Thursday, December 13, 2007

Pulang

Ketika saya menulis oret-oretan ini, teringat saya akan tulisan almarhum Mangunwijaya yang berjudul “Burung-Burung Rantau”. Setiap manusia dilahirkan akan memberikan kontribusi yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tempat dimana kita dilahirkan adalah sebuah magnet yang sangat berpotensial untuk dapat menarik kembali setiap insan yang sudah menjelajahi dimensi ruang antar benua walau hanya sekedar untuk menengok saja. Dimanapun manusia itu berada, rasa rindu selalu muncul untuk dapat kembali ke masa silam dan berharap, “Kalau saja aku bisa kembali ke masa itu”.

Saya, demikian juga dengan anda dan sampeyan semua, adalah burung-burung rantau itu. Merantau untuk mencari arti hidup dan membekali diri sebelum memasuki kehidupan di alam berikutnya. Saya dan anda percaya bahwa setiap manusia akan kembali menghadap ke Sang Pencipta, Khalik. Dan masih juga percaya bahwa semua yang ada dalam kehidupan manusia ini adalah perwujudan dari tulisan pena Alloh untuk masing-masing hambaNya.

Tercatat beberapa peristiwa yang membuat detak jantung saya berdebar lebih cepat dari hari-hari biasanya. Karena kerinduan akan pulang inilah, saya sengaja menuliskan ini untuk dapat berbagi rasa bahwa ada kewajian kita kepada orang tua yang harus segera kita lakukan sebelum terlambat nantinya.

Tanggal 9 Juni 1999, seperti biasanya, saya mempunyai jadwal rutin untuk menelpon ke kampung halaman meskipun hanya sekedar mengucapkan salam dan ”hallo” untuk menanyakan keadaan orang tua. Hari itu nada bicara Bapak saya melalui telpon di seberang sana tidak seperti lazimnya. Terkesan mbulet dan muter-muter. Alam bawah sadar saya seketika itu merasakan ada ketidak beresan, tetapi saya tidak berani untuk memotong jalan ceritanya. Apalagi dalam setiap cerita sering diselipkan kata-kata, ”Semua ini milik Alloh... dan akan kembali ke Alloh. Yang Ikhlas”. Dengan pasrah saya ikuti jalan ceritanya yang berakhir dengan statement, ”Mbah Putri sedo lan wis disarek-e dino iki (baca: Nenek meninggal dunia dan sudah dikebumikan hari ini - red)”.

Dengan beberapa sinyal pada menit-menit awal, saya dapat memprediksi akan seperti apa akhir cerita dari pembicaran melalui telepon itu. Meskipun sudah saya persiapkan kemungkinan terjelek dari berita itu, toh ketika kalimat terakhir itu benar-benar terucap oleh Bapak, ”Mbah Putri sedo.....”, ternyata degup jantung ini mampu meruntuhkan pertahanan saya untuk menumpahkan air mata. Seolah jantung saya hanya menunggu konfirmasi bahwa apa yang saya prediksi diawal adalah benar adanya.

Kedekatan seorang nenek dan cucu yang sedemikian eratnya. Benteng pertahanan saya menjadi rapuh dan segera runtuh karena pada saat yang sama, memori saya langsung mengulas kembali rentetan peristiwa tentang kebersamaan dimana hanya kami berdua saja yang menjalaninya. Teringat dimana saya menemani nenek saya ke pasar untuk berjualan kerupuk mentah. Kami duduk berdua di pojok pasar tanpa alas, sambil berharap para pengunjung pasar yang lalu lalang untuk mampir menengok barang dagangan kami. 

Menengok saja sudah bersyukur, apalagi membeli. Seringkali kami pulang dengan dagangan yang tidak laku sama sekali. Ketika itu nenek sayapun sambil tersenyum masih menghibur, ”Sing sabar yo le ... mengko ono wektune dagangane laris (baca: Yang sabar ya cucuku...nanti ada waktunya jualannya laku laris).” Dan masa-masa itulah yang tergambar dengan jelas dalam ingatan saya ketika berita berpulangnya nenek ke Rahmatullah.

Pertengahan tahun 1996, sehari sebelum berangkat merantau ke benua lain, dengan duduk bersimpuh dihadapan nenek, saya katakan, ” Nenek, mohon doa restunya. Saya akan pergi jauh dan akan kembali dalam waktu dua tahun. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di antara tahun itu. Berjanjilah untuk menunggu saya. Tunggu saya”. Dan nenek saya sangat maklum dengan maksud kata-kata ”tunggu saya”. Maklum, usia beliau waktu itu yang sudah sepuh 80an tahun. 

Dua tahun kemudian, tahun 1998, nenek saya masih menepati janjinya untuk menunggu cucunya ini. Sementara saya, cucunya ini, alpa akan janjinya untuk PULANG sekedar menengok neneknya. Dan akhirnya dering telepon di tahun 1999 itulah yang membangunkan saya seolah nenek memberikan pesan dengan berkata, “Cucuku, nenek sudah menepati janji untuk menunggu kedatanganmu. Sekarang sudah waktunya nenek beristirahat kembali ke Alloh”. Kalau saja, saya pulang setelah selesai tugas di rantau selama dua tahun, tentunya saya masih berkesempatan untuk bertemu dengan nenek saya. Itulah harga dari sebuah penyesalan yang saya bawa seumur hidup ini.

Kalau sampeyan sekarang ini berada di tanah rantau seperti saya, dan kalau orang tua sampeyan masih ada, maka mulailah menata waktu yang tepat untuk duduk bersimpuh dihadapan beliau dengan memohon maaf atas segala kekhilafan dan berterima kasih atas doa restunya dalam suasana yang menyenangkan. Bertemu bersama dalam suasana yang sehat antara nenek, orang tua, paman, bibi, saudara, anak, keponakan, cucu, dan seterusnya. Sekali saja dalam seumur hidup. 

Lihatlah keriput kulit mereka. Lihatlah langkah mereka yang sudah tidak tegak lagi. Lihatlah pandang mata mereka yang mulai menerawang jauh. Tinggal berapa lama lagi mereka akan menemani kita? Apalah nikmatnya kedatangan kita dari rantau sebagai anak dengan satu deret gelar Prof, BSc, MSc, PhD plus deposito uang satu gebok di bank sementara ketika pulang yang kita jumpai orang tua kita tergolek lemas masuk ke ICU tanpa daya dengan selang infus yang masuk telinga atau bahkan menemui kain kafan dan peti jenasah?

Kalau kedua orang tua anda sudah tiada, penuhilah hak mereka dengan memanjatkan doa seperti yang sudah diajarkan oleh Rosulluloh. Bukankah itu juga yang kita harapkan kepada anak-anak kita kalau kita sudah meninggal dunia nanti? Akankah anak-anak mendoakan kita sebagai orang tuanya setelah kita meninggal dunia sementara kita sendiri tidak pernah memanjatkan doa untuk orang tua kita?

Kalau saat ini ada orang tua, adik, saudara, anak, teman dekat atau siapapun yang sedang sakit di kampung halaman nun jauh sana, maka semua media informasi baik itu berupa SMS, telephone, maupun email adalah alat pemacu yang sangat effisien untuk membuat jantung berdetak kencang. Coba bayangkan ditengah malam ada SMS dari keluarga yang sakit berisi, ”Telepon ke Indonesia secepatnya”. Tentunya macam-macam isi benak kita mengartikan isi SMS ini.

Kalau belum bisa pulang segera, paling tidak luangkanlah waktu seminggu sekali untuk menelpon orang tua kita meski hanya sekedar salam dan ”hallo”. Lha wong hanya 5 sampai 9 cent setiap menitnya. Mengapa baru menelepon ketika beliau sakit? Bukankah enak dan nikmat obralan kita ketika mereka semua dalam keadaan sehat wal-afiat? Uangkah yang mereka minta dari kita? Hadiah? Bukan. Mereka sudah tidak memerlukan itu semua. Yang mereka inginkan hanyalah perhatian dari anak dan cucu mereka.

Maka kalau saya sudah terlambat untuk nenek saya, haruskah saya terlambat untuk kedua orang tua saya? Sebelum waktu itu benar-benar tiba, sebelum telephone/SMS itu benar-benar berdering maka mohon aminkan doa saya kepada-Nya, “Ya Alloh… berikanlah kesempatan kepada hambamu ini untuk dapat bertemu dengan orang tua hamba dalam keadaan yang sehat. Hanya demi Engkau ya Alloh… untuk menunjukkan bahwa segala usaha mereka selama ini untuk anak-anaknya tidaklah sia-sia. Amin. (Prahoro Nurtjahyo, 13 Desember 2007)

4 comments:

Bundanya Tiara said...

Betul sekali mas, ttg ceritanya. Salah satu teman saya bilang, kadang kita merasa cukup pulang kampung satu taun satu kali untuk bertemu dengan orang tua, padahal katanya setelah orang tua kita ga ada, kita baru sadar bahwa segala hal yang pernah kita lakukan buat mereka ga akan pernah sama dengan apa yang mereka lakukan buat kita. Mudah2n kita masih diberi kesempatan untuk berbakti. Amiin:)

Anonymous said...

Betul sekali apa yang dikatakan Mas Prahoro ini...sangat betul dan saya pun merasa sedih...kenapa pada waktu itu saat saat saya baru pindah ke sini tidak melakukan yang dikatakan Mas Prahoro menelepon orang tua et least seminggu sekali. Saya waktu itu merasa kecolongan... tiap mau nelepon nggak jadi lagi nggak jadi lagi... tau-tau waktu itu tgl 30 April 2007, ada telepon dari Bandung mengabari bapak saya baru kembali ke Rachmatullah....

Anonymous said...

Bro, memang bener banget kalau orang tua kita itu sering nunggu2 kabar dari kita. Kabar dari kita merupakan kebahagiaan mereka. Walaupun telpon kita pendek pendek saja tapi sudah bikin mereka seneng. Misalnya total menit telpon 30 menit/minggu. Lebih baik 7.5 menit x 4 kali telpon/minggu yang keliatan kalau kita penuh attensi. Dibandingkan 60 menit telpon tetapi 2 minggu sekali. Yang telpon pendek2 tapi sering membuat orang tua kita merasakan seakan2 kita disamping mereka. Itu menurut pengalaman saja bro...

Nuwun bro....

Anonymous said...

hank you for the beautiful reminder - itwas very touchy - aku hampir mewek.

Anyway, kadang2 kita udah berusaha sebaik mungkin tapi masih aja things doesn't go the way we want to. Seperti saya, waktu itu saya pulang setahun sekali atau 2 kali, religiously ! - apalagi waktu Bapak gerah, saya pulang balik ada 4 kali dalam setahun itu. However, yang terakhir kali saya pulang karena dapat kabar Bpk sakit keras, beliau meninggal pada waktu saya masih transit di LA, apa saya ngga ke-sakit2.
Tapi benar juga, semakin kita "sepuh" perasaan pengin dekat dengan keluarga itu semakin kuat.

I will stop by kapan2 ngobrol, mungkin mengenai rencana penjenengan ke Jogya