Monday, February 02, 2004

Kumis

Hampir 10 tahun aku tidak mencukur “habis” kumis. Kalaulah aku mencukur, paling hanya untuk merapikannya saja. Itu disebabkan karena perjalanan tumbuhnya rambut di kumisku yang tidak kompak, sehingga nilai seni berupa kerapian diperlukan. Paling tidak, dari sisi itulah aku menilai harga sebuah kumis.


Ada rasa keganjilan dan aneh setelah mencukur habis total semua kumisku dan melihat tampang baruku di cermin. “Inikah wajahku selama ini yang tertutup oleh kumis?” Sungguh hebat sekali si kumis ini, bukan aku saja yang dibikin “terpana”, anak-ku yang paling kecilpun menolak untuk aku gendong setelah melihat wajah baruku. Anak-ku yang paling besar tertawa tidak habis-habisnya setiap kali berpapasan denganku. Hanya anak-ku yang perempuan saja yang mencoba bersikap bijak, meski aku tahu dalam hatinya geli juga melihat wajah baru bapaknya yang tanpa kumis.

Jadi hanya sebuah kumis saja mampu mengelabuhi anak-anaku, istriku, teman-temanku bahkan aku sendiri. Daya magis sebuah kumis telah membuat anak-ku terlena dalam gendongan meski risih setiap kali pipinya bersenggolan dengan kumisku. Atau jangan-jangan..... istriku sampai beranak tiga juga hanya karena kumis ini?

Mungkin tanpa aku sadari, banyak “kumis-kumis” yang lain yang telah membiarkan mataku tertipu selama ini, bahkan telah menuntun jalan berpikirku untuk mengagumi atau membenci sesuatu hanya karena sebuah “kumis”. Biarlah mereka dan aku belajar menerima wajah baruku yang tanpa kumis ini. (Prahoro Nurtjahyo, 2 Februari 2004)

1 comment:

Anonymous said...

Wow... dulu ada kumisnya to Mas?