Sunday, August 08, 2004

Telepon Cellular

Untuk teknologi satu ini, saya merasa paling tertinggal diantara rekan-rekan saya yang lain. Saya tidak alergi bersentuhan dengan teknologi ini, tetapi juga tidak memposisikannya dalam kategori yang urgen. Sebagai seorang yang awam, saya berpikir positif bahwa benda ini diciptakan untuk hal-hal yang urgen. Saya mengartikan urgen sebagai suatu makom yang memilah antara hidup dan mati, surga dan neraka, baik dan benar. Jadi, kalau saya tidak memiliki cellular, bukan takut karena tagihan rekeningnya, tetapi lebih pada prinsip mana yang urgen dan mana yang bisa ditunda. Toh selama ini dengan telepon biasa saja tidak ada masalah untuk berkomunikasi.



Perkembangan telepon cellular ini sedemikian pesatnya sehingga untuk produk generasi generik yang saya sendiri belum pernah melihatnya, sudah muncul model baru dengan segala assesorisnya (ada gambarnya, bisa untuk digital camera, ada game, dls). Semakin tertinggal saja saya dengan benda kecil yang suka ”berdering” ini.

Sebulan yang lalu, salah seorang teman saya mengirim paket sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami. Setelah kami buka ternyata telepon cellular lengkap dengan kartunya yang tinggal pakai saja. Anak-anak saya kegirangan, lompat-lompat bahkan saling berebut untuk mencoba ”makhluk baru” yang sering dilihatnya tetapi belum pernah memegangnya.

Saya dan istri hanya berpandangan saja melihat kehadiran benda kecil ini di rumah kami. ”Walah.. pertanda apa ini?” komentar istri saya. Sudah terbayang di benak akan adanya ”pergeseran nilai” dengan munculnya benda ini. Coba perhatikan, betapa dalam waktu singkat benda kecil ini mampu menarik perhatian seisi rumah hanya melalui deringnya saja yang bisa distel dengan bermacam-macam musik. Si cellular memposisikan diri sebagai seorang bayi yang harus diangkat ketika dia berdering dan mengelusnya sambil menyapa ”Hallo...!”
Berlama-lama dengan benda ini membuat saya takut akan kehilangan nilai kemanusiaan saya (hablum minan naas). Sudah tak terhitung berapa banyak dari teman-teman yang saya potong pembicaraannya karena si cellular ini memanggil (berdering). Setelah saya angkat ternyata suara diseberang hanya menanyakan ”Eh.. tau nomor telponnya si Anu nggak?” atau ”Eh.. jangan lupa, nanti kalau pulang mampir dulu ke McDonald”. Tak terbayangkan, kalau sedang rapat atau sholat Jumat, kemudian si ”bayi” kecil ini merengek minta untuk diangkat. Malu sekali dengan kualitas diri ini, betapa mudahnya saya didikte oleh benda ini. Hilang semua adat, empati dan sopan-santun yang diajarkan nenek moyang karena penyalahgunaan benda ini.

Sesampai di rumah, saya kembalikan si cellular di atas meja. Saya perhatikan lama sekali, dalam hati saya berkata, ”Betapa benda kecil ini mampu mengubah setiap jengkal manusia yang santun menjadi egois dan lupa memposisikan mana yang urgen dalam arti yang sesungguhnya”. (Prahoro Nurtjahyo, 8 Agustus 2004)