PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Perancis dan Belanda telah sepakat untuk “menghajar” habis-habisan para anggota DPR yang nglencer dengan alasan studi banding ke Perancis selama 4 hari. (Baca harian nasional edisi minggu terakhir bulan Juli atau kunjungi website PPI Belanda). Dengan berbekal Digital Camera dan website, mereka membeberkan aktivitas para anggota DPR yang shopping ke Belanda (padahal studi bandingnya ke Perancis). Lembaga yang diharapkan mampu mengontrol kinerja pemerintahan ternyata malah lepas control.
Issue berita semacam ini bukan barang baru di telinga kita. Informasi sejenis, pada umumnya hanya kita terima lewat mulut ke mulut. Jadi sebenarnya, para anggota dewan kali ini sedang apes saja. Mereka kurang pintar menyembunyikan cara gerilyanya. Mungkin karena kurang lihai, masih amateur, jadi terkena batunya. Saya sarankan kepada yth. para anggota dewan atau pejabat pemerintahan yang sedang keluyuran ke luar negeri, kalau mau shopping sebaiknya malam hari dan usahakan 15 menit sebelum tokonya tutup. Jadi anda akan aman dari kuntitan candid camera para mahasiswa atau anggota lembaga non-profit yang masih cinta kepada Indonesia.
Issue berita semacam ini bukan barang baru di telinga kita. Informasi sejenis, pada umumnya hanya kita terima lewat mulut ke mulut. Jadi sebenarnya, para anggota dewan kali ini sedang apes saja. Mereka kurang pintar menyembunyikan cara gerilyanya. Mungkin karena kurang lihai, masih amateur, jadi terkena batunya. Saya sarankan kepada yth. para anggota dewan atau pejabat pemerintahan yang sedang keluyuran ke luar negeri, kalau mau shopping sebaiknya malam hari dan usahakan 15 menit sebelum tokonya tutup. Jadi anda akan aman dari kuntitan candid camera para mahasiswa atau anggota lembaga non-profit yang masih cinta kepada Indonesia.
Anggota DPR adalah salah satu representative dari perwakilan bangsa/rakyat Indonesia yang “langganan” keluyuran ke Luar Negeri dengan berbagai alasan. Realitanya, ternyata keluyuran ke luar negeri bukan hanya dominasi anggota legislative saja, para eksekutifpun tidak kalah gencarnya. Bagaimana dengan US, khususnya Houston? Sebagai kota pusat energy sedunia, bukankah menjadi ladang empuk bagi preman pemerintahan untuk mem-palak-i perusahaan minyak yang mempunyai operasi di Indonesia? Banyak preman di lingkungan pemerintahan yang paling tidak memperoleh jatah sekali setahun untuk datang ke Houston. Alasan kerja? Atau inspeksi ke Head Quarter? Wah…kalau bicara alasan, bisa dibuat dan macam-macam modelnya. Anda tinggal pesan saja, nanti alasan akan muncul dalam bentuk dokumen resmi. Kenapa tidak pernah terungkap? Karena biayanya masuk dalam cost-recovery? Mungkin saja. Namun yang jelas, praktek semacam ini sudah seperti bagian dari deal bisnis. Wallahualam.
Saya bukan latah sehingga ikut-ikutan ingin mendirikan organisasi semacam Corruption Watch di Houston. Saya hanya membayangkan betapa nyamannya kalau sebuah lembaga melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi yang diembannya. Tidak akan ada lagi issue miring. Misalnya, ini misalnya lho. Kalau lembaga A fungsinya sebagai public service, ya… belajarlah untuk melayani masyarakat dengan baik. Pilihlah seseorang yang duduk di front desk yang murah senyum, ramah dan gaya bicaranya yang lemah lembut baik face to face maupun melalui telepon. Tidak harus yang ganteng atau cantik, yang penting setiap tamu yang datang merasa welcome. Namanya juga menjaga sebuah image, kalau first impression sudah kecut, jangan harap service kita akan direkomendasikan ke orang lain. Sudah tampang jelek, cemberut melulu, ditambah kalau ngomong ketus dan sok sekali. Wah.. lengkap sudah penderitaan public service kita.
Saya membayangkan nanti akan ada “IATMI-Houston Watch”, tugasnya mengawasi kerja ketua, sekjen dan bendahara. Kalau mereka tidak becus mengurus lembaga yang dipimpinnya, kita tendang mereka keluar, ganti dengan siapa-siapa yang lebih mumpuni. Jangan mereka-mereka yang kelas kacangan yang dipasang untuk memimpin sebuah lembaga. Mungkin kita perlu juga “KJRI-Houston Watch”, yang bertugas mengawasi cara kerja lembaga ini, effektifitas jam kerjanya, fungsi yang diemban, dll. Dan macam-macam lagi. Tidak perlu risih, takut, marah, atau keki. Kalau memang kerjanya bagus kenapa harus takut. Tidak ada yang superior dan semua orang bekerja sesuai dengan tugasnya. Tidak ada lagi yang merasa penting dan merasa dibutuhkan. Aneh saja rasanya hidup di alam merdeka tetapi masih menyaksikan gaya feudal, gaya antara priyayi dan bawahan.
Dampak psychologis yang akan muncul adalah pejabat (DPR atau pemerintahan) yang akan “tugas” ke Houston akan berhati-hati. Paling tidak mereka akan catch up dengan lingkungan yang sudah terbentuk. Mereka-mereka yang dikirim bukan kualitas kacangan, tetapi professional. Tidak bermental minta ditraktir seenak udelnya sendiri, shopping oleh-oleh ke mall buat atasannya di kantor dengan biaya rakyat, main golf dengan biaya rakyat, atau pergi ke night club dengan biaya rakyat. Mereka akan aware bahwa di Houston ada anjing Herder (keturunan Jerman) yang akan menyalak yang suaranya akan sampai ke harian nasional di Jakarta dan seluruh pelosok tanah air.
Website kita sudah punya, apalagi digital camera, hampir setiap anggota punya. Menunggu apa lagi kita? Anjing Herder atau Doberman kali ya? (Prahoro Nurtjahyo, 2 Agustus 2005)
Saya bukan latah sehingga ikut-ikutan ingin mendirikan organisasi semacam Corruption Watch di Houston. Saya hanya membayangkan betapa nyamannya kalau sebuah lembaga melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi yang diembannya. Tidak akan ada lagi issue miring. Misalnya, ini misalnya lho. Kalau lembaga A fungsinya sebagai public service, ya… belajarlah untuk melayani masyarakat dengan baik. Pilihlah seseorang yang duduk di front desk yang murah senyum, ramah dan gaya bicaranya yang lemah lembut baik face to face maupun melalui telepon. Tidak harus yang ganteng atau cantik, yang penting setiap tamu yang datang merasa welcome. Namanya juga menjaga sebuah image, kalau first impression sudah kecut, jangan harap service kita akan direkomendasikan ke orang lain. Sudah tampang jelek, cemberut melulu, ditambah kalau ngomong ketus dan sok sekali. Wah.. lengkap sudah penderitaan public service kita.
Saya membayangkan nanti akan ada “IATMI-Houston Watch”, tugasnya mengawasi kerja ketua, sekjen dan bendahara. Kalau mereka tidak becus mengurus lembaga yang dipimpinnya, kita tendang mereka keluar, ganti dengan siapa-siapa yang lebih mumpuni. Jangan mereka-mereka yang kelas kacangan yang dipasang untuk memimpin sebuah lembaga. Mungkin kita perlu juga “KJRI-Houston Watch”, yang bertugas mengawasi cara kerja lembaga ini, effektifitas jam kerjanya, fungsi yang diemban, dll. Dan macam-macam lagi. Tidak perlu risih, takut, marah, atau keki. Kalau memang kerjanya bagus kenapa harus takut. Tidak ada yang superior dan semua orang bekerja sesuai dengan tugasnya. Tidak ada lagi yang merasa penting dan merasa dibutuhkan. Aneh saja rasanya hidup di alam merdeka tetapi masih menyaksikan gaya feudal, gaya antara priyayi dan bawahan.
Dampak psychologis yang akan muncul adalah pejabat (DPR atau pemerintahan) yang akan “tugas” ke Houston akan berhati-hati. Paling tidak mereka akan catch up dengan lingkungan yang sudah terbentuk. Mereka-mereka yang dikirim bukan kualitas kacangan, tetapi professional. Tidak bermental minta ditraktir seenak udelnya sendiri, shopping oleh-oleh ke mall buat atasannya di kantor dengan biaya rakyat, main golf dengan biaya rakyat, atau pergi ke night club dengan biaya rakyat. Mereka akan aware bahwa di Houston ada anjing Herder (keturunan Jerman) yang akan menyalak yang suaranya akan sampai ke harian nasional di Jakarta dan seluruh pelosok tanah air.
Website kita sudah punya, apalagi digital camera, hampir setiap anggota punya. Menunggu apa lagi kita? Anjing Herder atau Doberman kali ya? (Prahoro Nurtjahyo, 2 Agustus 2005)
No comments:
Post a Comment