“Berhati-hatilah kalau naik angkutan kota”. Begitu pesan si teman ketika suatu saat saya hendak bersilaturahmi mengunjungi rumahnya. Karena si teman ini tidak memberi penjelasan yang lebih detail, justeru ini yang menggelitik saya untuk mencari tahu kenapa kok harus hati-hati. Kalau alasannya karena copet, berarti si pencopet salah alamat, karena saya bukan orang yang berduit.
Saya duduk di bangku terminal hanya untuk mengamati lalu lalangnya angkutan kota (angkot). Mulai dari antri ngetem, kemudian keluar terminal menuju ke tempat tujuan sesuai dengan jalur trayeknya. Saya tidak melihat keanehan yang berarti, semua aktifitas terlihat wajar. Kalaupun ada calo, saya melihat itu bagian normal dari kehidupan di terminal.
Saya duduk di bangku terminal hanya untuk mengamati lalu lalangnya angkutan kota (angkot). Mulai dari antri ngetem, kemudian keluar terminal menuju ke tempat tujuan sesuai dengan jalur trayeknya. Saya tidak melihat keanehan yang berarti, semua aktifitas terlihat wajar. Kalaupun ada calo, saya melihat itu bagian normal dari kehidupan di terminal.
Setelah terlebih dulu “meneliti” si sopir, saya memutuskan untuk naik angkot berwarna biru tua dengan label S yang menurut jalurnya melewati tempat yang akan saya tuju. Menurut saya, si sopir masih terlihat energik dan peduli dengan organ tubuhnya sendiri. Terbukti dengan bertenggernya kaca mata hitam BL yang melindungi matanya dari terik matahari. Entah hanya karena untuk bergaya atau tidak, dalam hal yang satu ini ada nilai plus untuk si sopir ini dibanding sopir yang lain. Bagaimana dia akan melindungi penumpangnya jika untuk organnya sendiri saja dia tidak peduli?
Ikut antri di dalam angkot yang sedang ngetem ternyata sangat meresahkan. Bayangkan, semua tempat duduk yang sudah penuh oleh penumpang belum membuat si sopir men-starter mobil angkotnya. Bahkan dengan tenang dia mengeluarkan bangku cadangan (dari papan, semacam dingklik panjang) untuk menambah jumlah penumpang. Dalam hati, saya mengutuk diri sendiri, “Kenapa saya memilih angkot yang ini?”.
Setelah benar-benar pack, akhirnya angkotpun keluar dari terminal. Wuh…lega rasanya. Sepuluh menit pertama, perjalanan terasa normal-normal saja. Ada beberapa penumpang yang naik, ada juga yang turun. Si angkot benar-benar melakukan tugas sesuai dengan kodratnya. Sampai suatu ketika, angkot yang saya tumpangi ini dipotong jalannya oleh angkot lain. Biasa, rebutan penumpang. Mendadak sopir yang saya anggap OK tadi menjadi beringas, siap ngebut dan melawan mobil siapa saja yang mendahuluinya. Seolah jalan umum ini adalah milik mbah-nya sendiri sehingga dia harus pada posisi yang paling depan. Gerakan antara pedal gas dan rem yang diinjak oleh si sopir sudah tidak sinkron lagi. Sebagai akibatnya, gerakan kami para penumpang dari menit ke menit hanya miring saja. Sungguh bukan posisi yang nyaman untuk duduk. Ketika si sopir ngebut, posisi kami miring ke belakang. Ketika di rem posisi kami miring ke depan. Lebih parah lagi kalau si angkot sedang belok kiri atau kanan, sampai-sampai di antara para penumpang bertubrukan di dalam angkot yang sudah sumpek ini. Jadi persis sekali seperti adonan kue yang diputer kiri kanan, maju mundur. Dalam keadaan yang seperti ini, saya sempat memperhatikan si sopir dari kaca spion terlihat tersenyum mengetahui para penumpangnya panik. Saya melihat angkutan lain dari kaca jendela, suatu pemandangan yang mirip dengan angkot yang saya tumpangi ini. O.. semua angkot berperilaku sama.
Ternyata, angkot-angkot ini hanya rapi ketika berada di terminal. Begitu keluar dari terminal, aturan kerapian itu tidak ada lagi. Ketika berada di jalan umum, gerakan dari angkot adalah wewenang penuh dari si sopir. Sepertinya tidak ada lagi asas demokrasi di angkot kecil ini. “Akulah dewa penolongmu di angkot ini” begitu kira-kira kata si sopir ke penumpang. Suatu kontrak perjanjian yang berada di alam bawah sadar antara sopir dan penumpang. “Jadi menurutlah dengan dewa penolong ini, jangan banyak cing-cong.” Begitu kira-kira sabda dari si sopir. Apapun yang sopir kerjakan adalah sah karena dia yang pegang setir.
Penumpang memang selalu dalam posisi yang lemah. Meskipun secara kuantitas lebih banyak ketimbang sopir, tetapi selalu saja kalah dalam bargain. Meskipun sudah jelas membayar dan mempunyai hak untuk sampai di tempat tujuan dengan selamat, masih saja duduk terdiam di bangku belakang, sambil geleng-geleng melihat tingkah si sopir. Bahkan yang sering terlihat adalah saling pandang antar penumpang atau bisik-bisik di antara para penumpang. Suatu bentuk kepatuhan yang seringkali disalahgunakan oleh para sopir.
Saya justeru melihat betapa sopir-sopir ini harus banyak belajar kepada para penumpang yang sangat pemaaf itu. Coba bayangkan, sebagai orang-orang yang dianiaya, didholimi, masih saja memberi uang kepada si sopir setelah turun dari angkot itu. Tidak peduli apakah selama perjalanan tadi si sopir itu ngebut atau ugal-ugalan, selalu saja penumpang masih mengulurkan tangan sambil membayar dan masih ada tambahan lagi ucapan “Terima kasih Pak”. Itulah hebatnya penumpang, sejelek apapun perlakuan si sopir, masih saja ada norma yang dipakai sebagai sesama hambaNya. Norma yang seharusnya juga dipakai oleh si sopir ketika mengantarkan para penumpang ini sampai ke tujuan.
Sesampai di rumah teman, saya duduk untuk kembali berpikir apa yang baru saja saya alami, sambil membuka pembicaraan saya bilang “Kalau doa anda ingin dikabulkan olehNya, anda harus sering-sering naik angkot. Karena disitulah tempat bertemunya kaum yang teraniaya. Kalau seluruh penumpang di dalam angkot itu mengamini doa anda, Insya Allah permintaan anda akan segera terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama”. (Prahoro Nurtjahyo, 11 Februari 2004)
Ikut antri di dalam angkot yang sedang ngetem ternyata sangat meresahkan. Bayangkan, semua tempat duduk yang sudah penuh oleh penumpang belum membuat si sopir men-starter mobil angkotnya. Bahkan dengan tenang dia mengeluarkan bangku cadangan (dari papan, semacam dingklik panjang) untuk menambah jumlah penumpang. Dalam hati, saya mengutuk diri sendiri, “Kenapa saya memilih angkot yang ini?”.
Setelah benar-benar pack, akhirnya angkotpun keluar dari terminal. Wuh…lega rasanya. Sepuluh menit pertama, perjalanan terasa normal-normal saja. Ada beberapa penumpang yang naik, ada juga yang turun. Si angkot benar-benar melakukan tugas sesuai dengan kodratnya. Sampai suatu ketika, angkot yang saya tumpangi ini dipotong jalannya oleh angkot lain. Biasa, rebutan penumpang. Mendadak sopir yang saya anggap OK tadi menjadi beringas, siap ngebut dan melawan mobil siapa saja yang mendahuluinya. Seolah jalan umum ini adalah milik mbah-nya sendiri sehingga dia harus pada posisi yang paling depan. Gerakan antara pedal gas dan rem yang diinjak oleh si sopir sudah tidak sinkron lagi. Sebagai akibatnya, gerakan kami para penumpang dari menit ke menit hanya miring saja. Sungguh bukan posisi yang nyaman untuk duduk. Ketika si sopir ngebut, posisi kami miring ke belakang. Ketika di rem posisi kami miring ke depan. Lebih parah lagi kalau si angkot sedang belok kiri atau kanan, sampai-sampai di antara para penumpang bertubrukan di dalam angkot yang sudah sumpek ini. Jadi persis sekali seperti adonan kue yang diputer kiri kanan, maju mundur. Dalam keadaan yang seperti ini, saya sempat memperhatikan si sopir dari kaca spion terlihat tersenyum mengetahui para penumpangnya panik. Saya melihat angkutan lain dari kaca jendela, suatu pemandangan yang mirip dengan angkot yang saya tumpangi ini. O.. semua angkot berperilaku sama.
Ternyata, angkot-angkot ini hanya rapi ketika berada di terminal. Begitu keluar dari terminal, aturan kerapian itu tidak ada lagi. Ketika berada di jalan umum, gerakan dari angkot adalah wewenang penuh dari si sopir. Sepertinya tidak ada lagi asas demokrasi di angkot kecil ini. “Akulah dewa penolongmu di angkot ini” begitu kira-kira kata si sopir ke penumpang. Suatu kontrak perjanjian yang berada di alam bawah sadar antara sopir dan penumpang. “Jadi menurutlah dengan dewa penolong ini, jangan banyak cing-cong.” Begitu kira-kira sabda dari si sopir. Apapun yang sopir kerjakan adalah sah karena dia yang pegang setir.
Penumpang memang selalu dalam posisi yang lemah. Meskipun secara kuantitas lebih banyak ketimbang sopir, tetapi selalu saja kalah dalam bargain. Meskipun sudah jelas membayar dan mempunyai hak untuk sampai di tempat tujuan dengan selamat, masih saja duduk terdiam di bangku belakang, sambil geleng-geleng melihat tingkah si sopir. Bahkan yang sering terlihat adalah saling pandang antar penumpang atau bisik-bisik di antara para penumpang. Suatu bentuk kepatuhan yang seringkali disalahgunakan oleh para sopir.
Saya justeru melihat betapa sopir-sopir ini harus banyak belajar kepada para penumpang yang sangat pemaaf itu. Coba bayangkan, sebagai orang-orang yang dianiaya, didholimi, masih saja memberi uang kepada si sopir setelah turun dari angkot itu. Tidak peduli apakah selama perjalanan tadi si sopir itu ngebut atau ugal-ugalan, selalu saja penumpang masih mengulurkan tangan sambil membayar dan masih ada tambahan lagi ucapan “Terima kasih Pak”. Itulah hebatnya penumpang, sejelek apapun perlakuan si sopir, masih saja ada norma yang dipakai sebagai sesama hambaNya. Norma yang seharusnya juga dipakai oleh si sopir ketika mengantarkan para penumpang ini sampai ke tujuan.
Sesampai di rumah teman, saya duduk untuk kembali berpikir apa yang baru saja saya alami, sambil membuka pembicaraan saya bilang “Kalau doa anda ingin dikabulkan olehNya, anda harus sering-sering naik angkot. Karena disitulah tempat bertemunya kaum yang teraniaya. Kalau seluruh penumpang di dalam angkot itu mengamini doa anda, Insya Allah permintaan anda akan segera terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama”. (Prahoro Nurtjahyo, 11 Februari 2004)
No comments:
Post a Comment