Wednesday, March 31, 2004

Gapura

Walah..sialan, beginilah yang terjadi kalau punya niat yang setengah-setengah. Tidak mau ikut acara kerja bakti, nanti dikira tidak mau bermasyarakat. Mau ikut kerja bakti, udara pagi masih dingin dan mata ini masih berat untuk dibuka. Ya sudahlah...akhirnya rasa gengsi lebih men-dominasi, sehingga dengan kedinginan-pun aku paksakan untuk keluar rumah.

Pagi ini aku berdiri membelakangi kampungku dengan menghadap ke timur sambil menanti matahari terbit. Inilah pertama kali aku menjemput sang surya setelah sekian lama dia datang mendahului pagiku. Kalau bukan karena seruan pak RT untuk datang acara kerja bakti mengangkat Gapura, sudah barang tentu aku lebih memilih berselimut dengan istri dan anak-anakku.


Dari kejauhan aku melihat warga kampung saling bergantian memikul Gapura sambil berjalan menuju pintu masuk desa. Menurut perkiraanku, paling tidak Gapura yang berukuran raksasa itu hanya mampu terangkat oleh 15 - 20 orang. Dalam hati aku menyalahkan kepada si pembuat Gapura ini. "Kok bikin orang repot saja. Kenapa harus membuat Gapura sebesar Bagong begitu? Sudah ukurannya besar, beratnya minta ampun". Makianku hanya menambah aku senewen saja. "Kenapa tidak bikin gubuk kecil saja, toh yang penting ada lambangnya"

Mau balik arah untuk pulang sudah terlambat. Entah karena sungkan atau memang ada niatan untuk membantu, akhirnya aku ikut berbaur dengan warga desa yang menggotong Gapura tadi. Ternyata beban Gapura ini lebih berat dari yang aku perkirakan. Sontoloyo sekali pembuat disain Gapura ini. Semakin menyesal saja aku dengan keputusanku ikut rombongan ini. Dengan nafas ngos-ngosan akhirnya sampai juga Gapura di pintu desa. Dan pekerjaan dengan Gapura "sialan" itu belum selesai sampai disitu. Gapura yang besar dan berat itu, masih harus diberdirikan. Pekerjaan yang ini tidak kalah beratnya dibanding gerakan masa menggotong Gapura tadi. Gile...nafas masih belum teratur tetapi sudah menyusul tugas berikutnya.

Meskipun dengan susah payah, akhirnya tugas dengan Gapura itu selesai juga. Semua warga tidak ada yang menyangka bahwa tugas yang sedemikian beratnya itu mampu dikerjakan. Termasuk aku. Sungguh diluar dugaanku, ternyata indah sekali Gapura yang tadi digotong ramai-ramai dan akhirnya berdiri tegak itu. Kebersamaan dengan warga kampungku membuat lelahku hilang, bahkan yang muncul adalah keinginan untuk menjaga bersama kampung yang sekarang sudah mempunyai tanda desa berupa Gapura ini. Seketika itu pula hilang makianku ke pembuat Gapura ini. Yang muncul adalah rasa terima kasih, yang tanpa kami sadari, keberadaan Gapura ini telah membuat warga kami menjadi lebih mengenal satu dengan yang lain. (Prahoro Nurtjahyo, 31 Maret 2004)

Monday, March 15, 2004

Anak-anak liburan

Liburan musim semi bagi anak-anak sekolah adalah salah satu dari liburan di negeri ini yang saya paling tidak sukai. Selain karena lamanya liburan yang pendek (hanya seminggu) juga karena liburan berlangsung di sela-sela waktu kerja, masih relative di awal tahun. Biasanya liburan berlangsung pada pertengahan bulan Maret. Tapi mau bagaimana lagi, inilah saat yang bisa kami nikmati bersama anggota keluarga. Karenanya saya harus fleksibel mengikuti jadwal liburan anak-anak sekolah. Dengan terpaksa aku meminta ijin cuti kepada atasan di kantor dengan alasan ada keperluan keluarga. Suatu alasan klasik yang sangat personal dan orang lain tidak akan mengejar lebih detail.

Jauh-jauh hari sebelum liburan, aku sudah warning ke seluruh anggota keluarga. Musim semi adalah hantu bagi seluruh keluargaku. Istriku selalu alergi dengan udara di luar rumah karena bersamaan dengan mulainya beterbangan benang sari ke kepala putik dari tumbuhan di sekitar rumah. “Jangan ada yang sakit, jaga baik-baik kesehatan, biar nanti pas liburan semuanya bisa enjoy”.

Seminggu sebelum liburan, saya sudah ikutan sibuk dengan istri untuk berancang-ancang merencanakan akan kemana saja liburan yang pendek ini sambil menata dana keuangan dari pos yang mana yang bisa di-rem atau paling tidak ditunda pelaksanaanya demi kelancaran acara liburan musim semi ini.

Ternyata, yang paling sibuk untuk menata acara justru saya sendiri yang nota bene paling membenci acara liburan pendek ini. Tapi itulah kenyataannya, selama seminggu pula saya harus berkemas semua persiapan hingga larut malam. Akhirnya sayapun terlelap oleh kecapaian yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Suatu pagi menjelang liburan, sewaktu bangun tidur, badan saya terasa lemas. Celaka ini! Tenggorakan saya mulai ada yang menggelitik. Hidung mulai buntu dan susah untuk bernafas dengan normal. Walah..ternyata saya kena serangan flu. Bersin-bersin yang semula saya anggap ringan ternyata mulai sering frekuensinya.

Saya lihat wajah anak-anak saya yang jelas kecewa antara harapan dan kenyataan setelah melihat bapaknya yang tergolek lemas di tempat tidur. Bahkan istri saya menghalau anak-anak saya untuk tidak dekat-dekat bapaknya. “Kepala ayahmu pusing, jangan gaduh, nanti ayahmu marah”. Akhirnya liburan seminggu diisi dengan suasana yang hening di rumah. Keheningan yang sangat terpaksa harus dilakoni oleh anak-anak saya. Kebingungan melihat kenyataan yang mengharuskan mereka tinggal di rumah selama seminggu untuk duduk diam karena harus “keep quite” takut kalau kena marah ayah-nya. Sungguh dalam kondisi yang seperti ini saya merasa berdosa kepada mereka. Mendzolimi gerak bebasnya dengan mengabaikan suatu warning untuk menjaga kesehatan yang seharusnya kepada aturan itu, SAYA-LAH orang pertama yang harus menjalaninya. Ternyata saya-lah satu-satunya anggota keluarga yang melanggar aturan yang saya buat sendiri sehingga jatuh sakit, sementara istri dan anak-anak yang terhindar dari sakit hanya terdiam selama seminggu untuk melayani saya. “Ayah macam apa saya ini?” (Prahoro Nurtjahyo, 15 Maret 2004)