Thursday, April 30, 2015

Kecewa

Kecewa adalah hal yang lumrah dan dapat terjadi pada semua orang, termasuk sampeyan dan saya. Kekecewaan umumnya muncul karena terlalu njomplang-nya perbedaan antara harapan yang diinginkan dengan kenyataan yang ada.  Kalau melihat hanya dari dua parameter ini saja (harapan dan kenyataan), maka bisa jadi penyebabnya adalah either harapannya yang terlalu tinggi atau usahanya yang malas-malasan sehingga hasil “kenyatan”nya tidak optimal. Iya to?

Selama dua minggu berturut-turut saya harus menelan pahitnya ludah karena kecewa setelah menyaksikan movie Indiana Jones sekuel yang ke-4 (diperankan pemain kawakan Harisson Ford). Bagaimana tidak? Lha wong  untuk Movie Director sekaliber Stephen Spielberg kok dengan mudah meluluskan ending cerita seperti itu. 

Sebenarnya, setting awal cerita cukup menarik dengan membawa kita untuk bertanya-tanya. Nah…nada-nada aneh mulai terasa ketika pertunjukan memasuki summary di bagian 10% terakhir dari cerita. Anak saya yang ragil (baca: paling bontot) sudah mulai dapat memprediksi bagaimana ceritanya nanti akan berakhir ditambah omelan plus ancaman. 

Akhirnya… gedubrakAsem!! Gombal Mukiyo tenan.

Harapan saya dan anak-anak untuk memperoleh happy ending yang logically make sense tidak kesampaian juga ketika layar tancep itu berakhir exactly sama seperti yang kami perkirakan. Kecewa? Pasti. Sungguh diluar nalar saya bagaimana seorang yang selama ini professional di bidangnya berbuat seceroboh itu.

Pada akhirnya, saya sependapat dengan apa yang dituliskan oleh pak Kyai Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs), bahwa manusia akan mencari kepuasan melalui batin-nya. Mereka tidak lagi peduli dengan material apa yang dimilikinya. At the end of the day, semua yang bersifat materi dan fisik hanya tertangkap oleh indera mata saja. Itulah surga dunia. Makanya belum tentu kalau yang cantik rupanya, akan cantik juga hatinya… he…he…he…. Close your eyes so you can see. You are more beautiful than you think.  Inikah surga dunia dan akherat? Wallohuallam (Prahoro Nurtjahyo, April 30, 2015)

Tuesday, April 28, 2015

Menegakkan Benang Basah?

Sebuah organisasi atau perkumpulan apapun namanya, style manajemen sangat dipengaruhi oleh para individu yang memegang kendalinya.  Begitulah kira-kira yang saya rasakan ketika saya “menambang rupiah” di PT. IPTN (sekarang PT.DI) Bandung.  Di dalam organisasi itu, muncul perkumpulan lulusan Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, US, Australia, dan lain-lain. Yang sudah barang tentu membuat "jarak" tanpa disengaja antar satu dengan yang lain.  Belum lagi ditambah perkumpulan lulusan dari universitas lokal.  


Kelompok eksklusif ini terus berkembang biak, tidak hanya dalam konteks kangen-kangenan sesama alumni, tetapi juga merembet ke project.  Ketika yang menjadi pimpro sebuah project adalah lulusan Jerman, maka semua yang lulusan Jerman, tanpa diundang, mendukung.  Yang lain? karena merasa tidak satu almamater terus minggir dan malah beralih tugas mengkritik hasil kerjaan tim Jerman ini. Modar kowe? He…he….he…

Lumrah-kah? Saya jawab iya. Trend seperti ini tidak hanya ada di negara kita, tetapi sudah jamak hampir ke se-antero dunia.

Wajar-kah? Saya jawab belum tentu wajar. Mengapa? Karena pola berpikir yang seperti ini kalau dipelihara terus menerus akan menjadi biang kerok dari sumber penyakit chronic yang namanya fanatisme.

Jadi, kalau dulu jaman Orde Baru sumber perpecahan bangsa itu dibagi dalam kategori SARA (Suku, Agama dan Ras), maka perkumpulan-perkumpulan seperti ini juga akan bermuara ke hal yang sama laten-nya dengan SARA jika pijakan berpikirnya sudah salah kaprah. Saya tidak allergy dengan perkumpulan-perkumpulan seperti ini, hanya harus hati-hati dalam mensikapinya kalau tidak ingin muncul kelompok gangster baru.