Wednesday, November 22, 2006

Value untuk almamater

Saya sebenarnya lebih senang untuk duduk manis dibalik bangku deretan paling belakang sambil melihat lalu lalangnya semua pertunjukan yang ada di depan saya. Geger-nya ITS akhir-akhir ini sempat menggeser posisi duduk saya untuk sedikit maju. Paling tidak dengan tulisan ini, saya memposisikan diri saya pada satu deretan lebih depan daripada posisi saya sebelumnya. Dan tentu, saya minta ijin kepada teman-teman yang duduknya paling belakang, semoga posisi baru saya ini tidak menutupi indera penglihatan anda ke depan mimbar pertunjukan.

Saya memahami ITS sebagai institusi yang berisi kaum priyayi dari kumpulan para intelektual. Artinya, keberadaan institusi ini didukung penuh oleh mereka-mereka yang berpikir secara logis dan menggunakan dalil jika-maka yang sesuai dengan nalar (nalar yang sehat tentunya). Sebagai derivatif-nya, secara otomatis sudah menjadi tugas dan tanggung jawab dari ITS untuk dapat mempertontonkan sebuah wadah yang nalar dan logis. Iya to? lha wong... isinya para intelektual je.

Maka, kalau kenyataan menunjukan hal yang sebaliknya, lembaga inteletual kok berperilaku asal-asalan, sak penake dewe, nah..ini tentunya ada beberapa komponen yang perlu dipetani (bahasa jawa, istilah yang sering dipakai untuk mencari kutu dirambut).

Disadari atau tidak, masyarakat awam diluar sana telah memberikan label kepada mahasiswa, dosen, dan alumni sebagai kelompok intelektual yang dapat dipercaya untuk memberikan pemikirannya yang ilmiah, santun dan profesional. Sangat ironi jika terjadi pengingkaran terhadap sebuah value yang diyakini kebenarannya dari sisi ilmiah. Lha kalau masyarakat ilmiahnya sudah mengorbankan value-nya, kepada siapa lagi masyarakat awam akan meletakkan harapannya? Tentu ada dari kita yang ikut menyela, ”kebenaran itu khan relatif mas....” Saya justeru ingin balik bertanya dengan statement seperti itu. Memangnya value itu merupakan fungsi dari waktu dan tempat? Kalau iya... maka tidak ada lagi yang namanya dosa. Semua tindakan akan dicarikan legitimasinya agar kalau nanti ditanya olehNya akan selesai urusannya. Ini khan sama artinya meng-akali dan mempermainkan Tuhan dengan akal-akalan manusia.

Kehidupan kegiatan kemahasiswaan selama di kampus memang ikut memberikan andil dalam membentuk pola berpikir yang cenderung untuk memainkan posisi how to survive terhadap sebuah sistem yang ditawarkan. Meskipun pada awalnya terjadi fight terhadap sistem yang baru (dimana sistem baru selalu dicurigai) tetapi kebanyakan dari kita selalu berhitung antara kekuatan lawan dan kemampuan yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah sebuah kompromi antara value yang kita pegang dengan kekuatan yang berada di luar. Big question-nya adalah seberapa besar value yang kita perjuangkan akan kita gadaikan? Argumentasi berikutnya yang jamak muncul adalah “Jangan kuatir nanti khan ada yang mengontrol pelaksanaannya”… Untuk yang satu ini, percayalah…. sekali kita menggadaikan value yang kita miliki, you are finished.

Pemilihan rektor ITS dan ketua ikatan alumni hanyalah ekses dari sebuah perjalanan panjang yang kita semua mempunyai andil dalam menciptakan sistem yang ada saat ini. Akankah kita kembali kepada nalar dan logika yang sehat? atau mencari justifikasi pembenaran terhadap apa yang sudah terlanjur kita lakukan?

Kalau logika dan nalar hanya berlaku untuk hal-hal yang sifatnya theoretical saja, maka nalar dan akal hanya berfungsi sebagai titik reference cara pandang kita. Disinilah masing-masing individu di ITS (mahasiswa, dosen dan alumni) ditantang seberapa besar effort-nya untuk mempertahankan sebuah value yang diyakini kebenarannya. (Prahoro Nurtjahyo, Rabu, 22 November 2006)

No comments: