Tahar, Prahoro Nurtjahyo, Erwinsyah Putra, Dudi Rendusara, Bisma Pradana and Helmi Pratikno. We finally caught the Bull Reds on Friday, November 24, 2006. Helmi (the person on the far right who is wearing Sunglasses) took the credit after fighting with the Bull for almost 25 minutes. Good Job, Buddy! The length was about 40 inches and believe me, it was heavy. I could not lift the line with it for more than 20 seconds.
(This photo was taken by Bang Zul)


See how rude these people are? They kept smiling while the poor fish was crying.
(This photo was taken by Bang Zul)


You do not need to go to Hongkong Supermarket at Bellaire to clean the fish, ask anything: Fillet? Rib? T-Bone Fish Steak? Ning Linna could do it all. She easily chop the Bull's head. Ggrhh !
(This photo was taken by Bang Zul)



Wednesday, November 22, 2006

Value untuk almamater

Saya sebenarnya lebih senang untuk duduk manis dibalik bangku deretan paling belakang sambil melihat lalu lalangnya semua pertunjukan yang ada di depan saya. Geger-nya ITS akhir-akhir ini sempat menggeser posisi duduk saya untuk sedikit maju. Paling tidak dengan tulisan ini, saya memposisikan diri saya pada satu deretan lebih depan daripada posisi saya sebelumnya. Dan tentu, saya minta ijin kepada teman-teman yang duduknya paling belakang, semoga posisi baru saya ini tidak menutupi indera penglihatan anda ke depan mimbar pertunjukan.

Saya memahami ITS sebagai institusi yang berisi kaum priyayi dari kumpulan para intelektual. Artinya, keberadaan institusi ini didukung penuh oleh mereka-mereka yang berpikir secara logis dan menggunakan dalil jika-maka yang sesuai dengan nalar (nalar yang sehat tentunya). Sebagai derivatif-nya, secara otomatis sudah menjadi tugas dan tanggung jawab dari ITS untuk dapat mempertontonkan sebuah wadah yang nalar dan logis. Iya to? lha wong... isinya para intelektual je.

Maka, kalau kenyataan menunjukan hal yang sebaliknya, lembaga inteletual kok berperilaku asal-asalan, sak penake dewe, nah..ini tentunya ada beberapa komponen yang perlu dipetani (bahasa jawa, istilah yang sering dipakai untuk mencari kutu dirambut).

Disadari atau tidak, masyarakat awam diluar sana telah memberikan label kepada mahasiswa, dosen, dan alumni sebagai kelompok intelektual yang dapat dipercaya untuk memberikan pemikirannya yang ilmiah, santun dan profesional. Sangat ironi jika terjadi pengingkaran terhadap sebuah value yang diyakini kebenarannya dari sisi ilmiah. Lha kalau masyarakat ilmiahnya sudah mengorbankan value-nya, kepada siapa lagi masyarakat awam akan meletakkan harapannya? Tentu ada dari kita yang ikut menyela, ”kebenaran itu khan relatif mas....” Saya justeru ingin balik bertanya dengan statement seperti itu. Memangnya value itu merupakan fungsi dari waktu dan tempat? Kalau iya... maka tidak ada lagi yang namanya dosa. Semua tindakan akan dicarikan legitimasinya agar kalau nanti ditanya olehNya akan selesai urusannya. Ini khan sama artinya meng-akali dan mempermainkan Tuhan dengan akal-akalan manusia.

Kehidupan kegiatan kemahasiswaan selama di kampus memang ikut memberikan andil dalam membentuk pola berpikir yang cenderung untuk memainkan posisi how to survive terhadap sebuah sistem yang ditawarkan. Meskipun pada awalnya terjadi fight terhadap sistem yang baru (dimana sistem baru selalu dicurigai) tetapi kebanyakan dari kita selalu berhitung antara kekuatan lawan dan kemampuan yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah sebuah kompromi antara value yang kita pegang dengan kekuatan yang berada di luar. Big question-nya adalah seberapa besar value yang kita perjuangkan akan kita gadaikan? Argumentasi berikutnya yang jamak muncul adalah “Jangan kuatir nanti khan ada yang mengontrol pelaksanaannya”… Untuk yang satu ini, percayalah…. sekali kita menggadaikan value yang kita miliki, you are finished.

Pemilihan rektor ITS dan ketua ikatan alumni hanyalah ekses dari sebuah perjalanan panjang yang kita semua mempunyai andil dalam menciptakan sistem yang ada saat ini. Akankah kita kembali kepada nalar dan logika yang sehat? atau mencari justifikasi pembenaran terhadap apa yang sudah terlanjur kita lakukan?

Kalau logika dan nalar hanya berlaku untuk hal-hal yang sifatnya theoretical saja, maka nalar dan akal hanya berfungsi sebagai titik reference cara pandang kita. Disinilah masing-masing individu di ITS (mahasiswa, dosen dan alumni) ditantang seberapa besar effort-nya untuk mempertahankan sebuah value yang diyakini kebenarannya. (Prahoro Nurtjahyo, Rabu, 22 November 2006)

Tuesday, November 14, 2006

Old Town Spring

(Old Town Spring, Texas, November 11, 2006)
For you who like having adventure, you may try to visit a small area (sebesar RT kalau di Indonesia) named Old Town Spring and consider this place as one of your next stops. If you concern about the distance, this place is relatively close to Houston area. You take I-45 and exit 70 going to east. We visited the place last weekend and it was a very nice place to see (especially, in the evening). Here we go our team,


10 adults and 9 children wrapped together (2 kids are missing, who are they?)

Do you see Batman?

Sunday, November 05, 2006

Halal Bihalal Anak-Anak

4 November 2006, Miller Park, Eldridge Parkway.







Keluarga besar para orang tua yang anak-anaknya ikut sekolah setiap hari Sabtu di KJRI, Houston.

Sunday, October 29, 2006

A picture tells a thousand words

A picture tells a thousand words, but the untold story is still left behind :-) These photos were taken when we all celebrated our happy day (no Saturday school at KJRI). We were fishing at Seawolf Park, Galveston, Texas, on Saturday, the 28th of October 2006. 
We should bring home two big fishes if we were not too "exciting to pull it up". We broke one stick and loss the "possibility" of another big fish. It's alright, it was a great lesson learned about the rod, the bait, the net and most important thing is a lesson of law :-) One big fish is more than enough for 6 families, right? We are not a greedy type of person, are we? We will come back next time.

The big fish, called The Bull Reds, with 39 inches long is our main story. Do not know what the weight is. Probably around 50 lbs. In addition, we also caught 3 little fishes and 1 eel.
The story begins from here:


The 39 inches Bulls with us. Terlihat pada gambar di atas dari kiri ke kanan untuk para orang tua adalah Abang Helmi Pratikno, Cak Prahoro Nurtjahyo, Bang ErwinSyah Putra dan Uda Irzam. Sedang untuk anak-anak yang men-support acara ini, dari kiri ke kanan adalah Bisma, Deva, Fia (baju biru laut), Chinta, Satya dan Oliver.

 

We have to do postprocessing as shown in this photo (above). Bang Erwinsyah Putra took a lead on the postprocessing part. He cleaned the fish and... CUT it into two pieces. Now we know..... "Bro.. remember do not cut the fish"

 
Anak-anakpun tidak ingin ketinggalan. Chinta, Bisma dan Satya berpose dengan ikan.

Not only kids, orang tuapun tidak ingin ketinggalan foto dengan si ikan yang malang. Dari kiri ke kanan: Ning Linna, Deva (pakai topi biru), Fia, Bisma, Uda Irzam, Chinta, Satya dan Ning (Uni) Ima. 

Even our lawyer (Mas Alfrid) is happy with our big fish. Unfortunately, he missed the big event when we got caught by Texas Wildlife Ranger. We might use his expertise though :-) From left to right: Oliver, Fia, Chinta (with pink hat), Deva, Bisma, Mr. Alfridijanta, and Satya.

Friday, October 06, 2006

Sholat Tarawih

Kalau segala sesuatu diukur berdasarkan ukuran logika saja, maka banyak sekali kejadian yang muncul karena ketidaktahuan dari si pelaku. Dan kalau pelakunya adalah anak-anak, maka bersiaplah untuk menata hati dan bersabar. Inilah kejadian yang saya alami dengan anak saya yang paling bontot laki-laki berusia 4 tahun.

Ada ritme kegiatan rumah yang berbeda dibandingkan bulan yang lain. Pada bulan Ramadhan ini, action yang saya ambil adalah mogok dari segala tetek bengek acara lembur di Kantor. Kalau biasanya pulang setelah jam Maghrib, maka bulan ini sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah sambil ngabuburit.

Ketiga anak-anak saya paham sekali dengan scenario dadakan ini. Kebetulan dua anak saya (laki-laki 11 tahun dan perempuan 8 tahun) ikut aktif dalam puasa di siang harinya. Sehingga, by nature, mereka akan menuruti irama permainan ini tanpa harus diperintah. Dari seluruh anggota keluarga, maka yang menjadi pemain bawang dalam ritual puasa ini adalah anak saya yang paling kecil. Saya menyebutnya pemain bawang karena dia ikut dalam rombongan tetapi tidak diperhitungkan eksistensinya.

Kalau sudah waktunya berbuka puasa, dia yang nomor satu mencari tempat duduk dan paling kenceng teriaknya, “Sudah lapar….”, meskipun dia tidak ikut antrian panjang perut kosong di siang harinya. Waktu sholat Maghrib, semua kondisi masih aman terkendali, belum ada kegaduhan. Memasuki sholat Isya’, masih OK tapi sudah ada tanda-tanda dia mulai berontak. Si kecil sudah mulai gelisah setelah sholat Isya’ selesai. Nah. .puncak klimaksnya kalau sudah masuk sholat tarawih.

Dengan makmum yang hanya 4 orang, dimana mayoritas adalah anak-anak, saya yang dipercaya sebagai Imam keluarga, sudah barang tentu akan memilih surat-surat pendek. Artinya, surat yang dibaca hanya muter-muter dari Al-Ikhlas, Annas, Al-Asr dan sekelasnya yang pendek-pendek. Bukan karena sok toleransi dengan anak-anak kecil, tetapi memang banyak surat yang panjang dimana Imam sendiri belum hafal. Dan dari sekian banyak option pilihan tentang jumlah rokaat, kami sekeluarga sepakat dan jatuh cinta dengan komposisi 2+2+2+2+3 rokaat. Coba anda berhitung secara matematika, dengan mengambil semua ambang batas terendah dari ibadah tarawih ini, maka itulah the lowest point dari usaha kami dalam menjalankan ibadah sholat Tarawih. Dan tentunya semua itu ada konsekuensinya. Wajar khan? Karena kontribusinya paling kecil, maka jangan berharap dapat reward yang paling besar.

Dua rokaat pertama, tangan dia masih berada di atas perut. Masuk dua rokaat kedua, tangan mulai lepas dan berbisik,”Ayah… capek…”. Tangannya yang semula diam mulai bergoyang-goyang. Yang semula goyangannya ke arah depan dan belakang, berganti haluan ke arah samping. Dan sudah pasti, kakaknya yang sama-sama menjadi makmum disamping dia terkena goyangan tangan ini. Aduuhhh…..Matanya mulai berbinar ketika di setiap dua rokaat diakhiri dengan salam. Dan binar mata ini kembali redup setelah tahu Imamnya berdiri lagi untuk kloter berikutnya. Akhirnya, diapun memulai aksi strike-nya. Karena Imamnya tidak mempan dengan segala rengekan, maka dia mulai beraksi dengan tindakan. Ada saja alasannya, ditengah sholat dia bilang “mau pipis”lah atau “masih lapar”lah. Sudah selesai? Belum. Suatu malam, tiba-tiba saja sehabis sujud, dia tidak bangkit lagi untuk rokaat berikutnya dan pura-pura tidur. Walah… ada-ada saja ini.

Lha wong dengan kontribusi kecil saja, masih belum tentu akan dapat memperoleh rewardnya, apalagi ini ditambah aksi mogok. Jumlah makmumnya berkurang satu lagi. Ya sudah…. Kalau rejekinya masih secuil, it’s OK. Paling tidak sudah ada usaha untuk mencobanya. Bagaimana pak Kyai?. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat Siang 14 Ramadhan 1427H – 6 Oktober 2006)

Monday, October 02, 2006

Ramadhan dan Kita

Ketika semua khotbah tentang kebajikan, perbuatan baik, niat yang ikhlas, zakat, dan amal jariyah bertebaran pada bulan suci ini, maka sering kali saya bertanya, kemana saja khotbah semacam ini bersembunyi selain pada bulan puasa? Dengan melihat komposisi umat Islam di seluruh negeri, apakah ada data statistik yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para Muslimin/Muslimah mengeluarkan zakat atau sedekahnya terbanyak di sepanjang tahun? Dan sebagai derivative dari premis itu, adakah trend yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para fakir miskin terpenuhi kebutuhannya karena saudara-saudaranya yang mampu telah menyisihkan sebagian dari hartanya kepada mereka-mereka yang berhak atas hartanya ini? Kalau semua jawabannya adalah iya, artinya khotbah yang seabreg (bertubi-tubi datangnya ketika Ramadhan) itu mempunyai kekuatan religius yang mampu menggetarkan hati yang mendengar untuk melakukan tindakan yang memang harus dilakukan oleh seorang Muslimin/Muslimah.

Kalau assumsi saya benar, maka Ramadhan inilah bulan bagi para fakir miskin untuk sedikit bernafas lega karena sebagian kebutuhannya telah di-support oleh saudaranya yang lain. Dan kalau ternyata semua kenyataan berbeda dengan apa yang seharusnya ada, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ada yang salah dalam pemahaman kita tentang hakekat bulan Ramadhan ini. Seolah pada bulan suci ini adalah ritual ibadah yang vertical, yang hanya melibatkan antara aku dan Dia saja. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitar kita. Sehingga, bisa jadi sindiran ini benar adanya, “Yang akan kamu dapatkan hanya lapar dan dahaga saja”. Kemungkinan kedua, sistem yang tersedia di masyarakat kita ternyata belum mampu untuk menerapkan aplikasi dari teori akherat ini. Dengan bahasa yang sedikit agak vulgar, dana untuk zakat atau sedekah bukan jaminan menjadi “barang yang aman” dari tangan-tangan jahil. Baik yang jahil itu adalah para dermawannya (dengan mengurangi nilai barang terhadap nisabnya) ataupun para pengelolanya (penyalurannya tidak transparan dan tidak jelas standardnya). Wallahualam.

Ketika kenyataan hidup memperlihatkan betapa sistem kita belum bekerja dengan semestinya, maka yang bisa kita lakukan adalah “berilah sesuatu dengan tangan kananmu, tanpa mesti tangan kirimu mengetahui apa dan berapa besar yang telah diberikan oleh tangan kananmu”. Apakah ini berarti asal gugur sebuah kewajiban? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Kembalikan saja ke niat semula.
(Prahoro Nurtjahyo, 10 Ramadhan 1427H - 2 Oktober 2006)

Mesin Jemputan

Saya tidak menemukan istilah yang pas dalam kamus bahasa Indonesia untuk maksud yang ingin saya sampaikan. Sehingga lahirlah kosa kata baru (versi saya tentunya) dan akhirnya istilah ini muncul, Mesin Jemputan. Saya mengartikan Mesin Jemputan sebagai media yang sewaktu-waktu datang kepada kita untuk mengantarkan kita menghadap sang Khalik. Mesin jemputan ini bisa menjemput orang per orang, satu keluarga, satu desa, bahkan satu kabupaten/kotamadya sekalipun. Bisa setiap detik, setiap hari, setiap minggu, pendek kata setiap saat dan dimanapun tanpa meminta persetujuan kita terlebih dulu. Kalau kita mengenal cara kerja angka Random, mungkin dengan teori ini pula cara bekerja dari mesin jemputan ini.
Saya tidak cakap untuk mengingat-ingat setiap kejadian. Karenanya ingatan saya sangat tergantung pada catatan kecil di saku dimana kejadiannya sempat bersinggungan dengan saya, baik itu secara fisik atau bersentuhan dengan hati.

Sebulan sejak Tsunami Desember 2004, kita dibombardir dengan berita-berita melalui media masa, baik itu melalui seminar, fund raising, radio, TV maupun internet, tentang bencana yang datang menghampiri saudara-saudara kita di Aceh yang menelan korban jiwa hampir 200 ribu orang. Tiga bulan setelah Tsunami, Maret 2005, masih ditempat yang sama, terjadi gempa bumi yang menghantam pulau Nias. Masih belum cukup dengan gempa di pulau Nias, datang lagi gempa susulan yang menghampiri Sumatra Barat hingga pertengahan tahun 2005.

Akhir bulan Agustus 2005, Hurricane Katrina menghantam Lousiana, Mississippi dan Alabama. Dilihat dari namanya, artinya sudah ada 10 Hurricane yang telah datang ke Amerika Utara sebelum Katrina. Kalau Tsunami Desember 2004 datang tanpa ada “woro-woro”, maka Hurricane Katrina ini datang dengan “permisi” terlebih dulu. Bahkan 2-3 hari sebelum si mbak Katrina datang, pesannya sudah tertangkap oleh Badan Meteorologi US. Perkara yang terkena hantam kok Lousiana, mengapa bukan Texas atau State yang lain? itu diluar kuasa manusia. Itulah Sunatullah dimana alam hanya tunduk terhadap yang menciptakanNya. Meskipun dari sisi korban jiwa, Hurricane Katrina jauh lebih sedikit dibandingkan Tsunami Aceh, namun bentuk fisik yang dirusak oleh kedua “Natural Disaster” itu sama-sama parahnya. Saya berani jamin tidak ada orang yang lebih senang memilih terkena bencana Hurricane daripada Tsunami atau sebaliknya. Kedua-duanya membawa maut sebagai taruhannya.

Hanya berselang kurang dari 1 bulan, akhir September 2005, Hurricane Rita ikut-ikutan “bertamu” di perbatasan negara bagian Texas dan Lousiana. Rita datang dengan kulo nuwun terlebih dahulu sekaligus mengirim message bahwa dia akan datang dengan fully loaded (Category 5). Entah karena trauma akan dampak yang telah disebabkan oleh Katrina atau memang karena kesadaran warga, hampir 2.5 juta warga Houston mengungsi ke kota lain menjauhi daerah pantai.
Sudah selesaikah? Ternyata belum. Huricane baru menghantam ke negara Meksiko. Dibelahan bumi sebelah sana di Asia Tengah muncul lagi berita yang lain. Awal Oktober 2005, gempa bumi hebat menggetarkan Pakistan, Afganistan dan India. Di Pakistan saja tercatat sekitar 40000 korban meninggal dunia dan sekitar 50000 korban luka-luka.

Bagaimana dengan tahun 2006? Lebih santaikah? Ooo ternyata tidak. Gunung Merapi glegeken berkali-kali dengan wedhus gimbal-nya. Di Yogjakarta untuk kawasan Bantul dan sekitarnya terjadi tanah longsor akibat gempa. Terakhir kita melihat dan mendengar, Tsunami datang lagi bersilaturahmi ke Indonesia dan menyapu bagian barat dari arah selatan pulau Jawa.

What’s next? Hanya Allah Yang Maha Tahu.

“Apakah semua ini memang hanya sekedar teori pergeseran tanah?
Apakah semua ini berkaitan dengan teori kesetimbangan energi?Global Warming?
Apakah semua ini disebabkan karena bumi ini sudah tua sehingga sakit-sakitan?
atau
Jangan-jangan semua ini adalah sebuah pesan yang datang secara beruntun karena setiap kali pesan yang datang, kita tidak pintar untuk meresponnya”
Kalau semua ini ternyata adalah awal dari rentetan pesan yang isi sebenarnya adalah “Hai Manusia bersiaplah, akan datang lebih besar dan akan lebih sering lagi”, maka sudah seharusnya bagi kita untuk menata ulang kembali niat kita tentang hidup dan apa saja yang pernah kita lakukan untuk hidup ini. Kalau hari ini kita masih dapat berkumpul dengan keluarga, maka itu semua adalah pertanda bahwa kita telah diberi dispensasi waktu untuk segera berkemas, menata dan mempersiapkannya sebelum mesin jemputan itu datang melalui aneka macam bentuknya. Pertanyaan dasarnya adalah “Sudah cukupkah bekal yang kita punya sebelum mesin jemputan mengantarkan kita untuk menghadapNya?” (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi 2 Oktober 2006)

Saturday, September 30, 2006

Antara Saya, Rita dan Houston

Akhir bulan ini, setahun yang lalu, 24 September 2005, Hurricane Rita sempat akan sowan ke Houston dan kebetulan saja, dia membatalkan niat kedatangannya. Batal datang? Iya. Karenanya ada kemungkinan dia akan datang lagi meski dengan nama yang lain. Kapan? Hanya Yang Maha Kuasa yang mengetahui sesudah dan sebelum kejadian.

Kalau dibandingkan Tsunami di Aceh akhir tahun 2004 yang lalu, maka Hurricane Rita ini memang lebih sopan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Hurricane Rita tidak mematikan. Mengapa lebih sopan? Paling tidak, dia datang dengan mengucapkan salam. Meski salam pertamanya ditujukan kepada masyarakat di Matagorda, Corpus Christi dan sekitarnya, sedangkan warga Houston, sekitar 300 miles sebelah timur laut Matagorda juga terimbas salam dari Rita ini. Salam yang sangat luar biasa dampaknya.

Ucapan salam dari Rita, kami sambut dengan berlarian ke luar kota selama 3 hari. Artinya selama 3 hari pula, kami mengamati Rita dari tempat pengungsian. Disadari atau tidak, cemas dan takut adalah bagian dari mereka yang kebetulan tidak sempat mengungsi, entah karena kondisi fisik atau karena jalanan yang macet ketika itu.

Banyak dari kita yang menjadi alim dan khusyuk dalam berdoa. Saya yang biasanya selesai sholat kemudian langsung berdiri dan mak plencing lari, tetapi mendadak kerasan untuk wiritan berjam-jam. Setelah melihat kiri kanan….E..ternyata saya tidak sendirian. Banyak juga ternyata barisan pengemar baru wiritan panjang ini. Dari sekian banyak macam doa dan harapan, yang paling sering saya dengar adalah doa seperti ini, “Mudah-mudahan tidak menghantam Houston”. Tentunya dalam suasana yang “berkabung” saya tidak akan mempermasalahkan segala tetek bengek macam doa. Hanya saja, hati kecil saya yang sering berontak. Lha secara logika, kalau nggak menghantam ke Houston pasti menhantam tempat lain. Iya to? Bahwa Rita datang dari laut menuju ke daratan adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari. Ini bukan sebuah pilihan dimana Rita bisa jadi datang atau bisa jadi tidak datang. Lha ini khan aneh rasanya. Apakah kita berdoa hanya untuk keselamatan Houston saja? Kita ini memang sering sekali lupa dan berpikir untuk diri sendiri tanpa kita menyadarinya bahwa keberadaan kita saat ini adalah juga karena “bantuan” dari saudara-saudara di sekitar kita. Dan pasca kejadian, anak saya yang paling besar berkomentar dengan bangganya, “Wah untung ya.. Ayah, Rita tidak menghantam Houston”. Waduh…. Ternyata transfer nilainya belum sampai ke sana rupanya.

Ketika salam datang dan tidak ada yang membuka pintunya, tidak mungkin Rita kembali karena ternyata Matagorda tutup tidak berpenghuni, misalnya. Kalau kita akan datang ke rumah seseorang, dan kita mengetahui 3 hari sebelum kita datang, ternyata tuan rumahnya sudah kabur, sudah barang tentu kita akan membatalkan rencana kedatangan kita. Tetapi, tidak demikian halnya dengan RITA. Coba bayangkan, si Rita ini yang datang jauh-jauh dari Samudra Atlantic dan sampai ke Galveston, semua tuan rumah sudah tidak ada, apakah RITA akan kembali? Rita dengan lantang akan bilang, “Saya akan datang dari laut, apapun kondisi yang ada di daratan. Tidak peduli apakah tuan rumahnya ada atau sudah mengungsi, Yang jelas saya datang dituntun oleh alam dengan dipandu oleh angin, panas, dan gaya centrifugal bumi”.

Maka kalau kita selamat hari ini, belum tentu kita akan selamat besok. Untuk itu yang bisa kita lakukan sekarang adalah saling mengingatkan bahwa semua yang ada pada kita saat ini adalah titipan yang kelak akan diminta kembali olehNya. (Prahoro Nurtjahyo, Sabtu sore, 30 September 2006)

Monday, September 25, 2006

Puasa Saya Diawali Dengan Dua Roti di Siang Bolong

Pemahaman saya tentang puasa sangat dangkal. Bagaimana saya mengukur dangkal atau tidaknya? Gampang saja. Ini versi saya tentunya. Kalau anda pernah mengikuti sholat Tarawih pada hari-hari terakhir Ramadhan, dan anda menyaksikan betapa Imam sangat khusyuk dalam bacaan sholatnya ditambahi dengan menangis yang tersedu-sedu karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan, maka posisi saya masih sangat jauh dari itu. Memang ada perasaan kecewa karena Ramadhan begitu cepatnya berlalu. Tetapi kalau dalam mewujudan kekecewaan sampai menangis tersedu-sedu, kok masih belum kesana ya makom saya. Barangkali ada yang salah dengan saya ini? Mungkin juga, ada yang konslet dalam pemahaman saya ini.

Beginilah akibatnya kalau logika terlalu sering diandalkan. Sehingga untuk hal-hal yang sifatnya transcendental-pun berakibat menjadi fatal. Puasa tahun ini, kami tidak memulainya dengan se-smooth seperti puasa-puasa tahun sebelumnya. Kalau sebelumnya kami selalu menyambut kedatangan bulan Ramadhan dari pintu rumah, maka tahun ini kami harus menyambutnya ketika sedang berada di luar kota karena sedang ada acara dari kantor. Meskipun sebenarnya kami sudah memperkirakan waktu kedatangannya, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terjadi diluar kontrol kami. Karena hal yang tidak lumrah inilah, maka puasa kami menjadi kurang pas saat memulainya. (ah…alasan saja )

Logika perhitungan saya mengatakan bahwa hari Minggu adalah hari pertama Ramadhan. Tentunya ini bersandar pada perhitungan angka (bukan melihat bulan), sehingga saya berkesimpulan awal puasa akan jatuh pada hari itu. Sebelum berangkat ke luar kota , sebagai backup, saya berencana akan memanfaatkan teknologi internet dan telepon untuk memfasilitasi informasi yang terputus.

Manusia boleh berencana dengan segala maneuver-nya, tetapi hanya Yang Maha Tahu yang berkuasa akan kehendakNya. Kesalahan utama yang saya lakukan adalah berasumsi bahwa semuanya dapat di-check melalui internet. Mitigasi plan berikutnya adalah saya berencana untuk menelpon teman-teman di kota dimana kami tinggal tentang kepastian jadwal hari pertama bulan Ramadhan. Nah ternyata, kedua option tersebut tidak kami lakukan selama kami tinggal di penginapan. Pagi hari, istri saya melihat berita dari CNN bahwa puasa hari pertama adalah hari Minggu. Tanpa check dan recheck terlebih dahulu (hari minggu untuk negara mana?), maka saya semakin yakin dengan perhitungan saya sendiri. Akhirnya pada hari Sabtu, sekitar pukul 8:00 pagi, dua roti seukuran kepalan tangan masuk ke mulut melalui kerongkongan dan akhirnya bersemayam teduh di lambung (perut sebelah kiri), ditambah dengan aliran segar teh panas. Sudah pasti wareg (baca: kenyang). Kaki saya angkat sambil jigang (baca: kaki bersilang satu diatas yang lain) dan membaca koran sambil sesekali menyruput teh panas yang mulai hangat. Wah mantap..sedap sekali rasanya….

Allah Maha Adil. Kalaulah sahabat saya tidak mengirimkan pesannya melalui cellular, tentu saya sekeluarga akan kehilangan hari pertama puasa Ramadhan tahun ini. Ketika dengan khusyuknya saya berbicara dengan orang tua melalui telepon untuk memohon maaf dan mengucapkan selamat berpuasa, ternyata ada telpon masuk dari sahabat saya. Bimbang antara memutus pembicaraan dengan orang tua atau tidak, akhirnya saya meneruskan pembicaraan dengan orang tua sampai selesai. Segera setelah selesai pembicaraan dengan orang tua, saya telepon sahabat saya ini dan yang muncul pertama dalam pembicaraan kami adalah “Apakah sudah tahu kalau puasa pertama dimulai hari Sabtu ini?” Saya langsung berdiri dari duduk dan spontan saja berkata “Ah masak iya?” Langsung terbayang jelas dalam ingatan saya dua buah roti dan secangkir teh manis yang baru saja saya habiskan sejam sebelumnya. Berkah apa yang melebihi dari itu untuk ukuran orang berpuasa? Wong “sahur” kok jam 8 pagi? Subhanallah. Hanya dengan kehendakNya, saya dan keluarga akhirnya bisa mengikuti puasa hari pertama meskipun dengan catatan-catatan khusus didepannya.

Setelah acara akhir pekan di luar kota selesai, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya kembalikan lagi segenap pikiran untuk berkonsentrasi tentang kejadian yang baru saja saya alami untuk events besar ini, Puasa Ramadhan. Kok bisa saya se-teledor ini? Saya merenung kembali betapa saya dimanjakan olehNya dengan segala kejadian selama weekend ini. Pasti ada sesuatu yang tanpa saya sadari telah lenyap dari hak saya sebagai hambaNya akibat ke-teledor-an ini. Ternyata benar, dan baru saya temukan tadi malam ketika kami sholat tarawih bersama keluarga. Dari sekian banyak kemudahan yang sudah saya peroleh dariNya (anggap saja sebagai discount), saya telah kehilangan dua kali sholat tarawih selama di luar kota. Inilah harga dari sebuah teledor. Dan tentunya ke-teledor-an ini berharga sangat mahal karena sudah pasti saya tidak akan penuh satu bulan dalam mengerjakan sholat tarawih. Adakah moment yang paling indah selama bulan Ramadhan selain menjalankan puasa di siang hari, membatalkannya dengan berbuka di sore hari, melakukan sholat tarawih bersama dan bangun untuk makan sahur di malam hari? Jadi kalau ada yang bertanya “Berapa harga dari dua sholat tarawih?” maka jawabannya adalah dua roti seukuran kepalan tangan. (Prahoro Nurtjahyo, 3 Ramadhan 1427H - 25 September 2006)