Monday, August 22, 2005

Pampers

Ini sebenarnya cerita tentang hal yang sepele, yaitu urusan pampers. Barang ini bukanlah barang yang istimewa sampai ketika saya menerima complain dari dua anak saya (laki-laki 10 tahun dan perempuan 7 tahun). Mereka berdua merasa diperlakukan “unfair” dibandingkan dengan adiknya yang paling kecil. Dalam bahasa saya, saya mencoba menterjemahkan complain mereka sebagai berikut “Mereka melihat garis yang tidak bengkok ketika saya memperlakukan mereka. Sekarang mereka melihat garis itu tidak hanya bengkok tetapi malahan kabur tidak jelas lagi”. Wah kalau sudah ke arah sana penafsirannya, maka menjadi runyam dan serius urusannya. Dan soal pampers ini adalah salah satu complain dari sekian complain yang saya terima weekend lalu dari 2 anak saya ini.


Anak kami yang paling kecil berusia 3.5 tahun. Dibandingkan dengan kedua kakaknya tadi, dia relative lebih terlambat. Bukan terlambat keluar gigi, bukan pula terlambat untuk memulai ngomong atau terlambat berjalan. Si kecil ini terlambat dalam hal meninggalkan kebiasaan memakai pampers. Kalau kedua kakaknya “mampu” memenuhi target kami menanggalkan pampers sebelum usia 2.5 tahun, ternyata si kecil ini merasakan kenyamanan dari pampers hingga usia lebih dari 3 tahun.

Tentunya bukan kepada perusahaan pampers ini kami harus memaki. Dengan berbekal pada kalimat ber”introspeksi diri”, saya mengajak rembugan istri saya untuk berdiskusi kira-kira apa penyebabnya.

Istri saya berkomentar bahwa ini sebagai akibat peningkatan “rasa” dari sebuah hasil teknologi. Menurut dia, perusahaan pampers telah meningkatkan standard ergonomic dalam hal men-design pampers dan juga mencoba untuk expand pasarnya. Kalau saat ini mayoritas pasarnya adalah balita (dibawah lima tahun) dan lansia (lanjut usia), sepertinya mereka tengah membidik pasar lain dengan memakai konsep, “Kenapa tidak semua usia saja yang memakai pampers?”. Saya hanya diam saja ketika mendengar komentar istri saya ini. Maklum, kalau nanti saya potong, dia terus ngambek dan tidak mau diskusi lagi. Dalam hati, saya membayangkan betapa semaraknya nanti iklan tentang pampers ini. Kalau ternyata analisa istri saya benar, nanti akan ada iklan yang promosinya kurang lebih berbunyi “Pakailah pampers produk kami. Tidak akan tembus dan akan meningkatkan produktifitas kerja anda tanpa harus bolak-balik ke kamar mandi”. Waduh.. edan tenan.

Dari banyak diskusi dan alternative yang ada, akhirnya saya mengusulkan untuk melepas pampers si kecil seperti kedua kakaknya dulu, lagian sudah waktunya untuk belajar mengontrol organnya sendiri. Tentunya dengan segala resiko dan konsekuensinya. Setelah istri saya sepakat, akhirnya salah satu pekerjaan tambahan dan utama bagi kami adalah melihat secara intens kegiatan si kecil dari jam ke jam. Kalau kedua kakinya sudah diapit sewaktu berjalan, ini sudah warning buat kami bahwa si kecil ingin segera buang air. Bukan itu saja, ada default baru yang melekat di bibir kami untuk selalu menanyakannya hampir setiap 30 menit, “Adik mau pipis?”

Kemarin pagi adalah pertama kali teori ini kami coba. Di awal tampaknya usaha kami lumayan membawa hasil. Si kecil mulai teratur dan dapat mengkontrol bisnis irigasi pengeluaran air ini. ”Wah.. hebat sekali awak ini”. Sudah siap-siap saya ingin segera pamer hasil ini ke teman-teman dan eyangnya. “Siapa dulu ayahnya?” Saya sudah persiapkan semua catatan, tulisan dan teknik untuk mengatasi pelepasan pampers ini. Bye..bye pampers.

Namun ternyata senyuman kami tidak dapat bertahan lama. Menjelang malam akan tidur, mulailah “bencana” itu datang. Dalam tidurnya, si kecil ngompol ke seluruh kasur. Dalam waktu dua jam, sudah dua kali si kecil ganti posisi karena posisi sebelumnya basah terkena ompol. Akhirnya, dalam satu malam telah 5 pulau besar kecil digambarnya di kasur dengan ompol. Lengkap sudah dekorasi kasur kami dalam satu malam oleh ompol si kecil.

Kalau sudah begini, istri saya paling cekatan kerjanya dan ditambahi dengan aksi mogok ngomong. Dia tidak perlu ngomong untuk mengekspresikan ketidaksenangannya. Karena dia tahu pasti bahwa ompol ini akan menjadi bagian dari pekerjaannya yang baru selain pekerjaan rutin yang lain. Kasur harus dijemur. Dan effectnya para tetangga akan melihat dan sudah pasti bertanya, “What’s going on?”. Jawaban standard kami adalah, “O itu? Biasa anak-anak

Istri saya sepertinya sudah mutung dan berkata, “Sudahlah kita pakai pampersnya lagi, nanti lama-lama si kecil akan bisa sendiri mengontrolnya”. Bukan kasur atau pampers itu yang saya permasalahkan, tetapi sorot tanya dari kedua mata kakak-kakaknya yang seakan-akan mempertanyakan kredibiltas ayahnya, “Apa bedanya adik dengan kami, sehingga perlakuan ayah dan mama berbeda?”. Sungguh merupakan ketakutan yang amat sangat bagi saya ketika pertanyaan itu benar-benar dikeluarkan melalui mulut mereka. “Mengapa saya harus menggunakan double standard untuk hal yang sama? Mengapa saya tidak lagi konsisten dengan standard yang pernah saya pakai untuk kedua kakaknya? Mengapa untuk si kecil ini, saya lebih memilih mengalah menuruti kemauannya ketimbang mendisiplinkannya?”

Ketika saya masuk kamarnya, masih dengan pulasnya si kecil tidur di kasur yang di samping kanan kirinya basah karena ompolnya sendiri. Saya katakan dengan lirih di telinganya sebelah kanan, “Believe me, this is for your own good”. Saya tutup kembali pintu kamarnya, dan masuk ke kamar kakak-kakaknya. Saya pandangi mereka yang juga masih tertidur. Saya kirimkan beberapa kalimat melalui SMS ke hati mereka yang isinya, ”Maafkan ayah yang lemah ini. Kalau untuk hal yang sepele seperti pampers ini saja, ayah tidak mampu memegang komitmennya, apalagi untuk urusan yang lebih besar dari ini. Terima kasih karena kalian berdua masih mau mengingatkan ayah tentang nilai sebuah komitmen ini. SMS balik ayah ya…?”.

Saya kembali ke kamar saya dan melihat istri saya yang sudah capai. Sudah tak terhitung berapa round-trip dia harus bolak-balik ganti sprei dan baju si kecil yang basah. Dengan langkah yang hati-hati saya bilang ke istri, ”Ada sebuah komitmen yang kita telah sepakati tanpa kita sadari bahwa fungsi kita di dunia ini hanyalah sebagai perantara saja. Yang bisa kita turunkan untuk anak kita adalah nilai dan rasa tentang hidup, yang kelak juga menjadi tugas mereka untuk menurunkannya ke cucu-cucu kita dan seterusnya”.

Kalau untuk transfer sebuah nilai dan rasa ini saja, kita tidak mampu melakukannya, adakah sesuatu yang lebih dari itu yang pantas kita berikan untuk mereka?”

Biarkan si kecil belajar dari organnya sendiri. Belajar dengan waktu yang sudah kita set. Biarkan dia tahu bahwa kalau dia tetap ngompol, nanti akan berakibat basah, bau dan najis. Kalau sudah terkena najis, maka macet sudah aktifitas lainnya sampai dia harus bersuci lagi”.

Sebelum complain, saya peluk istri saya sambil berseloroh “Beruntunglah kita menjadi bagian dari Indonesia yang mempunyai 17000 pulau. Malam ini, si kecil baru memulai menggambarnya dengan 5 pulau. Masih banyak pekerjaan yang harus dia dan kita selesaikan untuk malam-malam yang akan datang”. Istri saya hanya mesem (baca: tersenyum) saja, tanpa saya tahu pasti apa arti sebenarnya dari mesem itu. Apapun arti senyum itu, saya masih menunggu harapan lain yaitu jawaban SMS anak saya, semoga menerima permohonan maaf ayahnya.
(Prahoro Nurtjahyo, 22 Agustus 2005)

2 comments:

Anonymous said...

Yo'i... sungguh seger buat vitamin di hari Rabu.

Anonymous said...

tengkyu