Monday, December 18, 2006

Ketika Saya Menjadi Dalang

Karena masa tugas yang sudah selesai, seorang teman akan kembali ke tanah air dan mewariskan 7 wayang kulit kepada saya. Ueedan tenan! Saya yang setiap kali mau nitip teman dari tanah air untuk membawa satu wayang saja masih malu-malu untuk bilang, eee...lha..ndilalah... tiba-tiba sekarang malah dapat gratis. Tujuh wayang lagi! Apalagi semuanya adalah para jawara dari golongan putih. Dengan berlagak seperti seorang Ustad kondang, saya katakan kepada Istri saya ”Rejeki itu datangnya memang tidak dapat diduga darimana asalnya!” Istri saya hanya manggut-manggut sambil berguman, ” Iya..iya...”.


Dengan sedikit perbaikan pada bagian ujung Wayang yang sudah mulai mleyot kulitnya dan mengencangkan kembali beberapa tali yang kendor, saya mulai bercerita kepada anak-anak saya tentang aturan dari wayang kulit, bagaimana harus merawatnya, apa saja komponen dari pertunjukan wayang kulit (Dalang, Niyogo, Petabuh Gamelan dan Wayang kulit itu sendiri) dan lain-lain. Karena hanya ada tujuh wayang kulit, maka saya ambil satu per satu dan saya perkenalkan ke anak-anak saya. Mulai dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Kresna dan yang terakhir Gatot Kaca. Tidak puas hanya dengan perkenalan saja, anak-anak meminta kepada saya untuk memainkannya. Walah...walah.... Mau berkelit dengan segala alasan, akhirnya sayapun menyerah dan harus memainkannya juga. Demi sebuah komitmen :-)
Pakai celana pendek dan kaos oblong, saya pegang si Wayang Kulit itu. ”E..Ayah... kok pakai celana pendek?” Kata anak saya laki-laki yang paling besar protes. ”Oiya... lupa....” saya termakan oleh omongan saya sendiri tentang aturan dari wayang kulit ini. Karena tidak ada kain panjang, beskap, keris dan blangkon, akhirnya malam itupun saya dapuk (baca: berperan) menjadi Dalang dengan memakai sarung (pengganti kain panjang), jas (pengganti beskap), sendok sayur (pengganti Keris) dan kopyah sholat (sebagai penganti blangkon). Aduhhh... ini kalau ada tamu datang, pasti mengira keluarga kami ini keluarga edan karena dandanan kepala keluarganya yang acak-acakan. Beruntunglah sampeyan tidak bertamu ke rumah saya pada malam itu..... :-).

Dengan duduk mantap sambil bersila menghadap tembok ditambah sinar lampu yang remang-remang, maka mulailah pertunjukan Wayang Kulit di rumah saya (dan sudah barang tentu, sayalah Dalangnya). Sambil berusaha untuk bersuara merdu sebisanya, pertunjukan malam itu dimulai dengan kalimat ”Langit kelap kelip.........(saya pukuli karton dengan kaki saya sebelah kiri 4 kali, karena posisi duduk saya yang bersila, sehingga keluar bunyi...dok--dok--dok--dok) Angin sigro milir...wooooo.....” Anak-anak saya cekikikan mendengar suara saya. Sambil menoleh kebelakang saya bilang,” Wus... nggak boleh ngomong kalau Dalangnya lagi khusyuk.. ok?” Anak saya diam meski dengan terpaksa..karena wajahnya masih menahan tawa. Sekarang giliran Istri saya yang cengengesan dan lari ke dapur sebelum tertawa ngakak. Wah susah memang kalau satu keluarga isinya pelawak semua.

 
Karena semua tokoh Wayang Kulit yang saya punya adalah laki-laki dan semuanya dari golongan putih, maka saya kebingungan memilih lakonnya. Apalagi untuk mengimbangi cerita-cerita Cartoon Jepang yang sekarang lagi nge-top, seperti Pokemon, Dragon Ball-Z, dan lain-lain. Karena tidak ketemu, akhirnya saya ngawur memilih cerita yang sudah tentu tidak ada dalam pakem cerita perdalangan. Beberapa lakon kami mainkan, diantaranya adalah perang saudara kembar antara Nakula dan Sadewa, Bima berantem melawan Arjuna. Untuk mengikuti selera penonton, akhirnya saya menjadi dalang paling sadis dalam sejarah perdalangan.  


Bagaimana tidak? Untuk semua episode pertunjukan, dari awal sampai akhir saya memainkan adegan perang terus. Kalau tangan kiri saya memegang wayang kulitnya Arjuna, maka tangan kanan saya langsung pegang Bima. Karena keduanya sama-sama saktinya dan kekuatannya yang berimbang. Kalau Yudhistira berada pada tangan saya yang sebelah kiri, maka dengan cepat tangan kanan saya menyambar Kresna. Hanya Gatot Kaca saja yang jarang terambil wayangnya. Maklum, semua kharakter wayang yang ada adalah paman-pamannya. Jadi kalau ikut keluar, bahasanya nggak bahasa Gaul lagi Ember :-). Pernah sesekali saya keluarkan Gatot Kaca, langsung disemprot oleh paman-pamannya, ”Diam kamu anak kecil. Ayo kembali lagi ke kotak sana.” :-)

Diakhir pertunjukan Wayang yang hanya berdurasi 15 menit itu, anak saya laki-laki yang rambutnya ikal langsung berdiri dan tepuk tangan. ”Horee....”. Anak-anak saya berkomentar, ”Wah seru ceritanya... apalagi kalau si Bima sudah mengamuk”. Karena tidak ada Guidance cerita yang jelas, tiba-tiba saya berlaku kejam dengan memainkan lakon berperangnya Bima dan Arjuna (Yang memang dalam lakon wayang tidak pernah terjadi). Bima yang seharusnya melindungi adiknya, karena Dalang sontoloyo ini berubah menjadi tokoh yang adigang adigung mentang-mentang berbadan besar dan berotot. Inilah kesalahan saya sebagai seorang dalang. Ternyata, apapun bentuk cerita yang disodorkan, itulah yang akan termakan oleh para penonton. Karena saya tawarkan cerita perang, maka perang seolah merupakan bentuk solusi yang paling laris untuk setiap kali perselisihan. Too Bad..

Saya menyesal juga dengan kejadian malam itu. Nasi sudah menjadi bubur. Adalah bentuk ignorance yang amat sangat dengan mengangkat cerita semu demi mengikuti selera penonton. Kaki saya yang mulai kesemutan karena duduk bersila segera memutar badan, sambil berkata,”Sekarang sudah malam, Dalangnya mau pipis, lain kali diteruskan lagi”. Sambil ngedumel anak-anak berkata,”Ok..”. Dalam hati saya berpikir keras bagaimana caranya untuk mengembalikan persepsi mereka tentang sosok Bima atau Arjuna. Wah..homework lagi jadinya... :-(


Saya tahu persis bahwa aturan Wayang Kulit sangat njlimet dan banyak cerita klenik dibelakangnya. Lha wong bonek...sudah tahu diluar pakem-pun disikat saja. Untuk mengeliminasi kesalahan berikutnya, sayapun berharap mempunyai koleksi yang lengkap dari wayang kulit ini. Paling tidak, ini akan membantu saya untuk bermain sesuai dengan pakemnya. Wah kalau sampai Ki Dalang NartoSabdo atau Pak Manteb mengetahui saya memainkan lakon yang diluar pakem perwayangan, sudah pasti saya kena kutukan tujuh turunan. Sorry ...Pak Manteb.... demi memenuhi permintaan anak-anak :-)


(Terima kasih buat mas Meizarwin, mbak Fifi, Nabila dan Reyhan atas wayang kulitnya. Sukses selalu. Selamat jalan dan bertemu lagi dilain kesempatan............. Prahoro Nurtjahyo, Senin, 18 Desember 2006)

3 comments:

A B A N G said...

Sering-sering berlatih dirumah sebelum di daulat untuk tampil diluar.
Kayaknya di acara plesiran berikutnya nanti, kita perlu nanggap wayang nih ... he ... he ...

Anonymous said...

betul tu kata si abang,jangan cuman jago kandang aja,buktikanlah ceritanya, mana tau bisa jadi job sampingan yang "menjanjikan".....(....kepuasan penonton...:p) ya gak bang? Paten-lah tu (= bhs Medan,artinya tanya si abang....)

Anonymous said...

Good day everyone, I just signed up on this superb community forum and wanted to say hiya! Have a magnificent day!