Friday, December 01, 2006

Bonek

Pada awal tahun 1990an, salah seorang teman saya, seorang wartawan yang sedang menanjak karirnya, dikejar-kejar oleh persatuan Germo suatu kompleks pelacuran kelas wahid di salah satu kota terbesar di Indonesia. Si teman ini dikejar-kejar bukan karena dia “tidak bayar” (karena memang dia tidak “pakai”) tetapi disebabkan karena tulisan dia pada koran harian di mana dia bekerja mengakibatkan merosotnya “pelanggan aktif” yang rutin mendatangi komplek pelacuran itu. 

Karena hampir disetiap mencari bahan berita, kami selalu terlihat runtang-runtung berdua, maka sebagai akibatnya, sayapun ikut terkena dampak dari tulisan yang dimuat di harian kota itu dan ikut lari tungang langgang karena kejaran para Germo ini. Apes… ora melu mangan nangkane, mung keno pulute…(Tidak ikut makan buah nangkanya, tapi kena getahnya) ….
 
Saya lari bukan karena takut, tetapi karena nalar saya yang berbicara lain. Mereka-mereka pengejar ini bukanlah sekelompok orang yang dapat diajak duduk satu meja dan berdikusi menggunakan akal dan logika yang benar. Para Germo ini selalu mengedepankan argumentasi bahwa berita yang miring tentang kompleks pelacuran sangat berpotensi untuk mematikan aktifitas asap dapur yang ngebul untuk sekian ratus kepala keluarga, belum lagi buah hati dari para “bidadari malam” yang ditinggal di desa, perekonomian para tukang becak, bemo dan ojek di sekitar kompleks, dll. Diawal usia saya yang masih 20an dan lingkungan masyarakat yang Bonek (bondo nekat), itulah awal-awal tahun yang turut mengukir perjalanan hidup saya.

Logo Bonek memang telah menjadi label kota tertentu di Jawa Timur. Sebagai akibatnya, label inipun harus saya terima secara sukarela karena saya sempat menjadi bagian dari kehidupan kota itu. Baru-baru ini saya berkenalan dengan seseorang yang baru pindah ke kota dimana kami tinggal sekarang. Setelah ngobrol kesana-kesini, sampai juga pembicaraan kami tentang daerah asal. Ketika saya sebutkan dari mana saya berasal, langsung spontan dia nyeletuk, ”Wah...sampeyan berarti anggotanya Bonek”. He...he...he.. ok juga teman baru ini. Belum apa-apa sudah memberi sanjungan setinggi langit. Dalam hati saya bilang, ”Untung sampeyan tidak saya celurit”. He..he...he...

Ketika parang dan celurit lebih dipercaya sebagai solusi sebuah permasalahan ketimbang akal yang sehat, maka untuk dapat berbicara dan duduk satu meja diperlukan suatu adjustment yang tidak mudah. Bagaimana kita akan duduk berdiskusi kalau kelompok yang satu takut dicelurit, sementara kelompok yang lain takut dikibuli ? Anggapan bahwa orang-orang berpendidikan itu jago teori saja, banyak ngomong-nya dan hasilnya nol adalah tidak sepenuhnya salah. Bahkan, apa yang ada dilapangan telah menunjukkan wajah yang sesungguhnya. Anggota DPR misalnya, atau para Menteri, bahkan Presiden atau wakil Presiden. Apa hasil mereka selama ini yang dapat dirasakan oleh umat banyak? Sehingga kalau mereka-mereka ini tidak memperoleh dukungan penuh dari rakyat...ya wajar...lha wong mereka bekerja tidak untuk rakyat...mosok minta dukungan dari rakyat. Yang bener saja..

 
Kondisi seperti ini telah bersemayam lama di masyarakat kita. Sampai kapan? Tergantung dari kita semua. Jadi apa yang kita perlukan? Yang jelas, kelompok ”celurit” harus mempunyai Trust kepada kelompok yang berpendidikan. Sementara kelompok berpendidikan harus mempunyai Heart. Apa itu heart? Artinya segala Theory dan Policy yang ditawarkan oleh kaum berpendidikan adalah sebuah solusi yang benar-benar untuk kemaslatan umat. Tidak ada hidden agenda. Semuanya harus terukur jelas mulai dari awal hingga akhir termasuk dampak suatu keputusan terhadap sosio budaya masyarakat. Kaum intelektual ”haram” hukumnya kalau masih menggunakan dalil ”pokoknya harus seperti ini”. Pokoknya? Memangnya si pokok ini tidak bisa diberikan alasan yang logis? Kok pokoknya yang didulukan? Kalau masing-masing kelompok membekali diri dengan Trust dan Heart, Insya Allah, satu persatu urusan menjadi lancar.


Bonek atau bukan, tergantung dari mana kita melihatnya. Kalau tim sepak bola kesayangannya kalah dan melempari stasiun kereta api dengan batu sampai rusak semua, maka itulah asal istilah bonek menjadi populer. Melepaskan nilai-nilai moral, korupsi, suap sana sini untuk mendapatkan project dan menumpuk keuntungan pribadi adalah bonek juga. Bahkan ini lebih bonek daripada membawa lari kaca spion mobil yang berhenti di perempatan kena lampu merah. Ini bukan berarti saya membenarkan cara membawa lari kaca spion. Point saya, Bonek bukan lagi dominasi yang dimiliki oleh warga kota di Jawa Timur, tetapi sudah menjadi wabah dan menular ke cara berpikir masyarakat kita, mulai dari kaum jelata sampai ningrat, dari desa sampai kota, para pejabat baik di tingkat pemda maupun pusat, para menteri, presiden/wakil presiden bahkan para kyai atau pendeta. Sekali lagi, Trust dan Heart adalah komponen yang kita perlukan untuk dapat lepas dari cengkeraman tirani ini.

Seperti ditulis dalam blog Celometan sebelumnya (baca cerita tentang Pampers), bahwa tugas utama kita di dunia ini adalah meneruskan sebuah nilai untuk anak kita, dan kelak anak kitalah yang akan menurunkan nilai yang telah kita ajarkan ke anak-anak mereka (cucu kita) dan demikian seterusnya. Kalau ada tingkah polah anak cucu kita yang amburadul, bisa jadi karena kita telah mengajarkan nilai kehidupan yang salah. Naudzubillah.

I am where I am. Disini saya, 16 tahun kemudian, menelusuri kembali alur kehidupan yang pernah terlewati melalui beberapa peristiwa. Ada kalanya sedih, malu, dan tawa. Semakin banyak berinteraksi dengan budaya masyarakat yang berbeda, maka semakin banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya. Dari sekian banyak hikmah yang ada, ternyata ada hal khusus yang masih terus melekat dalam gaya hidup saya, Bonek. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat, 1 December 2006)

No comments: