Tuesday, June 23, 2009

Rumahku Sayang, Apartmentku Malang

Saya bukan ahli property, juga bukan public relation officer untuk district tertentu. Jadi kalau sampeyan mencium “bau amis ikan” dari tulisan ini, percayalah saya bukan part dari marketing sebuah institusi tertentu. Tulisan ini saya munculkan di blog sebagai personal opinion sebagaimana saya melihat keberadaan sebuah rumah untuk alat/piranti memperoleh fasilitas pendidikan dan kenyamanan berteduh. Tulisan ini tidak membahas rumah dari estetika keindahan, segi functional, apalagi dari sisi komersial commodity, karena memang bukan bidang saya.

Saya tertarik menuliskannya karena ternyata persoalan semua sahabat (khususnya yang pindah ke kampung ini) ketika harus memutuskan apakah membeli rumah atau sewa rumah/apartment, hampir semuanya berakar pada persimpangan pemikiran yang sama. Ada semacam kebimbangan yang mainly driven oleh pertanyaan “Akan berapa lama saya tinggal di kampung ini?” Worth it apa tidak? Pertanyaan sederhana inilah yang telah membuat kita sering terkatung-katung dalam memutuskannya. Karena hal seperti ini sifatnya sangat personal dan masing-masing dari kita mempunyai jawaban yang berbeda, maka saya tidak akan berani mengusik wilayah sampeyan yang satu ini.

======================================

Ketika saya hijrah ke kampung ini pada awal tahun 2003, tidak ada terbersitpun dalam pikiran saya option untuk membeli rumah. Tinggal di sebuah kampung yang fasilitasnya, Alhamdulillah, tidak jelek-jelek amat, maka bagi saya sewa apartment sudah lebih dari cukup. Apalagi setelah mendengar keluhan dari teman-teman yang terlanjur memilih jalur membeli rumah yang ternyata sibuk dengan lawn mowing setiap minggu, mengganti filter AC, berurusan dengan refrigerator yang jebol Freon-nya, bohlam mati, dan masih banyak lagi pernik-pernik yang lain. Dimana untuk hal tetek bengek seperti itu, para penyewa di apartment adalah Raja di Raja. AC rusak, tinggal kring. Air panas mati tinggal angkat telpon ke office-nya apartment. Tanpa di suruh setiap minggu sudah ada yang memotong rumput dengan teratur (professional lagi) plus watering system dengan sprinkler yang rutin dua kali sehari. Enak sekali khan hidup di apartment?

Dua tahun hidup di apartment, pikiran saya mulai terganggu setelah anak saya yang mbarep (baca: paling besar) mulai menginjak bangku Junior/Middle School. Karena system sekolahnya memakai system rayon berdasarkan tempat tinggal, pada waktu itu saya sempatkan untuk melihat dari dekat seperti apa sih sekolah SMP-nya nanti. Walhasil, setelah melihat fisik bangunan dan ikut tour ke sekolah tersebut, sebagai orang tua kok saya merasa kurang sreg untuk menitipkan anak saya di sekolah ini. Ibarat mau mencari seorang menantu, saya harus melihat terlebih dahulu bibit, bebet dan bobot dari calon menantu saya. Iya khan?

Berangkat dari cerita sekolah inilah, akhirnya saya surfing untuk mencari sekolah yang mempunyai better quality dari yang saya lihat sebelumnya.

===========================================

Ada sahabat yang berkata, “Bukankah semua sekolah itu sama saja? Bukankah pintar dan bodoh itu tergantung dari siswanya?” Well saya lebih melihat bahwa pendidikan bukan sebagai pemisah golongan pandai dan bodoh, bukan hanya ritual sekedar belajar Math, English, Science etc. tetapi lebih jauh dan lebih kompleks dari sekedar ilmu formal seperti itu. Silahkan sampeyan keluarkan semua macam argumentasi dari berbagai macam seminar dari pembicara beken dimanapun sampeyan pernah menghadiri acaranya, bagi saya, ada dua hal yang memberikan andil besar dalam membantu proses pendidikan anak (saya baru menyadari setelah anak saya masuk High School), pertama adalah lingkungan tempat tinggal (internal dan eksternal) dan kedua adalah lingkungan sekolah.

Takut dibilang terlalu lancang, saya tidak mempunyai wewenang untuk menuliskan pengaruh lingkungan internal rumah, karena saya percaya bahwa masing-masing orang tua (keluarga) mempunyai cara tersendiri dalam menerapkan Golden Rule untuk anak-anaknya (Misalnya kapan harus mengerjakan PR, kapan harus bangun dan mandi, kapan menghafal Juzama dan mengaji, kapan tidur, dan lain-lain).


Syarat Cukup

Di kampung yang berfalsafahkan kapitalis seperti Texas ini, siapa yang berani membayar mahal, maka dia akan memperoleh apa yang di tempat lain belum tentu ditawarkan. Adalah konsekuensi logis yang harus diterima bagi orang yang tinggal di sebuah sistem kapitalis. Demikian juga dengan sekolah. Sebuah kampung yang berani membayar tinggi pajak untuk sekolahnya, maka tidak heran jika fasilitasnya juga lebih baik ketimbang rayon yang menerapkan rendah pajak. Sementara itu, tinggi atau rendahnya pajak tentunya diukur berdasarkan komunity yang tinggal disekitarnya. Khan nggak mungkin diterapkan pajak tinggi untuk komuniti yang berpenghasilan rendah. Bisa-bisa ngamuk penduduk setempatnya. Maka sebagai product akhirnya, ada keterkaitan yang sangat erat antara sekolah yang bagus dengan lingkungan di sekitarnya (sekali lagi ini dapat terjadi di negeri kapitalis semacam ini). Jadi janganlah heran jika ada sahabat yang pindah rumah di sebuah lingkungan yang lebih mahal pajaknya karena menginginkan rayon sekolah yang lebih bagus untuk putra-putrinya. Make sense saja.

Satu dari sekian perbedaan yang membuat quality sebuah sekolah berbeda dengan sekolah yang lain adalah kemampuan dalam menciptakan competitiveness. Point saya, kalau lingkungan di sekolah tidak mampu memunculkan nuansa yang competitive di antara para siswanya, maka tidaklah heran kalau siswa yang datang ke sekolah dengan wajah yang lesu dan ogah-ogahan. Saya berani menjamin siswa tidak akan peduli lagi dengan homework, paper, project, quiz apalagi exam. Tetapi sebaliknya, kalau district sekolahnya mampu menciptakan suasana competitive, maka tidak perlu dilisankan dengan loud speaker pun, mereka akan melekan semalam suntuk (seperti dalang wayang kulit yang sedang pentas) kalau memang tugas sekolahnya belum selesai. Sistem competitiveness ini bukan buah dari pohon simsalabim yang tiba-tiba muncul dalam waktu sehari dan bermodal dengkul saja. Artinya, it takes time to build it and requires strong financial support to make it happen.


Syarat Perlu

Kalau sudah tahu daerah yang district sekolahnya aduhai, so what? Inikah yang kita pilih daerahnya untuk membeli rumah? Syarat memilih rayon sekolah yang bagus hanya memenuhi syarat cukup tetapi belum memenuhi syarat perlu. Dalam memilih rumah, kita perlu kompromi antara sekolah dan lingkungan dimana kita tinggal. Boleh-boleh saja melihat elite-nya sekolah asal dapat terukur dengan tebal-nya dompet. Masukan ke sekolah private misalnya. Iya To? Kompromi ini menjadi titik tengah kalau ternyata kebutuhan dan anggota keluarga yang harus disupport lebih dari ukuran normal keluarga biasa. Versi saya, keluarga normal adalah keluarga dengan anak berjumlah 2. Kalau jumlah anak sampeyan lebih dari dua, saya kategorikan sampeyan berkekuatan seperti Superman :-), kalau hanya satu anak-nya, maka itu signal dari-Nya agar titipan-Nya di"pelihara" baik-baik. Ada beban moral bagi sampeyan karena seharusnya (secara logika) energy sampeyan berdua lebih dari cukup untuk si buah hati yang hanya semata wayang.

Maka untuk kompromi ini muncul factor lain yang disyaratkan yaitu safety. Seberapapun bagusnya mutu dari sekolah itu, kalau ternyata bertempat di daerahnya bandit, perampok, begal, maling dan teman-teman sejenisnya, bagaimana kita bisa tidur tenang kalau malam hari? Bagaimana kita bisa berangkat kerja dengan tenang sementara meninggalkan istri di rumah sendirian, meski itu di siang hari bolong? Apakah tenang hati ini kalau anak gadis kita keluar sampai tengah malam? Belum lagi perasaan was-was kalau property itu ditinggal kosong selama beberapa hari karena bepergian keluar kota misalnya.


Summary

Lha wong dengan bertempat tinggal di sebuah rayon sekolah yang bagus dan daerah lingkungan yang aman saja masih BELUM menjamin bahwa apa yang kita inginkan untuk anak dan keluarga kita pasti berhasil. Ini malahan salah satu (atau kedua) syarat itu belum terpenuhi. Berat untuk mencapat tujuannya. Paling tidak dengan memiliki dua factor tersebut, sudah ada usaha kita sebagai manusia untuk meminimalkan sebuah risk yang sama-sama kita tidak tahu tentang Rahasia Alloh di masa depan. Sementara itu, masih banyak pekerjaan rumah yang menanti kontribusi kita sebagai makhluk individu (untuk keluarga sendiri) juga sebagai makhluk sosial (untuk komuniti di sekitarnya).

Kalaulah saja level keagamaan saya sudah mencapai makomnya sufi yang tertinggi, maka saya dapat mengatakan “Tenang, saya serahkan semuanya kepada Gusti Alloh”. Lha wong saya ini lho masih level cantrik yang bacaan sholatnya masih sering salah. Tawakal yang saya pahami masih pada level tidak membiarkan unta di depan rumah tanpa ditali. Di tali dulu unta itu, baru berserah diri kepada Alloh. Kalaupun pada akhirnya unta itu hilang, sudah dilakukan bagian dari kita manusia untuk mengusahakan agar tidak hilang (dengan cara di tali). Iya khan? Jangan dibiarkan tanpa tali kemudian berkoar “Ya Alloh kalau memang rejeki-ku unta ini nggak akan pergi kemana-mana meskipun tanpa harus ditali”. Kalau sampeyan melakukan tawakal versi ini di kampung saya, saya jamin unta sampeyan akan amblas alias bye…bye. Wallohualam. (Prahoro Nurtjahyo, June 22, 2009).Reference:
1. http://www.criminal--records.com/
2. http://www.schooldigger.com/
3. http://www.city-data.com/
4. http://www.houstoncrimemaps.com/

2 comments:

yusi said...

ss! sangat setuju! =)
di kampung seperti ini..anyhow..lingkungan memang menentukan kualitas sekolah..
dan meskipun banyak orang bilang sekolah dimana saja sama, nyatanya tidak juga =)
sekolah tempat kita "menitipkan" anak ketika keluar rumah..
kalau begitu selamat tinggal dirumah!

Prahoro Nurtjahyo said...

Ha...ha....ha....
Interaction with others sometimes make more painful but... knowing others' character is a must to lessen the pain itself.