Liburan musim semi bagi anak-anak sekolah adalah salah satu dari liburan di negeri ini yang saya paling tidak sukai. Selain karena lamanya liburan yang pendek (hanya seminggu) juga karena liburan berlangsung di sela-sela waktu kerja, masih relative di awal tahun. Biasanya liburan berlangsung pada pertengahan bulan Maret. Tapi mau bagaimana lagi, inilah saat yang bisa kami nikmati bersama anggota keluarga. Karenanya saya harus fleksibel mengikuti jadwal liburan anak-anak sekolah. Dengan terpaksa aku meminta ijin cuti kepada atasan di kantor dengan alasan ada keperluan keluarga. Suatu alasan klasik yang sangat personal dan orang lain tidak akan mengejar lebih detail.
Jauh-jauh hari sebelum liburan, aku sudah warning ke seluruh anggota keluarga. Musim semi adalah hantu bagi seluruh keluargaku. Istriku selalu alergi dengan udara di luar rumah karena bersamaan dengan mulainya beterbangan benang sari ke kepala putik dari tumbuhan di sekitar rumah. “Jangan ada yang sakit, jaga baik-baik kesehatan, biar nanti pas liburan semuanya bisa enjoy”.
Seminggu sebelum liburan, saya sudah ikutan sibuk dengan istri untuk berancang-ancang merencanakan akan kemana saja liburan yang pendek ini sambil menata dana keuangan dari pos yang mana yang bisa di-rem atau paling tidak ditunda pelaksanaanya demi kelancaran acara liburan musim semi ini.
Ternyata, yang paling sibuk untuk menata acara justru saya sendiri yang nota bene paling membenci acara liburan pendek ini. Tapi itulah kenyataannya, selama seminggu pula saya harus berkemas semua persiapan hingga larut malam. Akhirnya sayapun terlelap oleh kecapaian yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Suatu pagi menjelang liburan, sewaktu bangun tidur, badan saya terasa lemas. Celaka ini! Tenggorakan saya mulai ada yang menggelitik. Hidung mulai buntu dan susah untuk bernafas dengan normal. Walah..ternyata saya kena serangan flu. Bersin-bersin yang semula saya anggap ringan ternyata mulai sering frekuensinya.
Saya lihat wajah anak-anak saya yang jelas kecewa antara harapan dan kenyataan setelah melihat bapaknya yang tergolek lemas di tempat tidur. Bahkan istri saya menghalau anak-anak saya untuk tidak dekat-dekat bapaknya. “Kepala ayahmu pusing, jangan gaduh, nanti ayahmu marah”. Akhirnya liburan seminggu diisi dengan suasana yang hening di rumah. Keheningan yang sangat terpaksa harus dilakoni oleh anak-anak saya. Kebingungan melihat kenyataan yang mengharuskan mereka tinggal di rumah selama seminggu untuk duduk diam karena harus “keep quite” takut kalau kena marah ayah-nya. Sungguh dalam kondisi yang seperti ini saya merasa berdosa kepada mereka. Mendzolimi gerak bebasnya dengan mengabaikan suatu warning untuk menjaga kesehatan yang seharusnya kepada aturan itu, SAYA-LAH orang pertama yang harus menjalaninya. Ternyata saya-lah satu-satunya anggota keluarga yang melanggar aturan yang saya buat sendiri sehingga jatuh sakit, sementara istri dan anak-anak yang terhindar dari sakit hanya terdiam selama seminggu untuk melayani saya. “Ayah macam apa saya ini?” (Prahoro Nurtjahyo, 15 Maret 2004)
Seminggu sebelum liburan, saya sudah ikutan sibuk dengan istri untuk berancang-ancang merencanakan akan kemana saja liburan yang pendek ini sambil menata dana keuangan dari pos yang mana yang bisa di-rem atau paling tidak ditunda pelaksanaanya demi kelancaran acara liburan musim semi ini.
Ternyata, yang paling sibuk untuk menata acara justru saya sendiri yang nota bene paling membenci acara liburan pendek ini. Tapi itulah kenyataannya, selama seminggu pula saya harus berkemas semua persiapan hingga larut malam. Akhirnya sayapun terlelap oleh kecapaian yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Suatu pagi menjelang liburan, sewaktu bangun tidur, badan saya terasa lemas. Celaka ini! Tenggorakan saya mulai ada yang menggelitik. Hidung mulai buntu dan susah untuk bernafas dengan normal. Walah..ternyata saya kena serangan flu. Bersin-bersin yang semula saya anggap ringan ternyata mulai sering frekuensinya.
Saya lihat wajah anak-anak saya yang jelas kecewa antara harapan dan kenyataan setelah melihat bapaknya yang tergolek lemas di tempat tidur. Bahkan istri saya menghalau anak-anak saya untuk tidak dekat-dekat bapaknya. “Kepala ayahmu pusing, jangan gaduh, nanti ayahmu marah”. Akhirnya liburan seminggu diisi dengan suasana yang hening di rumah. Keheningan yang sangat terpaksa harus dilakoni oleh anak-anak saya. Kebingungan melihat kenyataan yang mengharuskan mereka tinggal di rumah selama seminggu untuk duduk diam karena harus “keep quite” takut kalau kena marah ayah-nya. Sungguh dalam kondisi yang seperti ini saya merasa berdosa kepada mereka. Mendzolimi gerak bebasnya dengan mengabaikan suatu warning untuk menjaga kesehatan yang seharusnya kepada aturan itu, SAYA-LAH orang pertama yang harus menjalaninya. Ternyata saya-lah satu-satunya anggota keluarga yang melanggar aturan yang saya buat sendiri sehingga jatuh sakit, sementara istri dan anak-anak yang terhindar dari sakit hanya terdiam selama seminggu untuk melayani saya. “Ayah macam apa saya ini?” (Prahoro Nurtjahyo, 15 Maret 2004)
No comments:
Post a Comment