Thursday, October 23, 2014

Sehat itu Mahal (Bagian 1)

Saya tulis ini di malam jumat bukan karena superstitious untuk menakut-nakuti sampeyan. Tetapi memang inilah satu-satunya waktu yang luang. Semoga topik Sehat itu Mahal bagian 1 dalam blog ini masih sempat menjadi teman sampeyan sekeluarga sebelum menunaikan ibadah sunnah malam Jumat :-) Kalau masih penasaran, kita lanjutkan di lapangan Volley minggu pagi besok.

-------------------

Pengalaman saya menginap sehari di rumah sakit cukup untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa yang namanya sehat itu mahal dan tidak bisa dibeli dengan materi. Karenanya, upaya untuk menjaga sehat itu menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh setiap makhluk yang namanya manusia. Sehat bukan untuk membuat pose tubuh kita menjadi lebih indah dilihat, tetapi upaya untuk menjaga badan agar lebih "mudah" untuk menjalankan ibadah keseharian. As simple as that. Paling tidak kalau Ruku' atau Sujud masih dalam posisi yang mengikuti sunnah Rosul. Iya to? 


Kalau sampeyan belum pernah menginap di rumah sakit karena gangguan pada kesehatan sampeyan, maka saya sarankan untuk tidak pernah membayangkannya. Bahkan, jangan sampai terlintas dalam benak pikiran sampeyan. Jangan sekali-kali berdoa untuk diberikan sakit, karena kalau doa itu dikabulkan dan benar-benar datang, akan sangat luar biasa rasanya. Sakit yang sepele saja bisa membuat meriang seluruh badan dan cukup membuat bulu kuduk sampeyan berdiri mendadak. 

Nah sialnya, yang namanya manusia ini khan tidak pintar membaca pesan yang sudah "dituliskan" oleh sang Khaliq, Pencipta-nya. Maka, yang terjadi adalah, untuk mengerti arti sehat, manusia ini cenderung untuk ingin tahu batas akhir (limit) dari kekuatan tubuhnya. Dengan kata lain, sebelum ada vonis sakit dari sisi medis, kita manusia ini akan terus saja berperilaku nyeleneh yang nota bene cenderung menyimpang dari pakem-nya. Misalnya melekan semalam suntuk karaoke-an selama tiga malam berturut-turut. Meeting seharian selama seminggu. Atau, meng-konsumsi makanan yang jelas-jelas tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia atau justeru membahayakannya karena kandungan zat yang ada dan kuantiti-nya. Sehingga sudah dapat dipastikan, ketika sudah melewati ambang batas limit raga manusia, yang terjadi kemudian adalah mudah ditebak, yaitu tubuh ambruk atau sakit. 



Bukankah medis-pun sebenarnya ilmu Alloh yang kepada manusia diharuskan untuk belajar dan "membaca" tentang isi tubuhnya sendiri? 


Akan sangat ironis kalau untuk tahu makna "sehat", kita harus melewati terlebih dulu ketokan palu vonis dari dokter yang menyatakan bahwa kita positif sakit Hypertensi, Diabetes, Ginjal, Liver, Jantung, Gout, atau yang lainnya. Makanya, saya terkadang iri juga kepada teman-teman saya yang mempunyai tubuh cengeng. Misalnya, minum air dingin, langsung tenggorokan sakit. Kena rintikan gerimis, kepala langsung pening nut-nutan, kena matahari sebentar langsung gatal-gatal. Patut bersyukur mereka-mereka ini, karena tubuh mereka tidak perlu menunggu tahunan untuk merespon apa yang di-rasakan-nya.

Sebaliknya, ada juga yang kelihatannya sehat perkasa tidak pernah sakit, ee...tahu-tahu vonis dokter lebih mengerikan dari penyakit umumnya. Bukan cerita satu atau dua, tetapi sudah banyak yang kita lihat dari saudara-saudara di sekitar kita. "Padahal tidak pernah merokok, tapi vonis sakitnya menjurus ke akibat asap rokok, paru-paru flex hitam". Atau, "Padahal atlit yang tidak pernah absen dari latihan puluhan tahun, begitu sakit ternyata divonis sakit coroner", dan masih banyak lagi cerita yang lain.


Ketika saya divonis menderita positif Rheumatoid Arthritis (RA) oleh si dokter, seolah dunia inipun akan ambruk. Meskipun agak telat menyadarinya, toh akhirnya saya temukan bahwa sakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Sakit, saya yakini sebagai pesan dariNYA untuk selektif terhadap apa saja yang boleh masuk ke dalam perut melalui kerongkongan saya ini. Jadi, janganlah dipaksakan, karena lebih banyak mudlorot-nya dari pada manfaatnya. Enaknya hanya beberapa detik saja ditenggorokan, namun akibatnya akan dibawa sepanjang SISA usia kita. Iya khan?

Manusia dilahirkan dengan sifat dasar yang stubborn. Keberadaan Kitab Suci ternyata  tidak mempan bagi manusia untuk dijadikan pegangan karena stubborn-nya tadi. Bahkan, sering kali tendency manusia untuk selalu mencoba berdiri dipinggir "jurang" hanya untuk sekedar ingin tahu apa yang ada dibelahan bukit sana. Mereka lupa bahwa manusia ada batasan bukan hanya raga, tetapi juga batasan waktu dan usia. Wallohuallam (Prahoro Nurtjahyo, Malam Jumat October 23, 2014)



6 comments:

vherouz most said...

Ditunggu bagian 2 nya Mas.

Rosdiana Setyo Lasmowati said...

aku selalu suka celomatanmu..... nulis lagi ya? ntar tak bacanya sampe abis..... sabar ketika sakit...jg menggugurkan dosa2

Yunik Nuramidah said...

Mugo2 ndang waras.. arep tak sambangi karo rosdiana lha kok pesawate ban-e gembos

Andriyanti Kartikawati said...

GWS Pak de Prahoro. Enggal Saras Lahir bathin.

Wahyu Setyoadi said...

Smoga cpt sembuh kawan...amin yra...

Noeree Uwi Suharsono said...

Tetap berusaha menyeimbangkan kebutuhan rohani (sabtu) dan jasmani (minggu). Yang lebih penting tetap mengisi tabungan untuk akhirat. Semangat pakde!!!!!