Tuesday, February 03, 2004

Menu Masakan

Keluarga saya mempunyai kebiasaan berkumpul setiap awal bulan untuk membahas hal yang sangat sederhana, yaitu menu masakan. Ide ini muncul bukan karena tanpa sebab. Paling tidak ada 3 alasan. Pertama, masing-masing anggota mempunyai selera makanan yang berbeda. Untuk mengakomodir semua selera, jelas butuh waktu dan dana extra. Sementara dana hanya dipasok untuk satu bulan saja (30 hari). Kedua, Istri saya merasa tidak “diajeni” lagi. Karena setiap masakan yang disodorkan selalu berakhir ke tempat sampah tanpa disentuh oleh para anggota keluarga. Dengan aksen Suroboyo-an “Lha la opo aku masak angel-angel..lek gak ono sing mangan?” (Buat apa masak susah-susah kalau tidak ada yang mau makan?) katanya suatu ketika. Alasan ketiga adalah promosi makanan di luar (baik warung maupun restaurant) yang akhir-akhir ini semakin jor-joran (baca: saling bersaing). Ada yang mengiklankan minum gratis asal makan dua porsi atau bahkan kalau pesan makanan untuk 2 orang, orang yang ketiga bayar 50%, dll.

Menarik sekali ternyata isi diskusi tentang menu masakan ini. Anak saya yang paling besar lebih fokus ke arah daging. “Asal ada daging, saya mau makan” begitu janjinya dalam diskusi. Anak saya yang perempuan ngotot mau makan macaroni dan cheese, dengan syarat rasanya harus sama dengan yang dia makan di kantin sekolahan. Dan anak saya yang masih kecil, 2 tahun, tidak punya hak pilih. Menu untuk dia “dipilihkan” oleh ibunya. Diskusi yang sederhana yang dapat membawa sebuah komitmen di antara anggota keluarga.
Akhirnya, keputusan yang dibawa dari hasil diskusi adalah berupa list makanan yang akan dimasak oleh istri saya selama satu bulan penuh (antara lain sop, bakso, sayur asam, dll), lengkap dengan anggaran keuangan, dimana mau belanjanya, kapan belanjanya, dan siapa yang belanja.

Minggu pertama, kegiatan masak-memasak berjalan lancar, semua menu dimasak mengikuti jadwal. Semua anggota keluarga tidak ada yang complain. Minggu kedua mulai sedikit agak berantakan karena ada tamu dari luar yang harus menginap. Sehingga mau tidak mau ada extra tambahan menu. Minggu ketiga malah ruwet. Anak yang paling kecil rewel karena sakit panas. Semua makanan yang “dipilihkan” tidak ada yang masuk bahkan harus ke dokter untuk memperoleh makanan tambahan. Akhirnya, di minggu keempat semua anggota keluarga sudah capek, istri sudah kelihatan lesu. Saya putuskan untuk makan diluar saja dengan resiko mengambil dana tambahan karena memang tidak ada dalam menu masakan hasil diskusi.

Kembali di awal bulan, saya tanya istri saya, “Mau diskusi tentang menu masakan lagi?” Dia menjawabnya “Iya pasti…” Ternyata, betapapun susah pelaksanannya, menu masakan itu lebih memudahkan seorang istri untuk menentukan masakan apa yang akan disajikan untuk suami dan anak-anaknya. Selain berhemat, ternyata ada yang lebih penting bagi seorang ibu untuk hal masak-memasak ini: merasa di AJENI dan fungsi perannya diakui. (Prahoro Nurtjahyo, 3 Februari 2004)

No comments: