Sunday, August 28, 2005

Dari ExxonMobil sampai Mental Anak Bangsa

Kalau Kwik Kian Gie (KKG) menyinggung kasus ExxonMobil di Cepu tanpa menyebut kasus Ambalat sebagai bagian dari prolog analisanya, maka ada hubungan causal yang kurang lengkap dari sisi pembekalan materi kepada para pembacanya. Kalau ternyata pada akhirnya barter antara kasus Ambalat dan kasus Cepu menjadi timpang atau tidak sepadan nilainya, itu adalah permasalahan yang lain lagi. Walaupun aneh kedengarannya, itulah kenyataan yang ada di negara kita. Kedaulatan dan harga diri kita telah terlilit oleh “chain reaction” sehingga urusan A terkait oleh urusan B dan urusan dalam negeri tergantung sekali dengan campur tangan negara asing.

Semuanya sangat tergantung dengan hutang luar negeri, tidak percaya diri, sehingga mudah menjadi permainan bangsa lain karena bargaining power yang keropos. Apakah kita ini mudah diacak-acak oleh bangsa lain karena kita bodoh? Atau karena kita memang sudah tidak peduli lagi dengan hidup matinya bangsa ini? Atau jangan-jangan kita semua ini sudah menjadi futuristic bahwa yang penting adalah kehidupan akhirat? Futuristic? Ah rasanya kok tidak. Masih mending kalau futuristic. Ini sudah pada level masa bodoh. Atau inikah yang kita pahami selama ini dengan konsep “Hablul Minannas”?
Dua Ekstreem
Pasca dinasti Suharto jatuh, Indonesia menjadi eksperimen dari para “reformis”. Berbekal dengan konsep bernegara yang kabur dan situasi yang rentan pecah pada saat itu, telah memberikan kesempatan para oportunis untuk memasuki gelanggang percaturan politik Indonesia yang sejak lahir (1945) memang sudah rawan untuk pecah. Asal memakai label kata-kata reformasi, maka semua tindakan seolah telah memperoleh sertifikat halal dan benar.

Menjelang jatuhnya Suharto pada tahun 1998, hubungan antara pemerintah Indonesia pada waktu itu dengan IMF memang sudah tidak mesra lagi. Apalagi ada track record dari Suharto yang pernah “membubarkan” IGGI (institusi negara pemberi hutang kepada Indonesia) sehingga IMF menjadi ketar-ketir juga kalau nanti “dicerai” oleh Suharto. Berbeda dengan IGGI atau CGI, IMF datang ke negara kita dengan membawa bendera Persatuan Bangsa Bangsa (UN) melalui slogannya “menolong negara miskin” akibat krisis moneter. Dengan misi ini, di Indonesia, IMF mempunyai banyak “santri” yang taat mengikuti ajarannya, terutama mereka-mereka yang duduk pada level pejabat pemerintahan. Jatuhnya Suharto membawa dampak ease the pain para boss IMF, sehingga turut mendongkrak para “santri”nya untuk naik pentas.

Pada jajaran elite di tingkat atas, muncul dua ekstreem yang masing-masing meyakini nilai-nilai yang dibawanya. Sebut saja, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie dkk (sebagai pemeluk ajaran IMF) di satu ekstreem yang menitik beratkan pada azas ekonomi ala pasar. Konsep ada uang ada barang. Bayi nangis sekarang, cepat-cepat di kasih dot susu. Sementara KKG dan Rizal Ramli di ekstreem yang lain, lebih melihat dampak jangka panjang.

Sri Mulyani dkk melihat faktor lapangan adalah variable utama. Mereka lebih senang kalau mendengar si bayi tidak menangis sekarang. Sementara KKG dkk lebih melihat bagaimana kondisi kedepannya. Lebih baik si Bayi menangis sekarang tetapi bisa hidup sampai 65 tahun lagi daripada si Bayi hidup sekarang dan belum tentu bertahan hingga usia 10 tahun.

Menurut Sri Mulyani dkk, hutang diperlukan karena kita sedang membangun dan tidak mungkin diputus ditengah jalan. Ada sesuatu yang harus dikorbankan (jika memang perlu) untuk menggapai sebuah harapan (?). Rakyat kelaparan pada detik sekarang ini adalah fact. Sedangkan bagaimana realita 5, 10 atau 20 tahun kedepan bukan prioritas utama dari analisa Sri Mulyani dkk. Harga minyak naik sekarang ini adalah juga kenyataan. Sri Mulyani dkk tidak akan menganalisa harga BBM 5 tahun kedepan, karena banyak variable yang nantinya akan berubah selama lima tahun kedepan. Maka tidaklah heran, ketika madzab ini berkuasa, banyak BUMN kita dijual untuk menjadi abdi dalem (hambanya) dari ndoro IMF.

Beberapa komentar menyebutkan bahwa KKG terlalu idealis, kaku dan tidak melihat kondisi yang ada di lapangan. KKG selalu menghembuskan isu nasionalisme dan patriotisme untuk merebut simpati dari para kalangan menengah ke bawah. Saya cenderung setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ”Sri Mulyani dkk lebih condong pada kehidupan sehari-hari (ekonomi pasar), sementara KKG lebih menempatkan azas pemanfaatan ekonomi berdasar pada ego kepemilikan”. Kuasai dulu semua Sumber Daya Alam (SDA) yang menguasai harkat orang banyak. Infrastructure bisa diperolehnya sambil berjalan. KKG mengajak semua elemen untuk menjadi bagian dari proses. “Menderita” di awal adalah salah satu bagian yang namanya proses. Hanya saja, Madzab-nya KKG ini gagal mengimplementasikan teorinya pada level atas. Teori yang ditawarkan oleh KKG, Stick and Carrot, tidak mendapat sambutan yang positif dari para koleganya. Kenapa? Karena kalau diaplikasikan, akan terlalu banyak Stick-nya daripada Carrot-nya. Penjara yang diharapkan akan diisi oleh para koruptor ternyata akan lebih banyak dan lebih dulu diisi oleh para jaksa, hakim dan polisi.

Mapping SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia

Kharakter bangsa kita memang unik. Jangan terlalu banyak berharap untuk menjadikan bangsa ini melek jalan pikirannya hanya dengan melalui sebuah Seminar, Simposium, atau Rapat Kerja. Sudah dimaki di depan mata saja, masih nggak ngerti juga apa kesalahannya. Makanya, janganlah memakai bahasa yang halus, sindiran atau kalimat bersayap untuk mengajak melek bangsa ini. Coba keluarkan semua nama binatang di Kebun Binatang, Jangkrik, Anjing, Kecoa, dll., maka tidak akan mengubah hasil akhirnya.

Ada time frame dan mapping SDM yang padu diantara mereka yang masih peduli dengan keberlangsungan hidup dari bangsa ini. Salah satu kelemahan yang ada antar generasi adalah missing link sebuah nilai. Tidak ada tali penyambung konsep bernegara antara pendiri republik ini dengan penguasa sekarang ini. Sukarno, Hatta, Syahrir dan sederetan tokoh pendiri bangsa gagal mentransfer sebuah nilai yang sekarang diartikan lain tentang makna dari berjuang untuk rakyat.

Sepuluh tahun atau dua periode pemerintahan yang akan datang adalah waktu yang tepat untuk kembali menata sendi-sendi pemerintahan dan sosial kemasyarakatan kalau kita masih mau membangun bangsa ini. Mengapa 10 tahun lagi? Paling tidak ada 3 skenario:

1. Mengkikis nilai lama melalui jalan yang “damai” atau alami.Sepuluh tahun lagi, para pejabat pemerintahan yang saat ini berusia 55 tahun akan pensiun. Dengan lengsernya para sesepuh ini, akan ada power shift terhadap nilai-nilai lama yang selama ini dianggap memperlambat perubahan. Disadari atau tidak, masih saja ada perasaan ewuh pekewuh, sungkan untuk mengkritik atau menyampaikan message ke para senior kita. Dengan dalih menjaga adat istiadat dan berlindung pada selimut budaya timur (Apa sih sebenarnya budaya timur ini???), maka sesuatu yang straight to the point disebut sebagai tindakan kasar, hilang budaya, sok kebarat-baratan, dan masih banyak lagi.

2. Memfilter SDM kita yang saat ini berusia 45 tahun yang akan naik posisi.
Ini berarti sepuluh tahun lagi, mereka-mereka kelahiran 1960an akan memegang kemudi kendaraan Republik ini. Transisi antara generasi sepuh dengan angkatan ini (kelahiran 60an) memerlukan enforcement untuk membuat benang merah antara professional di bidangnya dengan para karbitan atau kelas kacangan.

3. Menyamakan misi dan visi para SDM yang saat ini berusia 35 tahun.
Generasi ini yang mulai sekarang harus sering digesek atau diadu konsepnya untuk menyamakan visi dan misi berjuang untuk rakyat. Sehingga sepuluh tahun lagi, posisi mereka (sudah Manager) merupakan kekuatan yang dahsyat karena jumlah mereka yang se-paham sudah melebihi senior mereka yang saat itu memegang kendali. Apa kendalanya? Mental bobrok di masyarakat kita sudah pada level yang sangat membahayakan dan seharusnya ada warning nasional tentang bahaya laten ini. Budaya paternalistic yang sendiko dawuh, manut, nrimo akan selalu defensive terhadap nilai baru yang ditawarkan apalagi kalau mengancam keselamatan posisinya. Artinya, generasi yang saat ini berusia 55 tahun sudah menghasilkan ribuan kader dengan mentalitas yang tidak kalah busuknya dibandingkan para seniornya yang akan menutup semua celah untuk menuju perubahan. Ini tantangan kita semua.

Tentunya semua itu harus juga dibarengi dengan mapping orang-orang yang professional dibidangnya, mempunyai visi dan misi yang sama tentang bagaimana membangun bangsa ini. Kalau pulang kampung tanpa ada kejelasan konsep akan kemana bangsa ini berjalan, ya sami mawon. Sampai kapanpun kita akan seperti ini terus.

Saatnya untuk bertempur

Kalau saja bangsa ini kuat, Malaysia tidak dengan seenaknya saja mencoba “bermain” dengan Ambalat setelah mereka “dimenangkan” atas pulau Sipadan dan Linggitan. Banyak masalah yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan terutama yang berkaitan dengan batas wilayah kedaulatan negeri ini. Dengan Singapura misalnya, pengerukan pasir yang lambat laun akan menenggelamkan pulau terdekat kita dengan Singapura. Kelak Singapura akan meng-klaim batas wilayahnya bertambah jika pulau itu sudah tenggelam akibat pasirnya sengaja “digunduli” mengacu pada zona laut (3 miles dari garis pantai). Cepat atau lambat, batas wilayah Malaysia dengan Indonesia akan mencuat lagi terutama diperbatasan Serawak. Patok batas negara yang sudah tidak jelas lagi sekarang, bahkan sudah banyak muncul pasar di daerah perbatasan dengan mata uang ringgit sebagai nilai tukarnya. Belum lagi kasus kepulauan di NTT yang oleh juru bicara Kementrian Luar Negeri di-klaim bukan wilayah Indonesia karena alasan dulunya merupakan bekas jajahan dari Inggris. Masih banyak lagi sederetan permasalahan yang ruwet ….

ExxonMobil di Cepu adalah salah satu contoh lemahnya mental anak bangsa. Akan muncul kasus serupa kalau kita tidak aware, well prepared dan bersikap ksatria untuk menghadapinya. Permasalahan besar kita adalah menyamakan visi dan misi tentang bagaimana membangun bangsa ini. Karena pada akhirnya yang akan “bersinggungan” adalah antar anak bangsa sendiri maka Enforcement dari pemegang kekuasaan adalah syarat mutlak yang harus dipersiapkan. Semoga saja, pemerintah mempunyai blue print tentang kemana bangsa ini akan dibawa dan mapping SDM kita yang saat ini bertebaran kemana-mana. Bagaimana kalau tidak ada “blue print”-nya? Ya ganti saja tintanya, jadi black atau yellow. (Prahoro Nurtjahyo, 28 Agustus 2005)


No comments: