Wednesday, November 10, 2004

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Indonesia

Kening saya secara otomatis berkerut ketika membaca buku tentang anotomi tubuh khususnya bagian otak. Ternyata semua otak manusia berbentuk sama. Seseorang yang dilahirkan di New Delhi, India atau di Ponorogo, Jawa Timur akan mempunyai bentuk dan ukuran yang mirip. Akhirnya saya berani berkesimpulan, otak orang-orang Indonesia sama dengan otak orang-orang dari negara lain. Yang membedakan adalah bagaimana masing-masing orang mengisi otaknya sehingga mempengaruhi cara berpikirnya. Jadi adalah tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa bibit SDM Indonesia termasuk dalam kelas kacangan, bukan bibit unggul. Sehingga kalau ada satu yang kelihatan encer, cepat-cepat mereka mengatakan “O..si A itu perkecualian”.
 
Tentang kharakter sebuah masyarakat, kalau dibaca dari sejarah (terutama setting kerajaan), bukan saja ditanah Jawa, tetapi hampir di semua belahan dunia, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah untuk sebuah kursi kekuasan. Lihat saja sejarah di Romawi, Yunani, India apalagi dari dataran Cina. Artinya, sifat dasar masyarakat Indonesia kurang lebih sama dengan mereka-mereka dibelahan dunia yang lain. 

Dua paragraph di atas memberikan data bahwa raw material-nya sama apakah itu orang Indonesia atau bukan (asal kakinya masih menginjak di planet yang sama, Bumi). Dalam konteks pemberdayaan SDM Indonesia saya melihat adanya kekuatan eksternal yang lebih kuat dibandingkan faktor internal. Namun sebelum melangkah lebih spesifik tentang SDM, mari kita lihat keberadaan negara kita Indonesia secara makro, yaitu idelogi sebuah negara.

 
Ideologi bernegara

Premis saya sebagai berikut “Penjajahan merupakan sumber perusak moral bangsa kita”. Saya percaya bahwa mentalitas feodal adalah warisan akibat penjajahan. Mari kita melek bersama, bahwa sekarang ini pemaksaan sebuah ideologi tidak lagi seperti jaman dulu ketika kita dijajah Belanda atau Jepang. Bentuk penjajahan sekarang ini sudah sedemikian halusnya seiring dengan isu globalisasi yang dihembuskan. Seolah kita semua meng-amin-i bahwa negara diseluruh dunia ini sudah menyatu, tidak ada lagi sekat geografis antar negara. Benarkah? Sebentar dulu. Jangan sampai kita terkecoh dan termakan oleh pernyataan ini. Untuk perkembangan teknologi IT, itu benar. Hampir seluruh negara di dunia ini tidak mempunyai kuasa menolak laju perkembangan teknologi ini. Teknologi ini telah mampu menggenggam dunia dalam hitungan detik. Bagaimana dari kaca mata ideologi bernegara? Benarkah seluruh dunia ini akan mempunyai idelogi tunggal? Tentu saja tidak. Itu adalah kharakteristik suatu bangsa. Ketika bungkusan ideologi ini dibuka di atas meja, maka kepada negara yang memiliki teknologilah yang akan men-driven negara lain. Inilah bentuk penjajahan baru.

 
Faktor eksternal
 

Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar bebas). Perdagangan pasar bebas bukanlah gosip atau rumor yang kehadirannya masih dipertanyakan. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah beli tiket dan akan datang ke negara kita dan akan menetap untuk jangka waktu yang lama. Siapkah kita? Bagaimana SDM kita menghadapi tamu ini?
Menganggap pembajakan tenaga ahli Indonesia sebagai hal yang lumrah adalah konsep nrimo, seolah kita tidak kuasa terhadap dampak globalisasi ini. Kita membiarkan mereka pergi karena kita tidak mampu bersaing dengan yang membajak. Dua akar permasalahan yang berbeda. Yang pertama, kita biarkan mereka pergi karena ada tawaran yang lebih baik. Alasan perut atau idealisme. Sedangkan yang kedua, ternyata treatment bangsa kita terhadap anak bangsa sendiri masih tergolong rasis dan tidak mempunyai nilai kompetitif. Rasis kok sama bangsa sendiri. Dari dua akar permasalahan tadi, alasan pertama lebih disebabkan karena alasan kedua muncul terlebih dulu.


Tidak mungkin SDM Indonesia yang dibajak adalah mereka-mereka yang hanya berkemampuan di atas rata-rata saja. Paling tidak mereka-mereka yang dibajak ini adalah mereka yang mempunyai kriteria jenis langka dibidangnya, dimana pembajak tidak mempunyai keahliannya.

 

Dalam era globalisasi, membiarkan SDM yang potensial (100% kemampuannya) dibajak artinya memberi kesempatan SDM negara lain untuk masuk. Akankah kita adu SDM Indonesia yang masih 50% kemampuannya diadu dengan SDM dari India atau Cina (misalnya) yang fully 100% kemampuannya? Kalau mau profesional, adu mereka dengan kekuatan yang sama 100%. Itu namanya profesional dan bukan karena alasan sesama bangsa Indonesia (KKN), yang berkemampuan 50% dimenangkan dan naik daun menjadi pejabat. Ini konyol namanya. Tidak heran, kualitas kita saat ini serba tanggung, akhirnya menghasilkan 4 kasta pejabat. Kasta pertama, berani dan berkemampuan. Kasta kedua, berani tetapi tidak berkemampuan. Kasta ketiga, tidak berani tetapi mempunyai kemampuan, dan yang Kasta keempat, tidak berani dan tidak berkemampuan. Kasta mana yang paling banyak isinya di negara kita? Ada dua, mereka yang berani tetapi tidak berkemampuan (yang penting ngotot dan berdalil "pokoknya") dan tidak berani tetapi punya kemampuan (nrimo tapi beban batin). Inilah salah satu sumbangsih kita bersama ketika mengikhlaskan para SDM yang berkualitas dibajak oleh negara lain.
 
Faktor Internal

Membentuk assosiasi keahlian di dalam negeri dalam upaya untuk mencegah lajunya SDM asing masuk ke Indonesia adalah ide bagus. Namun demikian harus juga ditunjukkan kepada mereka bahwa SDM kita memang berpotensi dan siap untuk diadu dengan mereka dipasaran. Kalau pengujinya mempunyai kemampuan lebih rendah dari yang diuji, para SDM luar negeri (India misalnya), bisa-bisa kita dikibuli apalagi para gelehe-gelehe atau nehi-nehi itu jagonya ngomong. Konsekuensinya? Pasang para SDM Indonesia yang handal untuk menghadapi SDM dari luar negeri ini.

 

Memperkuat barisan SDM di Indonesia. Perlu penghargaan bagi mereka yang memang potensial. Kita tidak usah iri. Mereka wajar untuk memperolehnya sesuai dengan tingkat kemampuan dan karyanya untuk pembangunan bangsa ini. Sambil waktu berjalan, mari manfaatkan sumber alam yang tersisa ini ditunjang dengan infrastruktur yang ada. Itu artinya, ada nilai kompetitif dan tujuan yang jelas mengapa kita jaga orang-orang yang berkualitas untuk berkarya dibidangnya di Indonesia. Ada reward dan pekerjaan yang jelas. Sasaran lainnya adalah ini bagian dari proses mencerdaskan kehidupan bermasyarakat bahwa gaji yang mereka terima adalah halal (karena memperoleh reward sesuai dengan jenis perkerjaan dan tanggung jawabnya), tidak makan gaji buta.
 
Kesimpulan
 

SDM Indonesia saat ini berpencaran kemana-mana tanpa ada arahan yang jelas mau dibawa kemana dan untuk apa. Jumlah ini akan terus bertambah jika kita masih menganggap bahwa pembajakan tenaga ahli Indonesia oleh negara lain adalah hal yang lumrah dan bukan merupakan sebuah ancaman. Adalah tugasnya pemegang kekuasaan (pemerintah) untuk menyiapkan blue print tentang visi kedepan. Teknologi apa saja yang ingin dicapai dan SDM jenis seperti apa yang diperlukan. Adakah kita punya SDMnya sekarang? Kalau ada, dimana? Kalau sudah ketemu, mau diapakan? Kalau belum ada SDMnya, apa rencana kita? Dengan visi yang jelas dan komitmen untuk pembangunan Indonesia, saya melihat ikatan psychologis kebangsaan lebih kuat daripada ikatan material. Ini akan mampu menarik SDM Indonesia dari manapun mereka saat ini mencangkul sawahnya untuk berkumpul bersama dan memikirkan satu perut, yaitu perut rakyat Indonesia.
 

Salah satu point yang ingin saya tawarkan adalah memperlakukan SDM Indonesia sebagai asset. Mari kita pelihara SDM kita untuk menghadang ideology negara lain. Jangan dilepas. Ini bukan urusan perut orang per orang tetapi keberlangsungan suatu tatanan bernegara yang harus kita junjung tinggi di atas usaha dan kaki kita sendiri. Tentunya, asset jangan sampai dibuang atau dibiarkan begitu saja. Kita teriak-teriak ketika satelit PALAPA kita dijual ke Singapura. Kenapa kita tidak teriak ketika para ahli kita dibidang telekomunikasi ini ditarik oleh Kanada? Kita lebih sayang barangnya melayang daripada SDMnya yang pergi. Perlu digarisbawahi, tidak semua yang pergi keluar negeri karena alasan perut. Banyak dari mereka yang berada diluar karena melihat hal-hal yang aneh di Indonesia untuk ukuran manusia yang beradab. (published in IATMI-Houston's website). (Prahoro Nurtjahyo, 10 November 2004)

Friday, November 05, 2004

Sumber Daya Manusia Indonesia: sebuah dilemma

Perhatian saya terpancing dengan tulisan di harian Kompas tentang hijrahnya pilot Garuda ke perusahaan penerbangan asing karena alasan suasana kerja yang tidak lagi kondusif. Tetapi kalau dibaca lebih dalam lagi, sebenarnya lebih disebabkan karena pihak perusahaan asing memberikan iming-iming fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ditawarkan oleh pihak Garuda. Selisih perbedaan gaji yang cukup signifikan ditambah bonus berupa mobil mengakibatkan Garuda kehilangan para Gatot Kaca-nya. Malahan jumlah pilot yang berterbangan dari Garuda ini diperkirakan terus bertambah. Sampai akhir tahun ini pilot-pilot yang keluar dari Garuda diperkirakan akan mencapai jumlah 50 pilot. Ini hanya salah satu contoh kasus yang ada di belahan bumi nusantara, khususnya tentang Sumber Daya Manusia (SDM).


Saya sering bilang ke seorang teman, ”Bersyukurlah hidup di negara kita, Indonesia ini. Negara yang banyak amal jariyahnya karena sudah diatur oleh Sutradara sebagai negara penyaji SDM tanpa mampu mengelola SDM itu untuk kemajuan bangsa sendiri.” Mari kita lihat, ketika negara negara di Timur Tengah memerlukan bantuan fisik, Indonesia dengan sigap menyajikan bantuan sejumlah tenaga kerja wanita. Juga, ketika Malaysia memerlukan tenaga ahli untuk merealisasikan visi mereka 2020 tentang penguasaan teknologi dirgantara, dengan cekatan puluhan Doktor kita berpindah ke Kuala Lumpur. Urusan IPTN megap-megap itu urusan belakang, yang penting berbuat kebaikan dulu untuk negara tetangga. Pembajakan tenaga ahli Indonesia sudah lumrah dan dianggap hal yang wajar. Kasus-kasus tersebut sudah berada di permukaan jauh sebelum kasus pilot Garuda yang muncul akhir-akhir ini.

Terlihat dengan jelas, bahwa kita ini tidak memiliki plot atau mapping SDM untuk jangka panjang. Strategi yang kita pakai masih dalam level responsif sesaat. Setiap gerakan kita mudah terbaca oleh negara tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. SDM bagi negara kita bukan merupakan aset yang harus di-kembangbiak-kan, tetapi lebih merupakan beban yang harus dilepas pada suatu saatnya tiba. Banyak para SDM berpotensi yang sengaja dibikin tidak betah di dalam rumah sendiri sehingga akhirnya terpaksa memilih berkeliaran ke luar negeri. Secara makro, yang beruntung jelas negara lain, karena tanpa susah payah berhasil mendapatkan tenaga terampil. Tanpa melalui proses menanam dan memberi pupuk, tetapi langsung memetik buahnya.

Para pakar bilang bahwa kesulitan utama masyarakat kita adalah kemampuan untuk membaca keadaan dan meresponnya dalam bentuk langkah-langkah strategis yang harus dilakukan. Sudah berapa lama kondisi SDM seperti ini berlangsung di negara kita? Apa response-nya? Nothing!

Menyelesaikan permasalahan SDM Indonesia dengan menggunakan hukum kesetimbangan adalah jelas tidak pada tempatnya. Hukum kesetimbangan dalam konteks SDM adalah membiarkan proses brain drain karena beranggapan akan selalu muncul lagi SDM pengganti. Ini adalah konsep naif. Inilah mental yang dihasilkan akibat jaman penjajahan sehingga menciptakan budaya nrimo. Bagaimana konsep seperti ini bisa tumbuh dengan subur di negara kita? Otak dan dengkul sudah bertukar tempatnya!

Sekarang sudah tiba waktunya untuk berubah. Budaya nrimo hanya sebuah pakem yang sering disalah artikan dengan pengertian Tawakal. Pengertian nrimo lebih mengarah kepada kepasrahan sebelum melakukan response. Masyarakat yang madani mengimplementasikan response terhadap semua perubahan yang datang dengan menggunakan otak, nurani dan keberanian untuk bertindak.

Jadi, apa solusinya? Sejarah mencatat bahwa ada dua jenis pekerjaan yang ketika kita sudah mati masih diperbincangkan oleh orang lain. Apa itu? Pertama, menghasilkan karya tulisan yang dapat memberi manfaat bagi pembacanya. Kedua, melakukan sesuatu sehingga orang lain akan menuliskan apa yang sudah kita lakukan. Maka, pilihlah satu diantara dua pekerjaan di atas, setelah itu mari kita berdoa semoga diberi kemampuan untuk berbuat sesuatu demi masyarakat di sekitar kita. (Prahoro Nurtjahyo, 5 November 2004)

Thursday, October 28, 2004

Prediksi Industri MIGAS Indonesia

Ada semacam harapan yang tertunda, was-was atau apapun istilahnya ketika Presiden terpilih SBY mengumumkan susunan kabinet yang disebutnya Kabinet Indonesia Bersatu. Mungkin saya salah, tetapi saya melihat suatu proses yang agak semrawut sehingga terkesan adanya pemaksaan beberapa nama yang masuk dalam jajaran Kabinet tersebut HANYA karena mengejar target tanggal 20 Oktober harus diumumkan. Akan sangat elegan, kalaulah memang sampai tanggal tersebut belum ditemukan orang yang pas untuk jabatan Menteri tertentu, maka dengan rendah hati SBY mengatakan, misalnya “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, karena saya belum menemukan orang yang sesuai untuk jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, maka jabatan tersebut saat ini masih kosong dan untuk sementara dirangkap oleh Menteri Keuangan. Lebih baik mundur satu minggu untuk kebaikan 5 tahun kedepan”. Ini misalnya.


Mengapa saya katakan harapan yang tertunda atau was-was dengan susunan Kabinet ini terhadap ruang lingkup industri MIGAS di Indonesia? Paling tidak ada dua alasan yang mendasarinya, yaitu Pertama, system yang sudah lama berjalan untuk kegiatan MIGAS memerlukan gebrakan yang frontal dan menyeluruh. Kedua, para Menteri yang terkait dengan industri MIGAS pada kabinet saat ini bukan merupakan figur yang sesuai dalam konteks pembenahan yang ada di bidang MIGAS.

Sistem itu sudah ada

Sudah bukan rahasia lagi bahwa permasalahan MIGAS di Indonesia merupakan wilayah yang untouchable sejak jaman Presiden pertama Sukarno sampai Presiden Megawati. Saking lamanya, maka sudah berjibun banyaknya para juragan (baca: Mafia) pada semua proses baik dari hulu sampai hilir. Makanya ada semacam senyum sinis dari kalangan profesional ekonomi ketika Widya Purnama mengatakan ”Saya akan sikat habis Mafia yang ada di Pertamina”. Suatu gebrakan yang patut untuk didukung jika beliau konsisten dengan apa yang disampaikannya pada awal menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina (Persero). Para mafia ini tidak lagi datang dari kalangan non-pemerintah, tetapi sudah merasuki ke pejabat-pejabat terkait di instansi pemerintahan. Buktinya, ketika Dirut Pertamina mengklaim adanya mafia di Pertamina, tidak ada satupun sanggahan dari divisi-divisi dilingkup Pertamina untuk menyangkal statemen itu. Dengan kata lain, semua komponen sudah TST (Tahu Sama Tahu). Dalam konteks yang lebih luas, para pemainnya ternyata bukan hanya satu orang, tetapi sudah saking banyaknya sehingga kita tidak bisa membedakan mana yang bersih dan mana yang kotor.

Melihat kondisi seperti ini, SBY harus mampu membuka semua tirani yang dulunya dianggap tabu dengan menjadikannya transparan. Tentunya ini bukan pekerjaan yang gampang apalagi dalam tataran pelaksanaan. Karena itu diperlukan support dari para profesional yang mempunyai ketangguhan mental dan konsisten ketika berhadapan dengan para Mafia yang sudah bermain di semua aspek di lingkungan MIGAS sejak kakek-nenek mereka.

Leadership yang lemah

Untuk mengadakan perubahan yang fundamental, tidak hanya diperlukan orang yang mumpuni, baik dari segi pengetahuan maupun integritasnya, tetapi juga diperlukan orang-orang yang berani untuk melakukan perubahan itu sendiri. Pada suatu saatnya nanti, semua keputusan akan berhadapan pada dua pilihan ”Cari Selamat” atau ”Turuti hati Nurani”. Pengumuman susunan Kabinet Indonesia Bersatu langsung disambut dengan naiknya nilai tukar Dollar terhadap Rupiah. Sentimen pasar melihat bahwa Kabinet baru ini berada dalam kategori kelas kacangan. Bukan merupakan produk berbobot yang mampu mengangkat pamor dan mempunyai nilai jual untuk sebuah perubahan. Beberapa nama yang dicantumkan dalam susunan kabinet yang berkaitan dengan industri MIGAS tidak berhasil meningkatkan optimistis dari para profesional yang bergelut di bidang ini. Apakah memang sulit mencari orang Indonesia yang mempunyai kemampuan manajerial sekaligus leadership yang mumpuni di bidang MIGAS di Indonesia? Ada semacam aturan tak tertulis bahwa jabatan dilingkungan MIGAS (BPMIGAS, Direktoriat MIGAS, Men. Energi dan SDM) sudah merupakan scenario dari awal yang akan berganti antara satu orang dengan orang yang lain tetapi masih dalam satu loop. Orangnya itu-itu juga. Artinya, adalah harapan yang sangat berlebihan untuk melihat adanya perubahan (paling tidak dalam kurun waktu 5 tahun kedepan) jika orang-orang yang sama masih duduk dalam jabatan yang paling menentukan untuk kebijakan di bidang MIGAS. Hopeless.

Sejarah lima tahun yang lalu membuktikan sepak terjang dan hasil yang telah disumbangkan oleh para senior kita ini. Adakah perubahan? Jawabannya ada. Baik atau burukkah akibat perubahan itu? Nah… ini yang harus dikaji ulang dan perlu evaluasi bersama. Ada banyak berita miring akibat perubahan yang dilakukan berupa aturan-aturan main yang berkaitan dengan investasi di bidang MIGAS. Salah satu yang dirasakan adalah peraturan yang ada sekarang ini justeru memperlambat proses investasi MIGAS yang ada di Indonesia. Cara sederhana untuk melihat benar atau tidaknya berita miring itu, mari kita lihat hasil produksi yang ada. Produksi minyak kita terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Beberapa sebab kemungkinannya adalah karena memang sumber daya alamnya yang sudah mulai menipis, kemudian ditambah akselerasinya karena sebuah aturan yang mbulet dan muter-muter akhirnya bikin pusing para pelaku investasi. Artinya tidak menutup celah bahwa berita miring itu benar adanya. Ada kecenderungan bahwa aturan diciptakan dari pengamatan satu sisi dan menciptakan suasana seperti ungkapan berikut ”Ini aturan kita, kalau anda tidak mau invest silahkan invest diluar Indonesia”. Inikah bentuk dari Nasionalisme yang sedang dibidik oleh para Senior kita? Semua aspek yang berkaitan dengan MIGAS harus dikuasai oleh orang-orang Indonesia sendiri? Jika memang itu sasarannya, kenapa tidak bermain yang wajar dan profesional saja? Permainan selama ini terlihat kasar dan tidak elegan.

Melihat kenyataan yang ada bahwa sumber daya alam MIGAS yang sudah mulai habis, dibarengi dengan para pemegang otoritas yang, maaf, tidak kompeten, tidak mempunyai visi ke depan yang jelas, maka sudah hampir dipastikan bahwa masa depan dunia MIGAS di Indonesia untuk lima tahun kedepan adalah SURAM. Diperlukan perubahan yang menyeluruh untuk mengantisipasi sebuah sistem yang sudah karatan di bidang MIGAS ini. Karena sistemnya sudah karatan, makanya diperlukan orang-orang yang berpengetahuan, bernurani dan berani demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. (Prahoro Nurtjahyo, 28 Oktober 2004)

Sunday, August 08, 2004

Telepon Cellular

Untuk teknologi satu ini, saya merasa paling tertinggal diantara rekan-rekan saya yang lain. Saya tidak alergi bersentuhan dengan teknologi ini, tetapi juga tidak memposisikannya dalam kategori yang urgen. Sebagai seorang yang awam, saya berpikir positif bahwa benda ini diciptakan untuk hal-hal yang urgen. Saya mengartikan urgen sebagai suatu makom yang memilah antara hidup dan mati, surga dan neraka, baik dan benar. Jadi, kalau saya tidak memiliki cellular, bukan takut karena tagihan rekeningnya, tetapi lebih pada prinsip mana yang urgen dan mana yang bisa ditunda. Toh selama ini dengan telepon biasa saja tidak ada masalah untuk berkomunikasi.



Perkembangan telepon cellular ini sedemikian pesatnya sehingga untuk produk generasi generik yang saya sendiri belum pernah melihatnya, sudah muncul model baru dengan segala assesorisnya (ada gambarnya, bisa untuk digital camera, ada game, dls). Semakin tertinggal saja saya dengan benda kecil yang suka ”berdering” ini.

Sebulan yang lalu, salah seorang teman saya mengirim paket sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami. Setelah kami buka ternyata telepon cellular lengkap dengan kartunya yang tinggal pakai saja. Anak-anak saya kegirangan, lompat-lompat bahkan saling berebut untuk mencoba ”makhluk baru” yang sering dilihatnya tetapi belum pernah memegangnya.

Saya dan istri hanya berpandangan saja melihat kehadiran benda kecil ini di rumah kami. ”Walah.. pertanda apa ini?” komentar istri saya. Sudah terbayang di benak akan adanya ”pergeseran nilai” dengan munculnya benda ini. Coba perhatikan, betapa dalam waktu singkat benda kecil ini mampu menarik perhatian seisi rumah hanya melalui deringnya saja yang bisa distel dengan bermacam-macam musik. Si cellular memposisikan diri sebagai seorang bayi yang harus diangkat ketika dia berdering dan mengelusnya sambil menyapa ”Hallo...!”
Berlama-lama dengan benda ini membuat saya takut akan kehilangan nilai kemanusiaan saya (hablum minan naas). Sudah tak terhitung berapa banyak dari teman-teman yang saya potong pembicaraannya karena si cellular ini memanggil (berdering). Setelah saya angkat ternyata suara diseberang hanya menanyakan ”Eh.. tau nomor telponnya si Anu nggak?” atau ”Eh.. jangan lupa, nanti kalau pulang mampir dulu ke McDonald”. Tak terbayangkan, kalau sedang rapat atau sholat Jumat, kemudian si ”bayi” kecil ini merengek minta untuk diangkat. Malu sekali dengan kualitas diri ini, betapa mudahnya saya didikte oleh benda ini. Hilang semua adat, empati dan sopan-santun yang diajarkan nenek moyang karena penyalahgunaan benda ini.

Sesampai di rumah, saya kembalikan si cellular di atas meja. Saya perhatikan lama sekali, dalam hati saya berkata, ”Betapa benda kecil ini mampu mengubah setiap jengkal manusia yang santun menjadi egois dan lupa memposisikan mana yang urgen dalam arti yang sesungguhnya”. (Prahoro Nurtjahyo, 8 Agustus 2004)

Wednesday, May 19, 2004

American Idol 2004 vs. Pemilihan Presiden RI 2004

Ketika Ruben Studdard dan Clay Aiken tampil sebagai finalis pada American Idol tahun 2003, saya tidak terlalu terkejut dan membenarkan bahwa dua orang itu layak sebagai finalis. Rubben yang "gendut" maupun Clay yang "kurus nyentrik" tidak membuat para pemilih menjadi berbelok arah karena penampilan mereka. Karena keduanya memiliki kualitas yang lebih dibandingkan dengan finalis yang lain. Malahan kalau boleh memuji, tahun 2003 yang lalu, 10 finalis mempunyai chance yang sama untuk sampai ke babak final. Namun demikian tidak ada istilah "Lucky" buat Ruben atau Clay ketika menjadi finalis American Idol tahun 2003. Mereka harus bekerja keras untuk menunjukkan bahwa mereka pantas sebagai finalis.


Mari kita lihat tahun ini, 2004. Tayangan TV oleh FOX yang memposisikan para pemirsa sebagai juri ini telah menyajikan tontonan yang "aneh tapi nyata". Mulai dari babak penjaringan di masing-masing kota yang ruwet, sampai ke polemik ketika memasuki babak 10 besar. John Stevens yang berpenampilan kalem dan suara pas-pasan justru dapat menyingkirkan mereka-mereka yang berkualitas (seperti Jennifer). Bahkan, ketika di 4 besar, La Toya London yang diunggulkan harus turun panggung for good, sementara Jasmine Trias yang shaky tetap terus muncul untuk babak berikutnya.

Saya tidak ikutan sewot karena La Toya dan Jennifier harus keluar dari kompetisi sementara John dan Jasmine masih terus "dipaksakan" bertanding. Mengapa tahun 2003 tidak muncul masalah-masalah seperti tahun ini? Apakah sistem penjuriannya yang salah, atau karena jaringan telpon yang tersedia terbatas? Kalau dari sisi fasilitas kok rasanya tidak mungkin. Mengapa? Karena tahun 2003, sebanyak 115 juta pemilih rasanya aman-aman saja. Jadi apanya ini yang salah?

Saya tidak tertarik untuk mengomentari apanya yang salah dalam American idol 2004 ini, justeru yang menarik bagi saya adalah membayangkan situasi yang terjadi di American Idol 2004 dengan Pemilihan Presiden RI 2004.

Jangan-jangan fenomena ini yang akan terjadi ketika kita melakukan pemilihan presiden tanggal 5 Juli 2004 nanti. Rakyat sudah tutup mata, tutup telingga dan tidak peduli lagi dengan kualitas para calon pemimpinnya. Karena dari Jawa, maka pilihannya sudah pasti jatuh ke Wiranto. Karena dari Kalimantan, maka pilihannya mutlak ke Hamzah Haz. Karena berasal dari Sulawesi, maka pilihannya pasangan Jusuf Kalla. Karena NU maka pilihannya ke Hasyim Muzadi. Karena santri pedalaman, maka memilih calon presiden yang tidak perempuan. Karena santri kota, maka pilihannya Amin Rais. Banyak sekali pikiran-pikiran sempit yang dijadikan alat legitimasi untuk melakukan pilihan. Dan itu sah, karena ada kepentingan pihak lain yang menciptakan suasana seperti itu.

Maka janganlah heran jika pemilihan presiden nanti menghasilkan pasangan yang aneh. Yang sudah jelas-jelas tidak bermutu, malah akan terpilih. Sementara yang berkualitas, malah masuk kotak dibabak awal. Pesta demokrasi di negara kita ini selalu berada pada situasi mencari The best among the worst. Tapi jangan kuatir, Amerika Serikat yang disebut mbahnya negara demokrasi (sejak 4 Juli 1776) saja juga terkecoh kok. Buktinya the best seperti La Toya London sudah harus tersisihkan oleh mereka-mereka yang kualitasnya lebih rendah. Lha apalagi Indonesia yang baru berusia 6 tahun, yang dilahirkan kembali (reborn) tanggal 21 Mei 1998. (Prahoro Nurtjahyo, 19 Mei 2004)

Wednesday, March 31, 2004

Gapura

Walah..sialan, beginilah yang terjadi kalau punya niat yang setengah-setengah. Tidak mau ikut acara kerja bakti, nanti dikira tidak mau bermasyarakat. Mau ikut kerja bakti, udara pagi masih dingin dan mata ini masih berat untuk dibuka. Ya sudahlah...akhirnya rasa gengsi lebih men-dominasi, sehingga dengan kedinginan-pun aku paksakan untuk keluar rumah.

Pagi ini aku berdiri membelakangi kampungku dengan menghadap ke timur sambil menanti matahari terbit. Inilah pertama kali aku menjemput sang surya setelah sekian lama dia datang mendahului pagiku. Kalau bukan karena seruan pak RT untuk datang acara kerja bakti mengangkat Gapura, sudah barang tentu aku lebih memilih berselimut dengan istri dan anak-anakku.


Dari kejauhan aku melihat warga kampung saling bergantian memikul Gapura sambil berjalan menuju pintu masuk desa. Menurut perkiraanku, paling tidak Gapura yang berukuran raksasa itu hanya mampu terangkat oleh 15 - 20 orang. Dalam hati aku menyalahkan kepada si pembuat Gapura ini. "Kok bikin orang repot saja. Kenapa harus membuat Gapura sebesar Bagong begitu? Sudah ukurannya besar, beratnya minta ampun". Makianku hanya menambah aku senewen saja. "Kenapa tidak bikin gubuk kecil saja, toh yang penting ada lambangnya"

Mau balik arah untuk pulang sudah terlambat. Entah karena sungkan atau memang ada niatan untuk membantu, akhirnya aku ikut berbaur dengan warga desa yang menggotong Gapura tadi. Ternyata beban Gapura ini lebih berat dari yang aku perkirakan. Sontoloyo sekali pembuat disain Gapura ini. Semakin menyesal saja aku dengan keputusanku ikut rombongan ini. Dengan nafas ngos-ngosan akhirnya sampai juga Gapura di pintu desa. Dan pekerjaan dengan Gapura "sialan" itu belum selesai sampai disitu. Gapura yang besar dan berat itu, masih harus diberdirikan. Pekerjaan yang ini tidak kalah beratnya dibanding gerakan masa menggotong Gapura tadi. Gile...nafas masih belum teratur tetapi sudah menyusul tugas berikutnya.

Meskipun dengan susah payah, akhirnya tugas dengan Gapura itu selesai juga. Semua warga tidak ada yang menyangka bahwa tugas yang sedemikian beratnya itu mampu dikerjakan. Termasuk aku. Sungguh diluar dugaanku, ternyata indah sekali Gapura yang tadi digotong ramai-ramai dan akhirnya berdiri tegak itu. Kebersamaan dengan warga kampungku membuat lelahku hilang, bahkan yang muncul adalah keinginan untuk menjaga bersama kampung yang sekarang sudah mempunyai tanda desa berupa Gapura ini. Seketika itu pula hilang makianku ke pembuat Gapura ini. Yang muncul adalah rasa terima kasih, yang tanpa kami sadari, keberadaan Gapura ini telah membuat warga kami menjadi lebih mengenal satu dengan yang lain. (Prahoro Nurtjahyo, 31 Maret 2004)

Monday, March 15, 2004

Anak-anak liburan

Liburan musim semi bagi anak-anak sekolah adalah salah satu dari liburan di negeri ini yang saya paling tidak sukai. Selain karena lamanya liburan yang pendek (hanya seminggu) juga karena liburan berlangsung di sela-sela waktu kerja, masih relative di awal tahun. Biasanya liburan berlangsung pada pertengahan bulan Maret. Tapi mau bagaimana lagi, inilah saat yang bisa kami nikmati bersama anggota keluarga. Karenanya saya harus fleksibel mengikuti jadwal liburan anak-anak sekolah. Dengan terpaksa aku meminta ijin cuti kepada atasan di kantor dengan alasan ada keperluan keluarga. Suatu alasan klasik yang sangat personal dan orang lain tidak akan mengejar lebih detail.

Jauh-jauh hari sebelum liburan, aku sudah warning ke seluruh anggota keluarga. Musim semi adalah hantu bagi seluruh keluargaku. Istriku selalu alergi dengan udara di luar rumah karena bersamaan dengan mulainya beterbangan benang sari ke kepala putik dari tumbuhan di sekitar rumah. “Jangan ada yang sakit, jaga baik-baik kesehatan, biar nanti pas liburan semuanya bisa enjoy”.

Seminggu sebelum liburan, saya sudah ikutan sibuk dengan istri untuk berancang-ancang merencanakan akan kemana saja liburan yang pendek ini sambil menata dana keuangan dari pos yang mana yang bisa di-rem atau paling tidak ditunda pelaksanaanya demi kelancaran acara liburan musim semi ini.

Ternyata, yang paling sibuk untuk menata acara justru saya sendiri yang nota bene paling membenci acara liburan pendek ini. Tapi itulah kenyataannya, selama seminggu pula saya harus berkemas semua persiapan hingga larut malam. Akhirnya sayapun terlelap oleh kecapaian yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Suatu pagi menjelang liburan, sewaktu bangun tidur, badan saya terasa lemas. Celaka ini! Tenggorakan saya mulai ada yang menggelitik. Hidung mulai buntu dan susah untuk bernafas dengan normal. Walah..ternyata saya kena serangan flu. Bersin-bersin yang semula saya anggap ringan ternyata mulai sering frekuensinya.

Saya lihat wajah anak-anak saya yang jelas kecewa antara harapan dan kenyataan setelah melihat bapaknya yang tergolek lemas di tempat tidur. Bahkan istri saya menghalau anak-anak saya untuk tidak dekat-dekat bapaknya. “Kepala ayahmu pusing, jangan gaduh, nanti ayahmu marah”. Akhirnya liburan seminggu diisi dengan suasana yang hening di rumah. Keheningan yang sangat terpaksa harus dilakoni oleh anak-anak saya. Kebingungan melihat kenyataan yang mengharuskan mereka tinggal di rumah selama seminggu untuk duduk diam karena harus “keep quite” takut kalau kena marah ayah-nya. Sungguh dalam kondisi yang seperti ini saya merasa berdosa kepada mereka. Mendzolimi gerak bebasnya dengan mengabaikan suatu warning untuk menjaga kesehatan yang seharusnya kepada aturan itu, SAYA-LAH orang pertama yang harus menjalaninya. Ternyata saya-lah satu-satunya anggota keluarga yang melanggar aturan yang saya buat sendiri sehingga jatuh sakit, sementara istri dan anak-anak yang terhindar dari sakit hanya terdiam selama seminggu untuk melayani saya. “Ayah macam apa saya ini?” (Prahoro Nurtjahyo, 15 Maret 2004)

Wednesday, February 11, 2004

PEMILU IATMI-Houston

Kampungku IATMI akan mempunyai hajatan besar, yaitu pilihan lurah. Tidak bermaksud untuk ikut-ikutan dengan desa sebelah, Indonesia Raya yang juga akan mengadakan pemilu, tetapi memang kampungku sudah waktunya memiliki lurah. Aneh saja rasanya, sebuah desa kok tidak ada lurahnya.

Aku dengar, desa sebelah itu mempunyai banyak calon lurah, sampai 24 calon. Bahkan ada acara tawuran antar pendukung karena saling ejek di antara calon lurah itu. Heran juga, kenapa desa sebelah ini tidak mencontoh kampungku yang adem ayem, tenang, tenteram dalam hal pilihan lurah. Jangan-jangan memang kampungku ini tidak memerlukan seorang lurah. Cukup, garis komandonya adalah YANG DITUAKAN, garis koordinasinya adalah SALING PENGERTIAN dan system kerjanya adalah GOTONG ROYONG. Hebat sekali memang warga kampungku ini. Mirip sekali dengan ketika aku berkendaraan sampai di perempatan antara jalan Hayes dan jalan Meadowglen yang masing masing arah ada tanda STOP sign, tidak perlu traffic light. Siapa yang datang lebih dulu, ya giliran dia yang jalan. Barangkali seperti inilah suasana di surga. Mungkin! (Prahoro Nurtjahyo, 11 Februari 2004)

Angkutan Kota

Berhati-hatilah kalau naik angkutan kota”. Begitu pesan si teman ketika suatu saat saya hendak bersilaturahmi mengunjungi rumahnya. Karena si teman ini tidak memberi penjelasan yang lebih detail, justeru ini yang menggelitik saya untuk mencari tahu kenapa kok harus hati-hati. Kalau alasannya karena copet, berarti si pencopet salah alamat, karena saya bukan orang yang berduit.

Saya duduk di bangku terminal hanya untuk mengamati lalu lalangnya angkutan kota (angkot). Mulai dari antri ngetem, kemudian keluar terminal menuju ke tempat tujuan sesuai dengan jalur trayeknya. Saya tidak melihat keanehan yang berarti, semua aktifitas terlihat wajar. Kalaupun ada calo, saya melihat itu bagian normal dari kehidupan di terminal.

 
Setelah terlebih dulu “meneliti” si sopir, saya memutuskan untuk naik angkot berwarna biru tua dengan label S yang menurut jalurnya melewati tempat yang akan saya tuju. Menurut saya, si sopir masih terlihat energik dan peduli dengan organ tubuhnya sendiri. Terbukti dengan bertenggernya kaca mata hitam BL yang melindungi matanya dari terik matahari. Entah hanya karena untuk bergaya atau tidak, dalam hal yang satu ini ada nilai plus untuk si sopir ini dibanding sopir yang lain. Bagaimana dia akan melindungi penumpangnya jika untuk organnya sendiri saja dia tidak peduli?

Tuesday, February 03, 2004

Menu Masakan

Keluarga saya mempunyai kebiasaan berkumpul setiap awal bulan untuk membahas hal yang sangat sederhana, yaitu menu masakan. Ide ini muncul bukan karena tanpa sebab. Paling tidak ada 3 alasan. Pertama, masing-masing anggota mempunyai selera makanan yang berbeda. Untuk mengakomodir semua selera, jelas butuh waktu dan dana extra. Sementara dana hanya dipasok untuk satu bulan saja (30 hari). Kedua, Istri saya merasa tidak “diajeni” lagi. Karena setiap masakan yang disodorkan selalu berakhir ke tempat sampah tanpa disentuh oleh para anggota keluarga. Dengan aksen Suroboyo-an “Lha la opo aku masak angel-angel..lek gak ono sing mangan?” (Buat apa masak susah-susah kalau tidak ada yang mau makan?) katanya suatu ketika. Alasan ketiga adalah promosi makanan di luar (baik warung maupun restaurant) yang akhir-akhir ini semakin jor-joran (baca: saling bersaing). Ada yang mengiklankan minum gratis asal makan dua porsi atau bahkan kalau pesan makanan untuk 2 orang, orang yang ketiga bayar 50%, dll.

Menarik sekali ternyata isi diskusi tentang menu masakan ini. Anak saya yang paling besar lebih fokus ke arah daging. “Asal ada daging, saya mau makan” begitu janjinya dalam diskusi. Anak saya yang perempuan ngotot mau makan macaroni dan cheese, dengan syarat rasanya harus sama dengan yang dia makan di kantin sekolahan. Dan anak saya yang masih kecil, 2 tahun, tidak punya hak pilih. Menu untuk dia “dipilihkan” oleh ibunya. Diskusi yang sederhana yang dapat membawa sebuah komitmen di antara anggota keluarga.

Monday, February 02, 2004

Kumis

Hampir 10 tahun aku tidak mencukur “habis” kumis. Kalaulah aku mencukur, paling hanya untuk merapikannya saja. Itu disebabkan karena perjalanan tumbuhnya rambut di kumisku yang tidak kompak, sehingga nilai seni berupa kerapian diperlukan. Paling tidak, dari sisi itulah aku menilai harga sebuah kumis.


Ada rasa keganjilan dan aneh setelah mencukur habis total semua kumisku dan melihat tampang baruku di cermin. “Inikah wajahku selama ini yang tertutup oleh kumis?” Sungguh hebat sekali si kumis ini, bukan aku saja yang dibikin “terpana”, anak-ku yang paling kecilpun menolak untuk aku gendong setelah melihat wajah baruku. Anak-ku yang paling besar tertawa tidak habis-habisnya setiap kali berpapasan denganku. Hanya anak-ku yang perempuan saja yang mencoba bersikap bijak, meski aku tahu dalam hatinya geli juga melihat wajah baru bapaknya yang tanpa kumis.

Jadi hanya sebuah kumis saja mampu mengelabuhi anak-anaku, istriku, teman-temanku bahkan aku sendiri. Daya magis sebuah kumis telah membuat anak-ku terlena dalam gendongan meski risih setiap kali pipinya bersenggolan dengan kumisku. Atau jangan-jangan..... istriku sampai beranak tiga juga hanya karena kumis ini?

Mungkin tanpa aku sadari, banyak “kumis-kumis” yang lain yang telah membiarkan mataku tertipu selama ini, bahkan telah menuntun jalan berpikirku untuk mengagumi atau membenci sesuatu hanya karena sebuah “kumis”. Biarlah mereka dan aku belajar menerima wajah baruku yang tanpa kumis ini. (Prahoro Nurtjahyo, 2 Februari 2004)

Tuesday, January 06, 2004

Dewapun kalah dengan manusia

Dalam cerita wayang, kita mengenal Sri Kresna (titisan Dewa Wisnu). Seorang ksatria berkulit hitam yang sakti mandraguna. Ketika lakon “Kresna Duta” digelar, si dalang menggiring perhatian para penonton dalam episode sebelum terjadinya perang besar Barathayuda. Kresna didaulat oleh saudaranya Pendawa untuk meminta kembali tahta kerajaan yang menjadi haknya yang dipegang oleh Kurawa. Sepertinya para Pendawa menggunakan maneuver pendekatan ke-dewa-annya Kresna. Dengan harapan Kurawa akan segan untuk bertingkah macam-macam.


Cara berpikir Pendawa ternyata bertolak belakang dengan jalan berpikir para Kurawa. Ternyata kehadiran Kresna sebagai seorang duta tidak berarti apa-apa di mata para Kurawa. Walhasil Kresna pun pulang dengan tangan hampa.

Apakah para Kurawa tidak tahu kalau Kresna itu titisan dari Dewa Wisnu? Ooo..Mereka itu tahu dan mereka tidak peduli. Bahkan mereka dapat memprediksi dengan tepat, kalau misalnya Kresna ikut campur dalam urusan keduniawian, pasti para dewa yang lain akan ikut campur juga. Sehingga, Kurawa berharap bisa menantang Pendawa di padang Kurusetra. Ternyata prediksi itu benar. Ketika Kresna marah karena merasa di hina oleh Kurawa, Kresna akhirnya ber-tiwikrama (berubah wujud menjadi raksasa). Sebenarnya dengan sekali gebrak saja, Kurawa sudah pasti akan habis ludes. Ketika marah sudah sampai di ubun-ubun, datanglah para dewa dari khayangan (entah khayangan mana?) sambil mengendap-endap..soalnya takut juga kalau sampai kena pukulan si Kresna yang sudah berubah wujud jadi raksasa ini. Maklum saja, kalau sudah jadi raksasa, si Kresna suka ngawur pukulannya (tidak terarah lagi). Meskipun sesama dewa, Dewa Wisnu merupakan salah satu dewa yang berbintang dengan jenjang karir yang cemerlang. Jadi kalau yang mendekati masih berpangkat melati atau paling banter bintang satu, para dewa itu masih keder juga. Akhirnya para dewa mengutus Batara Narada (yang sudah berbintang tiga) sebagai wakil para Dewa untuk meredam amarah Kresna (Dewa Wisnu).

Secara politis, Kurawa sudah di atas angin. Bagaimana tidak, lha wong manusia kok bisa mengalahkan dewa dalam hal berdiplomasi. Urusan dengan Kresna beres. Kurawa masih menguasai kerajaannya Pendawa. Sampai disini para penonton disuguhi oleh si dalang sebuah tontonan yang membakar amarah. Secara psikologis, si dalang berhasil membawa alam bawah sadar penonton untuk menyetujui kehidupan nyata di alam ini bahwa ketidakadilan itu tetap ada dan terlihat secara nyata tanpa ada prosesi penyelesaian.

Jadi dimana sebenarnya peran Kresna ini dalam menyelesaikan masalah? Kresna merupakan suatu symbol dari system yang disodorkan ketika hukum alam sudah tidak lagi dianggap mempunyai kekuatan. Ketika Kresna menjadi duta dari Pendawa, sebenarnya merupakan bagian dari proses untuk memperlambat terjadinya perang. Sebagai dewa, dia sudah dapat bocoran dari juragannya bahwa sudah ada garisnya kalau pada saatnya nanti Pendawa dan Kurawa akan perang di padang Kurusetra pada jam sekian, tanggal sekian dan hebatnya lagi sudah tahu siapa pemenangnya. Karena Kresna tidak bermain sebagai makomnya bahkan berusaha mengingkari hukum alam, sebagai akibatnya martabat dia sebagai dewa di telanjangi oleh keangkuhan manusia Kurawa. (PrahoroNurtjahyo, 6 Januari 2004)

Monday, January 05, 2004

Asal Bukan Ayahmu !

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur 2 minggu sejak 22 Desember 2003 yang lalu. Untuk mengikuti ritme perjalanan libur mereka, saya terpaksa ikut cuti dari kantor pada saat yang sama dengan jadwal liburan sekolah. Kebiasaan anak-anak saya selama liburan kemarin selalu tidur di atas jam 12 malam. Dapat dipastikan kalau paginya pasti mbangkong alias bangun kesiangan. 

Itulah kejadian yang kami alami pagi ini. Hidup di rantau dengan tiga orang anak, dua diantaranya sekolah (kelas TK dan kelas 3 SD) dan yang masih kecil usia 22 bulan, tidak ada pembantu, dapat dibayangkan "kisruh"nya suasana pagi ini. Anak saya yang paling besar, usia 8.5 tahun, sedang sarapan pagi sambil melihat TV, anak saya yang TK (5 tahun) tidak biasa makan pagi, hanya minum susu satu gelas ukuran tanggung, sedang anak saya yang paling kecil belum bangun. Istri saya kayaknya sudah panik dari awal meskipun dia tidak ikut berangkat ke sekolah atau pergi ke kantor.

Dari media TV terdengar berita ramalan cuaca hari ini, berita olah raga sampai akhirnya berita menikahnya artis Britney Spears. Kontan anak saya yang paling besar bangkit dari tempat duduk makannya sambil berteriak ke mama-nya, 

"Mama… mama…, Britney Spears baru saja married sekarang!!". 

Dari kamar sebelah saya ikutan nimbrung "Sama siapa mas...?"

Belum sempat anak saya ini menjawab, ternyata istri saya sudah teriak lebih dulu menjawabnya, "Boleh sama siapa saja, asal bukan sama ayah-mu !" Hhh koen kapok-mu kapan :-) (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi, 5 January 2004)