Tuesday, February 20, 2007

Tombo Ati

Tidak peduli apakah anda laki-laki atau perempuan, kalau tahun kelahiran anda diantara tahun 1950 - 1980 dan anda pernah tinggal di kampung jauh dari bising-nya kota, maka masa kanak-kanak saya tentunya tidak akan jauh berbeda dengan anda. Kalau dulu anda pernah bermain dampar (engklek), gobak sodor, kelereng, betengan, jelangkung, mancing belut di sawah yang baru ditanami, layangan (sambitan diadu dengan layang-layang lain) baik itu dengan benang gelasan dari toko atau benang nggelas sendiri dengan bubukan kaca lampu neon yang digerus, ditambah kulit pohon turi dan ancur, maka sayapun pernah mengalami hal yang sama. Kalau meminjam istilah anak sekarang, ”It was really fun!”

Tidak terasa, sudah lebih dari tiga dekade terlewati masa-masa indah itu. Dan inilah wajah kita sekarang. Ada dari kita yang perutnya semakin bunder saja. Ada juga yang rambutnya satu persatu meninggalkan tempat yang semestinya bahkan dibarengi dengan perubahan warna. Ada lagi yang lehernya sudah berlipat sampai rangkap tiga. Dan masih banyak lagi perubahan yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok manusia dengan kharakter yang jauh berbeda dibandingkan dengan tindak-tanduk kita sewaktu masih kecil.

Mengingkari Sunatullah berarti nyempal dan sudah pasti ada ganjarannya. Iya to? Adalah Sunatullah bahwa umur manusia terus bertambah dan ada batas akhirnya. Kapan batas akhirnya? Nobody knows dan tidak ada orang yang mempermasalahkan kapan waktunya tiba. Yang kita pertanyakan adalah ”dengan sisa waktu yang tersedia, adakah yang bisa kita lakukan yang dapat menutup semua kelalaian yang kita pernah perbuat sebelumnya?”
Karena ini sudah bersinggungan dengan ruang lingkup hati (heart), maka yang bisa kita lakukan adalah berdoa untuk hati kita. Berdoa untuk hati artinya memberi obat untuk kesegaran hati. Apa obat hati (tombo ati) itu?


Tombo Ati. Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, saya sering mendengar puji-pujian tombo ati melalui pengeras suara (Speaker) dari Masjid sebelah rumah terutama ba’da sholat subuh. Entah karena suara speaker yang keras dan terus menerus sehingga menempel dengan mudah pada memory saya yang masih fresh waktu itu atau memang karena lantunan tembang-nya yang asyik untuk dicermati. Yang jelas saya tidak pernah menghafalkan liriknya tetapi dengan mudah kembali mengangkatnya melalui bibir untuk disuarakan. Sama saja ketika bulan Ramadhan tiba dan kita mendengar pujian di Masjid sebelum sholat tarawih ”Nawaitu Shaumma Ghodi An Adai...dst” Bahkan sekumpulan anak-anak dengan sengaja bersuara keras-keras melantunkan bait tembangnya ketika pas pada kata-kata ”Lillahi ta’ala niat insun poso..tutuk-o sedino sisuk”...Walah.mak..indahnya masa itu...

Lirik tombo ati yang sudah saya kenal cukup lama, ternyata bukan hanya sekedar bait lagu yang meluncur begitu saja, tetapi penuh dengan pesan yang seharusnya dari sanalah kita mengisi waktu yang tersisa sebelum lembaran hidup kita ditutup olehNya. Wallahuallam. (Prahoro Nurtjahyo, February 20, 2007)


Versi Bahasa Jawa

Tombo Ati.....
Iku limo perkarane...
Kaping pisan .... moco Quran lan maknane.....
Kaping pindho.... sholat wengi lakon-ono
Kaping telu.… wong kang sholeh kumpul-ono
Kaping papat.... kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo.... dzikir wengi ingkang suwe.....
Salah sijine... sopo biso ngelakoni...mugi-mugi Gusti Alloh nyembadani....



Versi Bahasa Indonesia

Obat Hati....

ada lima perkaranya...

Yang pertama...... baca Quran dan maknanya......

Yang kedua...... sholat malam dirikanlah......

Yang ketiga...... berkumpulah dengan orang sholeh......

Yang keempat...... perbanyaklah berpuasa......

Yang kelima...... dzikir malam perpanjanglah......
Salah satunya... siapa bisa menjalani.... moga-moga Gusti Alloh mencukupi

Monday, February 19, 2007

Ketiban Sampur

Pernahkah sampeyan mendengar istilah Ketiban sampur? Istilah ini pernah saya tanyakan ke almarhumah nenek saya ketika saya masih berusia awal belasan tahun. Kalau saya ringkas penjelasan si Mbah Putri saya ini, maka Ketiban Sampur kurang lebih bermakna sama dengan “unexpected task”. Dan pemahaman saya tentang istilah ini menjadi bertambah ketika mondok beberapa bulan di daerah pesisir utara pulau Jawa.

Sampur dalam bahasa yang gampang adalah kain panjang yang mempunyai lebar hanya sekilan (jarak terpanjang antara ibu jari dan kelingking ketika satu telapak tangan kita rentangkan). Kain yang tidak lebar ini biasanya digunakan oleh para penari perempuan dengan diikat dibagian pinggangnya.

Di daerah pesisir utara pulau Jawa, ada kesenian yang namanya Tledek. Dimana pada kesenian ini yang menjadi primadona adalah sang penari perempuan lengkap dengan aksesoris dandanan-nya yang didukung oleh suara gamelan musik Jawa (dengan suara Kendang sebagai mascot-nya). Kelompok ini sangat mobile karena jumlah pemain yang relative sedikit (6-7 orang).

Pada setiap kali pentas, umumnya pada bagian klimaks tarian ini, masing-masing tangan dari si penari memegang masing-masing ujung sampur-nya. Kalau sampeyan pernah bermain jump rope, maka dengan gaya yang sama, si penari akan menarik salah seorang penonton dengan sampur-nya tadi untuk diajak ber-joget bersama. Saya tidak perlu cerita dampak dari tarian ini, yang jelas sama mautnya dengan tarian udel Belly Dancing yang berasal dari Persia sana. Percayalah, sampeyan musti sering-sering menelan air ludah kalau sudah menonton kesenian tledek ini. :-)

Meskipun secara harfiah nenek saya benar bahwa istilah ketiban sampur adalah ”unexpected task”, akan tetapi mbah saya ini sepertinya luput mengamati bahwa ketiban sampur ternyata bukan hanya sekedar task. Besar kemungkinan beliau lupa untuk mengatakan bahwa task yang datang itu sudah mempunyai irama sebelumnya. Kalau sudah begitu, sudah jelas betapa susahnya model task yang seperti ini. 


Coba bayangkan... ketika musik itu sudah berjalan, dan kita tiba-tiba diajak masuk ke dalam irama musik itu, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk menggerakan tubuh meskipun hanya sebuah jari tangan untuk mengikuti iramanya. Kecuali kalau saya itu se-level dengan mbakyu Inul Drastistia. Mau musik apa saja dengan goyang ngebor-nya tentu akan dia mainkan. Dengan musik yang panas, pakai gaya ngebor. Musik lembutpun, masih pakai gaya ngebor. Bingung saya dengan mbakyu satu ini. Makanya pantas saja kalau mbak saya yang satu ini dijuluki dengan penari ngebor. Lha wong dengan semua musik gayanya sama, ngebor terus. :-)

Kalau pemahaman yang ada tentang Ketiban Sampur saya angkat pada satu level lebih tinggi, maka Ketiban Sampur adalah salah satu bentuk derivative dari sebuah amanah. Karenanya pemahaman seperti ini dapat berdampak sangat serius dan tentu menakutkan bagi saya. Ketika hari Sabtu kemarin, saya resmi Ketiban Sampur untuk sebuah hajatan di kampung saya, maka dari awal saya harus mengatakan bahwa turunan amanah ini akan saya bawa sebatas yang saya mampu. Jika ternyata amanah ini melebihi dari kemampuan saya sebagai manusia, maka akan saya kembalikan kepada yang memberi amanah. Apa tolok ukurnya? Gampang saja, kalau sampeyan manggut-manggut dengan gendang yang ditabuh oleh penabuh gamelan, maka saya mengartikan sebagai isyarat untuk monggo silahkan diteruskan. Karena pada level itulah, kita semua berada pada posisi yang sama, tidak ada lagi yang ditonton dan tidak ada yang menonton. Bukannya bubar :-) tapi sudah well established.

Musik sudah ditabuh dan iramanya berjalan sejak setahun yang lalu. Permasalahannya adalah saya harus berjoget dengan gaya seperti apa? Nah…inilah tugas sampeyan untuk memberi tahu saya. Kenapa? Iya kalau saya menggoyangnya cocok dengan irama yang sudah berjalan, kalau tidak? Bukan hanya si penabuh gamelannya yang marah kepada saya tetapi juga penonton diluar akan ikut uring-uringan melempar botol ke atas panggung setelah melihat gaya ngebor saya. Tulung tulung aku diuber tledek-e (yang ini sengaja tidak saya terjemahkan… buat homework :-). (Prahoro Nurtjahyo, February 19, 2007)

Friday, February 16, 2007

Pondok Santri Kecil: sebuah review

Pondok pesantren anak-anak di kampung saya makin hari semakin ramai pengunjungnya. Tentunya ini membuat hati kami para orang tua, para guru dan sesepuh kampung menjadi bungah (baca: bahagia). Bungah dalam konteks pemahaman membuat hati kami menjadi plong ketika masih diberi kesempatan olehNya untuk melihat hasil dari sebuah usaha yang dengan telaten telah dijalankan. Apalagi kalau ditilik kembali setahun yang lalu, pondok yang hanya dimulai dengan beberapa anak saja dengan fasilitas seadanya E.ee... sekarang sudah mulai kelihatan bentuknya. Dari bentuk fisik, yang jelas kelihatan adalah peningkatan fasilitas baik buku maupun literature. Jika yang dilihat adalah sebuah product, maka saya berani mengatakan bahwa yang dulunya hanya tahu A, Ba, Ta, Tsa...sekarang kelas mereka sudah pada level membaca Al-Quran lengkap dengan Tajwid (meski masih Tajwid dasar).

Kalau semua ini dilihat sebagai bentuk keberhasilan, maka yang harus diperhatikan kembali adalah apa tolok ukur sebuah keberhasilan. Tulisan ini tidak sedang mempertanyakan keberhasilan atau kegagalan dari pondok ini sebagai sebuah institusi, tetapi saya sedang mencoba untuk melihat fenomena ini dari sudut pandang lain: Perlukah kita mereview kembali apa yang sudah kita kerjakan sampai hari ini?

Madzab yang saya anut (ini versi saya) adalah percaya bahwa segala sesuatu yang smooth dan predictable itu disebabkan karena sistem yang menunjang sudah established. Anda boleh satu madzab dengan saya, boleh juga tidak. Saya menjamin, kalaupun anda tidak berada dalam satu madzab, saya tidak akan men-cap anda sebagai seorang kafir atau murtad. J Kembali ke masalah sistem. Untuk membuat sistem menjadi established, yang harus di-bentur-kan adalah para pelaku didalam sistem itu sendiri. Ketika semua pelaku (terutama para guru dan orang tua) memahami kerangka berpikir yang lebih luas bahwa apa yang sedang kita lakoni saat ini adalah kebutuhan kita bersama, maka pada saat itulah sistem ini mulai terbentuk. Apa langkah selanjutnya? Next step-nya adalah mempunyai sebuah komitmen bersama untuk me-maintain agar kebutuhan tadi tetap terpenuhi sesuai dengan apa yang sudah disepakati.

Limit atau keterbatasan adalah salah satu bentuk kelemahan manusia yang patut untuk disyukuri. Untuk pengajian anak-anak ini, paling tidak saya melihat lima faktor keterbatasan utama yang perlu kita review kembali, yaitu keterbatasan tempat, keterbatasan waktu, keterbatasan guru, komitmen orang tua dan continuity sebuah program. Empat faktor yang pertama sangat berkaitan. Kok bisa? Begini analoginya.

Pertama. Kita telah memilih hidup di belahan kampung dunia yang cara hidupnya bersifat sekuler. Kita paham sekali akan pilihan dan kenyataan itu. Salah siapa? Itu adalah salah kita. Karena kita sebenarnya mempunyai option lain dan kita ternyata lebih memilih kampung yang sekuler ini sebagai tempat hidup. Nah sekarang giliran kita yang kalang-kabut ketika nilai yang kita pahami berbenturan dengan nilai yang tersedia di kampung ini. Makanya, kita berkumpul bersama setiap hari Sabtu sehingga pondok pesantren anak-anak inipun muncul. Paling tidak inilah execuse yang kita persiapkan jika kelak kita ditanya olehNya apa yang sudah kita lakukan untuk anak-anak kita (sebagai titipan dariNya).

Kedua. Waktu adalah sesuatu yang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam. Karena waktu sifatnya berjalan secara continue tanpa memerlukan media lain sebagai penunjang. Dengan pola hidup kerja lima hari dalam satu minggu, maka option yang tinggal tersedia untuk belajar Quran adalah hari Sabtu. Maka kalau pak Gurunya sudah menyediakan waktunya 2 jam, begitu pula sebaliknya. In return, para orang tua dan anak-anaknya juga harus menyediakan waktunya 2 jam. Sehingga satu sama lain tidak ada yang dirugikan dan semuanya telah memperoleh hak dan kewajiban yang setimbang.

Ketiga. Pada awal pondok pesantren ini akan dibentuk, semua pihak (terutama para guru) sudah berkomitmen bahwa ini adalah bentuk “kerja bakti”. Kalau begitu, apa konsekuensinya? Ada dua konsekuensi. Firstly, para guru tidak akan memperoleh gaji dari apa yang dilakukannya. Lha wong ini sifatnya volunteer. Secondly, meskipun ini volunteer, tidak berarti yang menjadi guru adalah mereka yang asal-asalan kualitasnya dan seenaknya sendiri. “Sudah untung saya mau mengajar”. Adalah penting untuk menyamakan pemahaman dan output yang diharapkan diantara para guru yang satu dengan yang lain. Apa yang diharapkan dari setiap santri kecil ini kalau pass IQRA 1? IQRA 2 dan seterusnya? Bacaan huruf apa yang critical (mostly kita salah mengucapkannya)? Bagaimana melafazkannya yang benar? Dan seterusnya dan seterusnya. Jangan sampai guru yang satu mengajar dengan lafal Da, sementara guru yang lain dengan nDa. Wah ini khan report. Productnya kayak pecel atau gado-gado...ramai isinya.

Bismillah, dengan meluruskan niat, semoga ini dihitung sebagai amal jariyah yang kelak akan menemani kita semua ketika masa peradilan itu tiba. Kelak, saya akan menguatkan kesaksian anda (para guru) jika ditanya olehNya tentang amalan jariyah yang pernah anda (para guru) lakukan untuk anak-anak saya. Kalau anda percaya akan effect domino, maka percayalah amalan ini akan semakin banyak derivative-nya. Karena ilmu ini akan dibawa oleh anak-anak sampai tua dan kelak mereka-mereka ini yang akan meneruskan transfer nilainya ke cucu kita, dan seterusnya dan seterusnya. Siapa sumbernya ?…. anda-andalah para guru mereka saat ini.

Keempat. Point yang terakhir ini memang agak sensitive karena lebih merupakan side effect dari keterbatasan fisik. Ratio antara guru dan santri kecil, kemudian ruangan yang kita miliki. Disisi yang lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah perntingnya me-maintain sebuah program kerja. Maka pada point ini saya sengaja membiarkan dengan beberapa statement yang masih terbuka. Model seperti apa yang kita inginkan? Gaya lesehan sambil cengengesan? Adakah ekspektasi beyond dari yang kita lakukan saat ini? Adakah cara yang baku untuk pencapaiannya? Perlukah kita melakukan ajian -stick and carrot-? Tidak adakah bedanya dalam treatment bagi mereka yang datang dengan keinginan serius untuk belajar mengaji dibandingkan dengan yang hanya sekedar mainan, atau mengisi waktu luang di weekend day, atau mengunakan aji mumpung karena ada Day Care yang murah? Well… I don’t know. This is just a view from grass root.

Saya, sebagai orang tua yang buta huruf bahasa Arab dan bacaan Quran (apalagi dengan segala macam Tajwid dan tulisan yang sambung menyambung), tentu tidak berkeinginan kalau anak anaknya akan end up kemampuan membaca Al-Quran-nya pas-pasan sama seperti Emak dan Bapaknya. Wake up! (Prahoro Nurtjahyo, February 16, 2007)

Beda Grogol dan Georgetown

Banjir memang tidak akan memandang status seseorang. Mereka datang dengan membawa bendera "keadilan yang sejati". Artinya, tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, pintar atau kurang pintar, yang jelas ketika dia berucap Assalamu'Alaikum, maka tidak perlu menunggu ucapan wa'alaikumsalam sebagai responsenya untuk datang.

Perilaku manusia-lah yang membedakan bagaimana me-response datangnya Banjir ini. Dibawah ini adalah dua model perilaku masyarakat dalam meresponse banjir. Enjoy! (kiriman gambar dari mbak Anik Firdiyati, teman sekampung yang sekarang jadi Manager-nya MarthaTilaar)

(Prahoro Nurtjahyo, 16 February 2007)


Kalau yang ini di Grogol



Sementara yang ini di Georgetown