Friday, February 16, 2007

Pondok Santri Kecil: sebuah review

Pondok pesantren anak-anak di kampung saya makin hari semakin ramai pengunjungnya. Tentunya ini membuat hati kami para orang tua, para guru dan sesepuh kampung menjadi bungah (baca: bahagia). Bungah dalam konteks pemahaman membuat hati kami menjadi plong ketika masih diberi kesempatan olehNya untuk melihat hasil dari sebuah usaha yang dengan telaten telah dijalankan. Apalagi kalau ditilik kembali setahun yang lalu, pondok yang hanya dimulai dengan beberapa anak saja dengan fasilitas seadanya E.ee... sekarang sudah mulai kelihatan bentuknya. Dari bentuk fisik, yang jelas kelihatan adalah peningkatan fasilitas baik buku maupun literature. Jika yang dilihat adalah sebuah product, maka saya berani mengatakan bahwa yang dulunya hanya tahu A, Ba, Ta, Tsa...sekarang kelas mereka sudah pada level membaca Al-Quran lengkap dengan Tajwid (meski masih Tajwid dasar).

Kalau semua ini dilihat sebagai bentuk keberhasilan, maka yang harus diperhatikan kembali adalah apa tolok ukur sebuah keberhasilan. Tulisan ini tidak sedang mempertanyakan keberhasilan atau kegagalan dari pondok ini sebagai sebuah institusi, tetapi saya sedang mencoba untuk melihat fenomena ini dari sudut pandang lain: Perlukah kita mereview kembali apa yang sudah kita kerjakan sampai hari ini?

Madzab yang saya anut (ini versi saya) adalah percaya bahwa segala sesuatu yang smooth dan predictable itu disebabkan karena sistem yang menunjang sudah established. Anda boleh satu madzab dengan saya, boleh juga tidak. Saya menjamin, kalaupun anda tidak berada dalam satu madzab, saya tidak akan men-cap anda sebagai seorang kafir atau murtad. J Kembali ke masalah sistem. Untuk membuat sistem menjadi established, yang harus di-bentur-kan adalah para pelaku didalam sistem itu sendiri. Ketika semua pelaku (terutama para guru dan orang tua) memahami kerangka berpikir yang lebih luas bahwa apa yang sedang kita lakoni saat ini adalah kebutuhan kita bersama, maka pada saat itulah sistem ini mulai terbentuk. Apa langkah selanjutnya? Next step-nya adalah mempunyai sebuah komitmen bersama untuk me-maintain agar kebutuhan tadi tetap terpenuhi sesuai dengan apa yang sudah disepakati.

Limit atau keterbatasan adalah salah satu bentuk kelemahan manusia yang patut untuk disyukuri. Untuk pengajian anak-anak ini, paling tidak saya melihat lima faktor keterbatasan utama yang perlu kita review kembali, yaitu keterbatasan tempat, keterbatasan waktu, keterbatasan guru, komitmen orang tua dan continuity sebuah program. Empat faktor yang pertama sangat berkaitan. Kok bisa? Begini analoginya.

Pertama. Kita telah memilih hidup di belahan kampung dunia yang cara hidupnya bersifat sekuler. Kita paham sekali akan pilihan dan kenyataan itu. Salah siapa? Itu adalah salah kita. Karena kita sebenarnya mempunyai option lain dan kita ternyata lebih memilih kampung yang sekuler ini sebagai tempat hidup. Nah sekarang giliran kita yang kalang-kabut ketika nilai yang kita pahami berbenturan dengan nilai yang tersedia di kampung ini. Makanya, kita berkumpul bersama setiap hari Sabtu sehingga pondok pesantren anak-anak inipun muncul. Paling tidak inilah execuse yang kita persiapkan jika kelak kita ditanya olehNya apa yang sudah kita lakukan untuk anak-anak kita (sebagai titipan dariNya).

Kedua. Waktu adalah sesuatu yang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam. Karena waktu sifatnya berjalan secara continue tanpa memerlukan media lain sebagai penunjang. Dengan pola hidup kerja lima hari dalam satu minggu, maka option yang tinggal tersedia untuk belajar Quran adalah hari Sabtu. Maka kalau pak Gurunya sudah menyediakan waktunya 2 jam, begitu pula sebaliknya. In return, para orang tua dan anak-anaknya juga harus menyediakan waktunya 2 jam. Sehingga satu sama lain tidak ada yang dirugikan dan semuanya telah memperoleh hak dan kewajiban yang setimbang.

Ketiga. Pada awal pondok pesantren ini akan dibentuk, semua pihak (terutama para guru) sudah berkomitmen bahwa ini adalah bentuk “kerja bakti”. Kalau begitu, apa konsekuensinya? Ada dua konsekuensi. Firstly, para guru tidak akan memperoleh gaji dari apa yang dilakukannya. Lha wong ini sifatnya volunteer. Secondly, meskipun ini volunteer, tidak berarti yang menjadi guru adalah mereka yang asal-asalan kualitasnya dan seenaknya sendiri. “Sudah untung saya mau mengajar”. Adalah penting untuk menyamakan pemahaman dan output yang diharapkan diantara para guru yang satu dengan yang lain. Apa yang diharapkan dari setiap santri kecil ini kalau pass IQRA 1? IQRA 2 dan seterusnya? Bacaan huruf apa yang critical (mostly kita salah mengucapkannya)? Bagaimana melafazkannya yang benar? Dan seterusnya dan seterusnya. Jangan sampai guru yang satu mengajar dengan lafal Da, sementara guru yang lain dengan nDa. Wah ini khan report. Productnya kayak pecel atau gado-gado...ramai isinya.

Bismillah, dengan meluruskan niat, semoga ini dihitung sebagai amal jariyah yang kelak akan menemani kita semua ketika masa peradilan itu tiba. Kelak, saya akan menguatkan kesaksian anda (para guru) jika ditanya olehNya tentang amalan jariyah yang pernah anda (para guru) lakukan untuk anak-anak saya. Kalau anda percaya akan effect domino, maka percayalah amalan ini akan semakin banyak derivative-nya. Karena ilmu ini akan dibawa oleh anak-anak sampai tua dan kelak mereka-mereka ini yang akan meneruskan transfer nilainya ke cucu kita, dan seterusnya dan seterusnya. Siapa sumbernya ?…. anda-andalah para guru mereka saat ini.

Keempat. Point yang terakhir ini memang agak sensitive karena lebih merupakan side effect dari keterbatasan fisik. Ratio antara guru dan santri kecil, kemudian ruangan yang kita miliki. Disisi yang lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah perntingnya me-maintain sebuah program kerja. Maka pada point ini saya sengaja membiarkan dengan beberapa statement yang masih terbuka. Model seperti apa yang kita inginkan? Gaya lesehan sambil cengengesan? Adakah ekspektasi beyond dari yang kita lakukan saat ini? Adakah cara yang baku untuk pencapaiannya? Perlukah kita melakukan ajian -stick and carrot-? Tidak adakah bedanya dalam treatment bagi mereka yang datang dengan keinginan serius untuk belajar mengaji dibandingkan dengan yang hanya sekedar mainan, atau mengisi waktu luang di weekend day, atau mengunakan aji mumpung karena ada Day Care yang murah? Well… I don’t know. This is just a view from grass root.

Saya, sebagai orang tua yang buta huruf bahasa Arab dan bacaan Quran (apalagi dengan segala macam Tajwid dan tulisan yang sambung menyambung), tentu tidak berkeinginan kalau anak anaknya akan end up kemampuan membaca Al-Quran-nya pas-pasan sama seperti Emak dan Bapaknya. Wake up! (Prahoro Nurtjahyo, February 16, 2007)

No comments: