Monday, October 02, 2006

Ramadhan dan Kita

Ketika semua khotbah tentang kebajikan, perbuatan baik, niat yang ikhlas, zakat, dan amal jariyah bertebaran pada bulan suci ini, maka sering kali saya bertanya, kemana saja khotbah semacam ini bersembunyi selain pada bulan puasa? Dengan melihat komposisi umat Islam di seluruh negeri, apakah ada data statistik yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para Muslimin/Muslimah mengeluarkan zakat atau sedekahnya terbanyak di sepanjang tahun? Dan sebagai derivative dari premis itu, adakah trend yang menunjukkan bahwa pada bulan inilah para fakir miskin terpenuhi kebutuhannya karena saudara-saudaranya yang mampu telah menyisihkan sebagian dari hartanya kepada mereka-mereka yang berhak atas hartanya ini? Kalau semua jawabannya adalah iya, artinya khotbah yang seabreg (bertubi-tubi datangnya ketika Ramadhan) itu mempunyai kekuatan religius yang mampu menggetarkan hati yang mendengar untuk melakukan tindakan yang memang harus dilakukan oleh seorang Muslimin/Muslimah.

Kalau assumsi saya benar, maka Ramadhan inilah bulan bagi para fakir miskin untuk sedikit bernafas lega karena sebagian kebutuhannya telah di-support oleh saudaranya yang lain. Dan kalau ternyata semua kenyataan berbeda dengan apa yang seharusnya ada, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ada yang salah dalam pemahaman kita tentang hakekat bulan Ramadhan ini. Seolah pada bulan suci ini adalah ritual ibadah yang vertical, yang hanya melibatkan antara aku dan Dia saja. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitar kita. Sehingga, bisa jadi sindiran ini benar adanya, “Yang akan kamu dapatkan hanya lapar dan dahaga saja”. Kemungkinan kedua, sistem yang tersedia di masyarakat kita ternyata belum mampu untuk menerapkan aplikasi dari teori akherat ini. Dengan bahasa yang sedikit agak vulgar, dana untuk zakat atau sedekah bukan jaminan menjadi “barang yang aman” dari tangan-tangan jahil. Baik yang jahil itu adalah para dermawannya (dengan mengurangi nilai barang terhadap nisabnya) ataupun para pengelolanya (penyalurannya tidak transparan dan tidak jelas standardnya). Wallahualam.

Ketika kenyataan hidup memperlihatkan betapa sistem kita belum bekerja dengan semestinya, maka yang bisa kita lakukan adalah “berilah sesuatu dengan tangan kananmu, tanpa mesti tangan kirimu mengetahui apa dan berapa besar yang telah diberikan oleh tangan kananmu”. Apakah ini berarti asal gugur sebuah kewajiban? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Kembalikan saja ke niat semula.
(Prahoro Nurtjahyo, 10 Ramadhan 1427H - 2 Oktober 2006)

No comments: