Wednesday, June 24, 2009

Just a Game?

Presidential Election in our national media has become the center of debate and has drawn our attentions lately (or at least to my attention). While most of my colleagues are focusing on the contestants, I am drowning at a complete loss. The more I put myself into the loop, the more I was educated nothing but drama queen. My conscience is involuntarily hassled by the fact that all these “performances” are just a game. You may have your own opinion but, still, I think this is one piece of many jokes that absolutely need to be abolished in our culture.

I feel wretched observing one of contestants becomes nicer than used to be just because he desperately needs someone votes him. This class act is just an affair to build public opinion. Someone suddenly has concern on how to increase the lowest wages for buruh. Someone is abruptly screaming why our nation budget for education is so so low. Someone swiftly pays attention on our ocean assets and promise to boost ocean resources in order to facilitate national revenue. All those subjects are not new for us. We knew from the beginning that our budget for education was away below standard. We also knew that our resources in the ocean is enormous, unique, and has been “neglected” (someone else has exploited ours a lot). Why do they now become an expert as if others do not think those issues before? Where have they been? Do they just come back from long sabbatical? It is obvious the cycle of five years is becoming a momentum for raising popularity.


Tuesday, June 23, 2009

Rumahku Sayang, Apartmentku Malang

Saya bukan ahli property, juga bukan public relation officer untuk district tertentu. Jadi kalau sampeyan mencium “bau amis ikan” dari tulisan ini, percayalah saya bukan part dari marketing sebuah institusi tertentu. Tulisan ini saya munculkan di blog sebagai personal opinion sebagaimana saya melihat keberadaan sebuah rumah untuk alat/piranti memperoleh fasilitas pendidikan dan kenyamanan berteduh. Tulisan ini tidak membahas rumah dari estetika keindahan, segi functional, apalagi dari sisi komersial commodity, karena memang bukan bidang saya.

Saya tertarik menuliskannya karena ternyata persoalan semua sahabat (khususnya yang pindah ke kampung ini) ketika harus memutuskan apakah membeli rumah atau sewa rumah/apartment, hampir semuanya berakar pada persimpangan pemikiran yang sama. Ada semacam kebimbangan yang mainly driven oleh pertanyaan “Akan berapa lama saya tinggal di kampung ini?” Worth it apa tidak? Pertanyaan sederhana inilah yang telah membuat kita sering terkatung-katung dalam memutuskannya. Karena hal seperti ini sifatnya sangat personal dan masing-masing dari kita mempunyai jawaban yang berbeda, maka saya tidak akan berani mengusik wilayah sampeyan yang satu ini.

Monday, June 08, 2009

Kemana Perginya?

Kalau pengertian sampeyan tentang jatuh cinta sama rasanya dengan setiap malam selalu terbayang-bayang merindukan si doi; kalau tidak ketemu seminggu rasanya seperti satu tahun; berdebar dada ini setiap kali bertatapan dengan si jantung hati. Kalau itu yang namanya jatuh cinta, maka seperti halnya sampeyan semua, saya pun pernah jatuh cinta. Ya… iya dong…

Jatuh cinta ala anak muda. Jatuh cinta dalam konteks sebagai seorang laki-laki yang terbuai oleh keindahan “surga” duniawi yang hanya dimiliki oleh seorang wanita, mulai dari ujung jempol kaki, lekuk tubuh, wajah sumringah, suara lembut (kategori saya tentunya…), sampai dengan cerocos mulut kalau sempat bolos apel malam minggu. Ampun… dah….


Seperti halnya lirik sebuah lagu, saya pun pernah mabuk akan cinta. Bermula hanya biasa-biasa saja, katanya. Tetapi kekuatan magnet itu memang luar biasa besarnya sehingga mampu menarik saya dari pusaran tempat dan waktu dimana biasanya saya berada. Entah karena siasat setan atau malaikat yang menjalankan titah dari-Nya, frekuensi pertemuan saya dengan si doi menjadi berkala dan rutin jadwalnya.

Tidak ada riak gelombang pasang laut yang mampu ditahan oleh kuatnya tanggul manapun juga jikalau ombak itu datang dengan tebaran goda. Pesona setan manapun akan tertawa gembira jika saya belingsatan tak kuat menahan rengekan-nya.

Karena keyakinan akan kelemahan sifat manusia yang satu ini, akhirnya saya mengakhiri masa lajang saya pada usia 24 tahun. Usia yang menurut ukuran jaman edan sekarang ini masih terlalu muda untuk berumah tangga. Aahh peduli setan dengan suara orang lain. Dengan semangat “maju tak gentar”, segala peralatan senjata berupa keris, bambu runcing dan tombak yang selama ini hanya saya simpan dengan rapi, akhirnya saya keluarkan semua dan saya harus berkewajiban mengasahnya 3 kali setiap hari. Kayak minum obat saja. Asyik… Muanntap pisan.

Naluri sebagai manusia yang lemah telah menuntun saya pada keputusan untuk married, tanpa ada urun rembug dari sahabat atau sesepuh keluarga. Keputusan yang lebih berpihak kepada pemuasan batin ketimbang pikiran logika manusia kebanyakan. Berangkat dari nol kecil, kemudian merangkak ke nol besar, naik tangga kelas satu… dan seterusnya, demikian pula saya membawa istri saya mengarungi dunia realita ini. Hanya berbekal bacaan Bismillah ketika berangkat ke kantor dan sebaris kata Alhamdulillah ketika pulang kantor, kami melewati masa-masa indah sebagai pengantin muda di Bandung selama dua tahun. Bermula di kawasan Babakan Jeruk (di jalan Pasteur), kemudian pindah di Terusan Purabaya (di jl. Padjadjaran) sebelum akhirnya terdampar di pinggiran barat kampung ini.

Hari ini, sudah 15 tahun saya lakoni kehidupan keluarga bersama istri. Alhamdulillah. Tidak terbilang jumlah rintangan yang sudah kami lompati. Apalagi dengan kehadiran tiga kurcaci (laki-laki-14 tahun, perempuan-11 tahun dan laki-laki-7 tahun) yang turut menambah ruwet-nya keluarga ini, sudah barang tentu membawa tantangan tersendiri buat kami untuk mensikapinya.

Dalam rentang waktu yang tidak pendek ini, saya sering bertanya sendiri, kemana kiranya debaran jantung yang dulu pernah ada? Kemana perginya lekuk tubuh yang dulu aduhai, yang mana sekarang justeru kelihatan gempal montok karena tak ada bedanya lagi mana pinggang - mana pantat? Suara genit nan lembut yang dulu menggoda di telinga sekarang lebih mirip seperti omelan emak-emak di pasar.

Kemana perginya setan gundul yang dulu menebarkan pesona hawa nafsu birahi? Bersedih-kah mereka karena seorang hamba telah menjalankan perintah-Nya? Tidak adakah perintah dari-Nya kepada para malaikat untuk sekedar meniupkan “debaran jantung” kepada sepasang manusia berbeda jenis yang sudah 15 tahun menikah dan dikarunia tiga anak?

Saya tidak tahu kemana lagi debaran jantung itu saat ini berada. Satu hal yang saya tahu pasti, telah muncul debaran baru pada jantung saya ini dengan detak debaran yang berbeda. Debaran yang mengisyaratkan ketakutan akan kehilangan sang istri. Jujur harus saya katakan, bahwa ketergantungan saya kepada istri sangat dalam selama 15 tahun ini.

Debaran takut kehilangan! Inikah true love yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan malahan sebaliknya, inikah kutukan dari-Nya kepada hambanya yang telah mengumbar nafsunya atas nama cinta seenak-udelnya?

Kala sang surya sudah lama bergerak dari timur menuju route kesehariannya, maka saya pun menata kembali apa yang harus saya persiapkan untuk menyambutnya kembali esok pagi. Malam ini, sebelum saya kirimkan tulisan ini di blog, saya pandangi istri saya yang sudah pulas tidurnya. Sebelum waktunya terlambat, harinya berganti, saya ingin mengatakan: my beloved wife, Linna Mayangsari: Happy 15th Anniversary!