Tuesday, July 14, 2009

Robohnya Kampung Kami

Kalau sampeyan sedikit mempunyai waktu, saya sarankan membaca cerpen-nya A.A. Navis yang berjudul “Robohnya Surau Kami”. Kebetulan beberapa waktu lalu, saya sempat berkeliling di toko buku ujung kampung untuk mencari novel-novel lama karya sastrawan besar Indonesia. Tanpa saya duga, akhirnya berjodohlah saya dengan buku itu.

Berbeda dengan trilogy novel-nya Romo Mangunwijaya “Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri” yang setebal textbook mahasiswa Kedokteran tingkat satu, kumpulan cerpen karya Uda Navis ini relative cukup tipis dan cukup sekali gebrak 1 jam akan selesai. Tergantung tingkat kecepatan sampeyan dalam “membaca”.

Robohnya Surau Kami diangkat dengan mengambil setting tempat di tanah Minang, Sumatra Barat. Bercerita tentang dua macam kharakter manusia dalam mengimplementasikan arti ibadah sebagai bagian dari pendekatan manusia kepada RobNya, Sang Pencipta. Yang satu memakai madzab Leterleg (apa yang tersurat), sementara yang lain madzab hakekat (apa yang tersirat). Alur ceritanya mencapai titik klimaks ketika salah satunya meng-claim dirinya yang lebih benar ketimbang yang lain.

Ajo Navis memang dengan cermat telah menggambarkan kehidupan masyarakat ini melalui karya besarnya itu. Begitulah adanya kehidupan manusia di kampung kita ini. Selalu diwarnai dengan perbedaan pendapat dalam melihat sesuatu. Dimana ”sesuatu” itu sebenarnya mempunyai wujud yang sama. Hanya perbedaan sisi dalam melihat yang menuntun manusia untuk membentuk kharakter berpikir sekaligus typical responsive dalam mengambil sikap.

Kalau urusan perbedaan pendapat itu hanya stagnan pada level ”bersilat lidah” alias adu argumentasi atau gontok-gontokan, maka saya masih meng-klasifikasi-kannya sebagai hal yang lumrah atau sah-sah saja dan merupakan bagian dari process mencerdaskan kehidupan berbangsa. Bukankah proses mencari kebenaran itu memang bermacam-macam jenisnya. Kalau sampeyan lebih memilih jalan aman, silahkan mencari kebenaran melalui jalan bersemedi menyendiri. Pasti tidak ada yang mengganggu. :-)

Nah sialnya, dalam bergesekan adu pendapat ini ada yang terus berlanjut dengan dendam kesumat karena merasa dipermalukan dan akhirnya memilih jalan berkelahi sebagai solusi pamungkas-nya. Kalau hanya sekedar berkelahi jotos-jotosan sih nggak apa-apa. Paling-paling cuman bonyok saja. Lha ini... berkelahi secara fisik dengan syarat tambahan, ”salah satu di antara keduanya harus ada yang mati”. Lha opo alasannya? ”Alasannya karena kampung ini terlalu kecil kalau keduanya sama-sama hidup”. Nah.... inilah problem manusia yang selalu ingin menang sak enake dewe.

Sejarah di kampung ini telah mencatat bahwa masa kejayaan manusia tidak pernah ada yang langgeng dan selalu ada batasnya. Kerajaan Kediri yang termasyhur dibawah kepemimpinan Sri Baginda Jayabaya akhirnya lemah ketika turun-temurunnya yang bernama Kertajaya mengambil alih puncak leadership. Kertajaya dengan mudah dapat ”dijinak”-kan oleh si berandal Ken Arok dengan lahirnya kerajaan Singasari. Kerajaan yang didirikan dengan tumbal 7 nyawa buah karya keris si empu Gandring itupun akhirnya hancur berkeping-keping ketika Jayakatwang dari Kediri mengangkat senjata untuk berontak.

Tidak terlalu lama berdiri, Jayakatwang ditelikung oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana dengan memanfaatkan tentara Tar-Tar dari daratan China dan menandai jatuhnya Kerajaan Kediri. Ketika Kediri sudah ambruk, Kerajaan Majapahit mulai menapakkan kakinya. Sejarah mencatat bahwa kemegahan Majapahit-pun akhirnya ambles, dan muncullah Demak Bintoro sebagai center of power dibawah kendali Wali Songo. Kerajaan pertama para ulama di tanah Jawa inipun tidak terlalu lama harus rela untuk ”tenggelam” karena lack kepemimpinan. Kemudian muncullah Kerajaan Pajang dan berakhir ke kerajaan Mataram. Alam bawah sadar sampeyan tentu akan berontak, ”Mbah... itu khan dulu sebelum tahun 1600an... abad sekarang ini beda”.

Sampeyan mau data yang up-to-date? Boleh. Coba sampeyan buka kembali sejarah pentas nasional pada tahun 2004 dimana terjadi gegeran perebutan kekuasaan di Mangkunegaran Surakarta antara KGPH Tedjowulan dan KGPH Hangabehi. Masing-masing merasa menjadi raja yang sah. Bagaimana status akhirnya? Yang jelas rakyatpun terpisah menjadi dua. Inikah tanda-tanda ambruknya Kraton Mangkunegaran Solo? Wallohullam.

Bagaimana dengan kerajaan Mataram di Yogjakarta? Yang jelas Sri Sultan Hamengku Buwono X saat inipun pening memikirkan suksesi untuk dirinya kelak. Gesek-gesek di Kraton Ngayogyakarta memang tidak sesanter di Surakarta. Tetapi, permasalahan yang dihadapi oleh Sinuhun Ngarso Dalem jauh lebih rumit. Mendingan kelihatan siapa yang bertengkar seperti kasus Mangkunegaran. Lha kalau kasus Mataram ini hanya Sri Sultan sendiri yang gelisah setiap hari untuk memikirkan calon penggantinya. Apapun langkah yang diambil oleh sang Raja akan mempengaruhi wajah Mataram di masa yang akan datang.

Lantas, bagaimana dengan kampung kita ini? Akankah turut timbul dan tenggelam seperti halnya goresan sejarah yang pernah terukir selama ini? Sampeyan sudah menentukan lurah barunya untuk kampung ini. Sebentar lagi akan ada acara pelantikannya. Satu hal yang menjadi kewajiban sampeyan adalah terus-menerus mengingatkan pak Lurah baru itu untuk, ”Menyelesaikan makannya sebelum perutnya terasa kenyang”. Karena ketika kenyang, sudah tidak nikmat lagi setiap suapan yang masuk ke perut. Tapi kalau ternyata pak lurahnya ini nanti allergy dengan kritikan.... yo wis... Mau bagaimana lagi lha wong sampeyan sendiri yang memilihnya. Kapokmu kapan... salahmu dewe... Iya to..?

Hanya dengan sama-sama lapar, pak Lurah akan tahu betapa susahnya kehidupan warga kampung ini. Hanya dengan sama-sama kepanasan, pak Lurah akan merasakan betapa perlunya tempat berteduh untuk warganya. Hanya dengan sama-sama kehausan, pak lurah akan memprioritaskan tanggul air untuk kepentingan warganya.

Kalau setiap kritikan yang datang selalu diartikan sebagai tindakan mbalelo dan merupakan ancaman untuk kelanggengan posisinya sebagai lurah, wah kok ya sial sekali nasib sampeyan ini, salah pilih lurah rupanya, memilih yang bermental kerdil. Kalau memang benar model lurah sampeyan seperti ini nantinya, mari kita berdoa bersama-sama semoga kampung kita ini dijauhkan dari malapetaka. Dan yang lebih penting, jangan sampai kampung ini roboh karena ulah lurah sontoloyo dan didukung para pamong praja-nya yang bekerja seenak udelnya. Merdeka! (Prahoro Nurtjahyo, July 14, 2009)

6 comments:

sukmana said...

dan tidak ada yang sempurna, yang kalah dan yang menang, yang menang adalah demokrasi Indonesia..dan tentu saja punggawa2nya yang harus merealisasikan ide dan konsep Ki Lurah....supaya kata Mbah..tidak roboh kampung kita.
seperti lagu yang populer di Indonesia, yang konon Emha pun mengatakan nyanyian dari seorang sufi :

Tak gendong kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
Enak tau
Where are you going?
Ok I’m walking
Where are you going?
Ok my darling (Mbah Surip ; Tak Gendong)

sukmana said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Prahoro Nurtjahyo said...

Bener Suk.... Wong cilik tugase yo cilik.... Ojo ngriwuki yen ora uso ngewangi.....

Ayu Vitous said...

Hey, I've read that book!!!
and you're absolutely right, it is very interesting one.


Ayu

Boersma Ibrahim said...

Mas Prahoro,
saya senang sekali baca celometannya mas Prahoro yang banyak menggunakan kosa kata yang bagus sekali, alur ceritanya membawa saya ke alam tempo dulu ( Ndeso) sampai kehidupan hitech yang tidak pernah saya impikan sama sekali dan harus bertarung supaya tetap "ADA" walaupun terseok-seok. Sesekali tertawa kalau dibawa ketempo dulu dan harus focus balik kalau dibawa ke zaman modern supaya tidak gagap mengartikan maksudnya.
Sekali lagi terima kasih lho..

Salam

I. Sarkawi said...

Prahoro,
Tulisan ini membawa saya kembali ke tahun 70an dimana waktu itu kita diharuskan membaca karya karya sastra pujanggga baru dan modern.
Apa yang sampeyan tuliskan lagi banyak benarnya dan terpilihnya lurah baru adalah konsekuensi dari demokrasi yang kita usung.
Teruslah menulis...