Wednesday, May 19, 2004

American Idol 2004 vs. Pemilihan Presiden RI 2004

Ketika Ruben Studdard dan Clay Aiken tampil sebagai finalis pada American Idol tahun 2003, saya tidak terlalu terkejut dan membenarkan bahwa dua orang itu layak sebagai finalis. Rubben yang "gendut" maupun Clay yang "kurus nyentrik" tidak membuat para pemilih menjadi berbelok arah karena penampilan mereka. Karena keduanya memiliki kualitas yang lebih dibandingkan dengan finalis yang lain. Malahan kalau boleh memuji, tahun 2003 yang lalu, 10 finalis mempunyai chance yang sama untuk sampai ke babak final. Namun demikian tidak ada istilah "Lucky" buat Ruben atau Clay ketika menjadi finalis American Idol tahun 2003. Mereka harus bekerja keras untuk menunjukkan bahwa mereka pantas sebagai finalis.


Mari kita lihat tahun ini, 2004. Tayangan TV oleh FOX yang memposisikan para pemirsa sebagai juri ini telah menyajikan tontonan yang "aneh tapi nyata". Mulai dari babak penjaringan di masing-masing kota yang ruwet, sampai ke polemik ketika memasuki babak 10 besar. John Stevens yang berpenampilan kalem dan suara pas-pasan justru dapat menyingkirkan mereka-mereka yang berkualitas (seperti Jennifer). Bahkan, ketika di 4 besar, La Toya London yang diunggulkan harus turun panggung for good, sementara Jasmine Trias yang shaky tetap terus muncul untuk babak berikutnya.

Saya tidak ikutan sewot karena La Toya dan Jennifier harus keluar dari kompetisi sementara John dan Jasmine masih terus "dipaksakan" bertanding. Mengapa tahun 2003 tidak muncul masalah-masalah seperti tahun ini? Apakah sistem penjuriannya yang salah, atau karena jaringan telpon yang tersedia terbatas? Kalau dari sisi fasilitas kok rasanya tidak mungkin. Mengapa? Karena tahun 2003, sebanyak 115 juta pemilih rasanya aman-aman saja. Jadi apanya ini yang salah?

Saya tidak tertarik untuk mengomentari apanya yang salah dalam American idol 2004 ini, justeru yang menarik bagi saya adalah membayangkan situasi yang terjadi di American Idol 2004 dengan Pemilihan Presiden RI 2004.

Jangan-jangan fenomena ini yang akan terjadi ketika kita melakukan pemilihan presiden tanggal 5 Juli 2004 nanti. Rakyat sudah tutup mata, tutup telingga dan tidak peduli lagi dengan kualitas para calon pemimpinnya. Karena dari Jawa, maka pilihannya sudah pasti jatuh ke Wiranto. Karena dari Kalimantan, maka pilihannya mutlak ke Hamzah Haz. Karena berasal dari Sulawesi, maka pilihannya pasangan Jusuf Kalla. Karena NU maka pilihannya ke Hasyim Muzadi. Karena santri pedalaman, maka memilih calon presiden yang tidak perempuan. Karena santri kota, maka pilihannya Amin Rais. Banyak sekali pikiran-pikiran sempit yang dijadikan alat legitimasi untuk melakukan pilihan. Dan itu sah, karena ada kepentingan pihak lain yang menciptakan suasana seperti itu.

Maka janganlah heran jika pemilihan presiden nanti menghasilkan pasangan yang aneh. Yang sudah jelas-jelas tidak bermutu, malah akan terpilih. Sementara yang berkualitas, malah masuk kotak dibabak awal. Pesta demokrasi di negara kita ini selalu berada pada situasi mencari The best among the worst. Tapi jangan kuatir, Amerika Serikat yang disebut mbahnya negara demokrasi (sejak 4 Juli 1776) saja juga terkecoh kok. Buktinya the best seperti La Toya London sudah harus tersisihkan oleh mereka-mereka yang kualitasnya lebih rendah. Lha apalagi Indonesia yang baru berusia 6 tahun, yang dilahirkan kembali (reborn) tanggal 21 Mei 1998. (Prahoro Nurtjahyo, 19 Mei 2004)