Wednesday, February 11, 2004

PEMILU IATMI-Houston

Kampungku IATMI akan mempunyai hajatan besar, yaitu pilihan lurah. Tidak bermaksud untuk ikut-ikutan dengan desa sebelah, Indonesia Raya yang juga akan mengadakan pemilu, tetapi memang kampungku sudah waktunya memiliki lurah. Aneh saja rasanya, sebuah desa kok tidak ada lurahnya.

Aku dengar, desa sebelah itu mempunyai banyak calon lurah, sampai 24 calon. Bahkan ada acara tawuran antar pendukung karena saling ejek di antara calon lurah itu. Heran juga, kenapa desa sebelah ini tidak mencontoh kampungku yang adem ayem, tenang, tenteram dalam hal pilihan lurah. Jangan-jangan memang kampungku ini tidak memerlukan seorang lurah. Cukup, garis komandonya adalah YANG DITUAKAN, garis koordinasinya adalah SALING PENGERTIAN dan system kerjanya adalah GOTONG ROYONG. Hebat sekali memang warga kampungku ini. Mirip sekali dengan ketika aku berkendaraan sampai di perempatan antara jalan Hayes dan jalan Meadowglen yang masing masing arah ada tanda STOP sign, tidak perlu traffic light. Siapa yang datang lebih dulu, ya giliran dia yang jalan. Barangkali seperti inilah suasana di surga. Mungkin! (Prahoro Nurtjahyo, 11 Februari 2004)

Angkutan Kota

Berhati-hatilah kalau naik angkutan kota”. Begitu pesan si teman ketika suatu saat saya hendak bersilaturahmi mengunjungi rumahnya. Karena si teman ini tidak memberi penjelasan yang lebih detail, justeru ini yang menggelitik saya untuk mencari tahu kenapa kok harus hati-hati. Kalau alasannya karena copet, berarti si pencopet salah alamat, karena saya bukan orang yang berduit.

Saya duduk di bangku terminal hanya untuk mengamati lalu lalangnya angkutan kota (angkot). Mulai dari antri ngetem, kemudian keluar terminal menuju ke tempat tujuan sesuai dengan jalur trayeknya. Saya tidak melihat keanehan yang berarti, semua aktifitas terlihat wajar. Kalaupun ada calo, saya melihat itu bagian normal dari kehidupan di terminal.

 
Setelah terlebih dulu “meneliti” si sopir, saya memutuskan untuk naik angkot berwarna biru tua dengan label S yang menurut jalurnya melewati tempat yang akan saya tuju. Menurut saya, si sopir masih terlihat energik dan peduli dengan organ tubuhnya sendiri. Terbukti dengan bertenggernya kaca mata hitam BL yang melindungi matanya dari terik matahari. Entah hanya karena untuk bergaya atau tidak, dalam hal yang satu ini ada nilai plus untuk si sopir ini dibanding sopir yang lain. Bagaimana dia akan melindungi penumpangnya jika untuk organnya sendiri saja dia tidak peduli?

Tuesday, February 03, 2004

Menu Masakan

Keluarga saya mempunyai kebiasaan berkumpul setiap awal bulan untuk membahas hal yang sangat sederhana, yaitu menu masakan. Ide ini muncul bukan karena tanpa sebab. Paling tidak ada 3 alasan. Pertama, masing-masing anggota mempunyai selera makanan yang berbeda. Untuk mengakomodir semua selera, jelas butuh waktu dan dana extra. Sementara dana hanya dipasok untuk satu bulan saja (30 hari). Kedua, Istri saya merasa tidak “diajeni” lagi. Karena setiap masakan yang disodorkan selalu berakhir ke tempat sampah tanpa disentuh oleh para anggota keluarga. Dengan aksen Suroboyo-an “Lha la opo aku masak angel-angel..lek gak ono sing mangan?” (Buat apa masak susah-susah kalau tidak ada yang mau makan?) katanya suatu ketika. Alasan ketiga adalah promosi makanan di luar (baik warung maupun restaurant) yang akhir-akhir ini semakin jor-joran (baca: saling bersaing). Ada yang mengiklankan minum gratis asal makan dua porsi atau bahkan kalau pesan makanan untuk 2 orang, orang yang ketiga bayar 50%, dll.

Menarik sekali ternyata isi diskusi tentang menu masakan ini. Anak saya yang paling besar lebih fokus ke arah daging. “Asal ada daging, saya mau makan” begitu janjinya dalam diskusi. Anak saya yang perempuan ngotot mau makan macaroni dan cheese, dengan syarat rasanya harus sama dengan yang dia makan di kantin sekolahan. Dan anak saya yang masih kecil, 2 tahun, tidak punya hak pilih. Menu untuk dia “dipilihkan” oleh ibunya. Diskusi yang sederhana yang dapat membawa sebuah komitmen di antara anggota keluarga.

Monday, February 02, 2004

Kumis

Hampir 10 tahun aku tidak mencukur “habis” kumis. Kalaulah aku mencukur, paling hanya untuk merapikannya saja. Itu disebabkan karena perjalanan tumbuhnya rambut di kumisku yang tidak kompak, sehingga nilai seni berupa kerapian diperlukan. Paling tidak, dari sisi itulah aku menilai harga sebuah kumis.


Ada rasa keganjilan dan aneh setelah mencukur habis total semua kumisku dan melihat tampang baruku di cermin. “Inikah wajahku selama ini yang tertutup oleh kumis?” Sungguh hebat sekali si kumis ini, bukan aku saja yang dibikin “terpana”, anak-ku yang paling kecilpun menolak untuk aku gendong setelah melihat wajah baruku. Anak-ku yang paling besar tertawa tidak habis-habisnya setiap kali berpapasan denganku. Hanya anak-ku yang perempuan saja yang mencoba bersikap bijak, meski aku tahu dalam hatinya geli juga melihat wajah baru bapaknya yang tanpa kumis.

Jadi hanya sebuah kumis saja mampu mengelabuhi anak-anaku, istriku, teman-temanku bahkan aku sendiri. Daya magis sebuah kumis telah membuat anak-ku terlena dalam gendongan meski risih setiap kali pipinya bersenggolan dengan kumisku. Atau jangan-jangan..... istriku sampai beranak tiga juga hanya karena kumis ini?

Mungkin tanpa aku sadari, banyak “kumis-kumis” yang lain yang telah membiarkan mataku tertipu selama ini, bahkan telah menuntun jalan berpikirku untuk mengagumi atau membenci sesuatu hanya karena sebuah “kumis”. Biarlah mereka dan aku belajar menerima wajah baruku yang tanpa kumis ini. (Prahoro Nurtjahyo, 2 Februari 2004)