Wednesday, October 01, 2014

Anak Wedhok

Saya tulis ini dari jarak ribuan miles sambil menunggu si burung besi terbang. Entah mengapa, tiba-tiba saya teringat akan Genduk saya ini. Transit 4 jam di Singapore telah membawa lamunan saya ke anak wedhok cantik ini.

Masih segar dalam ingatan bahwa saya harus menggunakan naluri saya sebagai seorang laki-laki untuk menahan laju perkembangan cara berpikir dia. Bukan karena dia seorang anak perempuan. Bukan, sama sekali bukan. Saya melakukannya lebih disebabkan karena kepentingan hirarki dalam keluarga. Sebuah dilema hidup yang pernah ada, dimana saya harus memilih dengan segala konsekuensinya.

Dari awal, saya sudah melihat kelebihan dia yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya. Bahkan, dia bukan tandingan yang sepadan kalau harus saya adu "head-to-head" dengan saudaranya laki-laki. Substantially, dari kerangka berpikir yang jernih dan logis, dia mampu menunjukan kelas yang jauh di atas mereka yang nota bene laki-laki. Dan itu sudah terbukti. Kalau saja Rem (Brake) itu tidak pernah saya pasang dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin bagi dia untuk take over dinasti keluarga ini. Which is sesuatu yang sah sah saja. Iya to?



Time has change. 


Sudah waktunya Rem itu harus saya adjust cakram dan pad-nya. Karena saya tahu jalan di depan bukan hanya berkelok-kelok, tetapi juga curam dan tajam. Saya perlu adjust rem itu karena saya yakin, saya tidak bisa menemani dia selamanya. Waktu terus berjalan, dan suatu saat akan sampai pada ujung jalan untuk berpisah. Sebelum perpisahan itu terjadi, saya tuliskan ini untuk anak perempuan saya satu-satunya sing ayu dewe, mumpung Ayahnya ini masih disamping dia dan bisa bawel alias cerewet. I know you don't like it, but it's my job :-)

Malam ini, saya berguman sendiri, "Tak terasa, sudah gadis usia-mu nduk". Ya, rasanya baru saja kemarin sore saya gendong dia. Sekarang, untuk ukuran pakaian saja sudah harus sharing dengan Emak-nya :-)


Ayah know that you are not a demanding person. Even if Ayah ask, Ayah is pretty sure that you will refuse to say it. This note merely exemplifies a guilty feeling when Ayah was not around by the time you were in difficult time and needed me in the last 2 week. I really am sorry for that.

Well, I do believe that a man who does not spend time with his family can never be a real man. And I want to be that real man. I love you Pumpkin. Be Sholehah. Bismillah, May Alloh protect you for your future journey. Aamiin (Prahoro Nurtjahyo, October 2014)

6 comments:

Fatchul Muin said...

pas awal menikah pengen punya anak laki...
tahu rasanya punya satu anak wedok (anakku ke2)...
ternyata mang bedo... asik tenan punya anak wedok,,,
lebih hidup, mesli was-was, kerasan dirumah :-)

Rosdiana Setyo Lasmowati said...

so sweet........
cantik spt mamanya....

Daywee N'Bauer said...

Sweeeeeeet....jadi berlinang air mata.

Abu Bundin said...

ybs gk ditag? Chinta :-)

Dewi Roe said...

Sayang orang tua sepanjang masa... semoga selalu menjadi ke bangga an orang tua ya nduk n menjadi anak sholehah tentu nya...

Ahmad Fadilah said...

Cute Chynta