Perhatian saya terpancing dengan tulisan di harian Kompas tentang hijrahnya pilot Garuda ke perusahaan penerbangan asing karena alasan suasana kerja yang tidak lagi kondusif. Tetapi kalau dibaca lebih dalam lagi, sebenarnya lebih disebabkan karena pihak perusahaan asing memberikan iming-iming fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ditawarkan oleh pihak Garuda. Selisih perbedaan gaji yang cukup signifikan ditambah bonus berupa mobil mengakibatkan Garuda kehilangan para Gatot Kaca-nya. Malahan jumlah pilot yang berterbangan dari Garuda ini diperkirakan terus bertambah. Sampai akhir tahun ini pilot-pilot yang keluar dari Garuda diperkirakan akan mencapai jumlah 50 pilot. Ini hanya salah satu contoh kasus yang ada di belahan bumi nusantara, khususnya tentang Sumber Daya Manusia (SDM).
Saya sering bilang ke seorang teman, ”Bersyukurlah hidup di negara kita, Indonesia ini. Negara yang banyak amal jariyahnya karena sudah diatur oleh Sutradara sebagai negara penyaji SDM tanpa mampu mengelola SDM itu untuk kemajuan bangsa sendiri.” Mari kita lihat, ketika negara negara di Timur Tengah memerlukan bantuan fisik, Indonesia dengan sigap menyajikan bantuan sejumlah tenaga kerja wanita. Juga, ketika Malaysia memerlukan tenaga ahli untuk merealisasikan visi mereka 2020 tentang penguasaan teknologi dirgantara, dengan cekatan puluhan Doktor kita berpindah ke Kuala Lumpur. Urusan IPTN megap-megap itu urusan belakang, yang penting berbuat kebaikan dulu untuk negara tetangga. Pembajakan tenaga ahli Indonesia sudah lumrah dan dianggap hal yang wajar. Kasus-kasus tersebut sudah berada di permukaan jauh sebelum kasus pilot Garuda yang muncul akhir-akhir ini.
Terlihat dengan jelas, bahwa kita ini tidak memiliki plot atau mapping SDM untuk jangka panjang. Strategi yang kita pakai masih dalam level responsif sesaat. Setiap gerakan kita mudah terbaca oleh negara tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. SDM bagi negara kita bukan merupakan aset yang harus di-kembangbiak-kan, tetapi lebih merupakan beban yang harus dilepas pada suatu saatnya tiba. Banyak para SDM berpotensi yang sengaja dibikin tidak betah di dalam rumah sendiri sehingga akhirnya terpaksa memilih berkeliaran ke luar negeri. Secara makro, yang beruntung jelas negara lain, karena tanpa susah payah berhasil mendapatkan tenaga terampil. Tanpa melalui proses menanam dan memberi pupuk, tetapi langsung memetik buahnya.
Para pakar bilang bahwa kesulitan utama masyarakat kita adalah kemampuan untuk membaca keadaan dan meresponnya dalam bentuk langkah-langkah strategis yang harus dilakukan. Sudah berapa lama kondisi SDM seperti ini berlangsung di negara kita? Apa response-nya? Nothing!
Menyelesaikan permasalahan SDM Indonesia dengan menggunakan hukum kesetimbangan adalah jelas tidak pada tempatnya. Hukum kesetimbangan dalam konteks SDM adalah membiarkan proses brain drain karena beranggapan akan selalu muncul lagi SDM pengganti. Ini adalah konsep naif. Inilah mental yang dihasilkan akibat jaman penjajahan sehingga menciptakan budaya nrimo. Bagaimana konsep seperti ini bisa tumbuh dengan subur di negara kita? Otak dan dengkul sudah bertukar tempatnya!
Sekarang sudah tiba waktunya untuk berubah. Budaya nrimo hanya sebuah pakem yang sering disalah artikan dengan pengertian Tawakal. Pengertian nrimo lebih mengarah kepada kepasrahan sebelum melakukan response. Masyarakat yang madani mengimplementasikan response terhadap semua perubahan yang datang dengan menggunakan otak, nurani dan keberanian untuk bertindak.
Jadi, apa solusinya? Sejarah mencatat bahwa ada dua jenis pekerjaan yang ketika kita sudah mati masih diperbincangkan oleh orang lain. Apa itu? Pertama, menghasilkan karya tulisan yang dapat memberi manfaat bagi pembacanya. Kedua, melakukan sesuatu sehingga orang lain akan menuliskan apa yang sudah kita lakukan. Maka, pilihlah satu diantara dua pekerjaan di atas, setelah itu mari kita berdoa semoga diberi kemampuan untuk berbuat sesuatu demi masyarakat di sekitar kita. (Prahoro Nurtjahyo, 5 November 2004)
No comments:
Post a Comment