Saya akan mengawali tulisan ini dengan sebuah statement “Tidak ada suatu bangsa yang maju karena bantuan oleh bangsa lain” Sama artinya juga “Majunya suatu bangsa sangat tergantung oleh bangsa itu sendiri. Yang bisa memajukan bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri, bukan Jepang, Australia apalagi US”. Jadi kalau ada bantuan atau hibah dari negara lain, janganlah cepat-cepat kita bersuka cita, pesta kenduri atau syukuran. Tim pemerintah pulang disambut dengan suka cita karena berhasil hutang sekian trilyun dari negara donor. Lho.. ini ada logika yang terbalik. Mengapa? Karena pada saat yang sama artinya kita telah jatuh pada mata rantai yang namanya “tergantung”. Dalam bahasa pasar, kita mengenal rentenir. Ini sama saja. Memangnya negara yang mau membantu atau yang memberi hutang tidak menginginkan sesuatu untuk kembali? Kalau mereka memberi “hibah” 3 Milyar, benarkah itu free? Get real! Saya yakin 100% bahwa apa yang nanti akan dia peroleh jauh lebih besar dari 3 Milyar. Negara yang ekonominya bersandar pada azas capitalism, maka konsep dasarnya jelas, there’s no such a free lunch!
Mari sekarang perhatian kita alihkan ke kota Houston dalam kaitannya dengan industri migas. Sebagai kota pusat energi dunia, maka sudah sepantasnya jika Houston menjadi sentral bagi siapa saja, khususnya pebisnis, yang bekerja di bidang energi. Selain karena sebagian besar headquarter perusahaan minyak dunia berada di Houston, ini juga disebabkan karena kota ini sebagai tempat beberapa events penting yang bersinggungan dengan issue teknologi terkini. Houston adalah leading edge dari semua pergerakan yang bersentuhan dengan energi. Kita ambil contoh OTC (Offshore Technology Conference). Konferensi yang dimulai sejak akhir 60an hingga kini diselenggarakan pada minggu pertama bulan Mei setiap tahun. Events ini adalah events yang menyatukan semua element yang bersinggungan dengan energi di seluruh dunia. Jadi adalah hal yang lumrah, jika orang berebut informasi tentang energi pastilah dia datang atau mencari tahu ke kota ini. Maka sangatlah tidak relevan jika menginginkan informasi terkini tentang industri migas kemudian melakukan kunjungan kerjanya ke kota lain. Misalnya pergi ke Temanggung, Jawa Tengah atau ke Gunung Kawi, Jawa Timur. Lha ngapain mereka kesana? Mencari Jimat?
Rentetan peristiwa
Baru-baru ini Houston kedatangan tamu dari Indonesia yang berkeinginan untuk mencari investor untuk bidang energi berkenaan dengan beberapa proyek yang ada di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan energi. LNG adalah salah satunya proyek yang ditawarkan.
Kali ini saya tidak tertarik untuk ngrusui (baca: mengganggu) mereka yang datang. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menyibak kembali perjalanan peristiwa yang pernah ada di US yang mengkaitkan antara Indonesia dan US terutama yang bersinggungan dengan migas dan apa yang dihasilkan dari rentetan peristiwa itu.
Tahun 2001, di Houston, Texas pernah diadakan HED (Houston Energy Dialog), yang salah satu fungsinya ingin menarik investor di bidang migas. Hadir pada kesempatan itu adalah Megawati (Presiden waktu itu) dan SBY (Menko Polkam waktu itu). Apa hasilnya? HED ini ikut tenggelam seiring dengan waktu yang berjalan. That’s it.
Akhir bulan September 2003, masih di tempat yang sama di Houston, Texas, pernah diselenggarakan Simposium tentang Masa Depan Dunia Perminyakan Indonesia. Hasilnya telah dirumuskan dan dibukukan kemudian diserahkan kepada ketua IATMI Pusat waktu itu (sekarang Ketua BPMIGAS). Dan kita semua tahu, follow-upnya adalah nol. That’s it and had been done.
Tanggal 25 Mei 2005, SBY bertemu dengan Bush di Washington D.C. untuk menghidupkan kembali suasana yang sudah 8 tahun vacuum akibat “sanksi militer” US. Jadi ibaratnya, Indonesia selama ini adalah anak yang nakal, maka oleh US, Indonesia ini dihukum karena tidak manut. Bagian mana yang tidak manut? Salah satu yang diangkat ke permukaan oleh US adalah beberapa kejadian tentang pelanggaran HAM di Indonesia (Kasus penculikan, Timor Timur, Ambon, Palu, dan Aceh). Sehari setelah pertemuan antara kedua pemimpin negara itu, tanggal 26 Mei 2005, diteruskan dengan Energy Policy Dialogue antara US dengan Indonesia. Intinya mereka membahas tentang kemungkinan investasi bidang energi khususnya tenaga listrik, minyak dan gas bumi di Indonesia. Dari pihak pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri BUMN Sugiharto dan Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Iin Takhyan. Guna mem-follow up hasil Energy Policy Dialogue bulan Mei 2005, diadakan pertemuan lagi kelompok kerja di Jakarta tanggal 29 Agustus 2005. Sudah barang tentu, there’s no such a free lunch. Salah satu yang juga ikut “terselesaikan” adalah kasus Cepu.
Tamu-tamu yang datang ke Houston pada tanggal 3 Oktober 2005 kemarin, apapun kapasitas yang diwakilinya, kalau mereka datang mewakili pemerintah maka sudah waktunya untuk mengirim pesan ke boss yang mengirimnya dengan isi, “Pak boss SBY, sebaiknya kita benahi yang ada didalam dulu, baru kita road show keluar”. Sementara itu, kalau mereka datang mewakili kelompok bisnis tertentu maka sebaiknya anda meluruskan kembali niat anda dan memegang teguh prinsip win-win solution antara kedua negara. Tidak ada satupun bangsa yang maju karena bantuan negara lain. Kalau Indonesia ingin maju, maka yang bisa membawanya maju adalah rakyatnya sendiri, bukan hutang ke negara lain.
Mencari informasi ke Houston adalah langkah yang benar. Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana mereka mengetahui permasalahan Indonesia secara macro yang mempunyai ekses langsung di bidang energi? Sudahkah tim yang datang ke Houston ini memperlajari hasil-hasil yang pernah dikeluarkan oleh event sebelumnya. HED misalnya. Apakah hasil dari HED pernah dievaluasi? Disosialisasikan? Saya kok jadi sangsi bahwa kedatangan tim ini adalah satu paket dengan kunjungan dari SBY ke US akhir bulan Mei kemarin. Jadi sebenarnya hanya embel-embel saja. Kalau dalam istilah tinju, inilah yang disebut dengan partai tambahan alias bukan pertunjukkan utama. Karena embel-embel sifatnya jadi sebenarnya bukan partai yang menarik untuk ditonton. Dimunculkan untuk melengkapi persyaratan ceremonial saja karena big fish nya sudah tertangkap.
Belajar dari Negara lain
Kebanyakan pemimpin kita tidak mempunyai hobi membaca. Membaca apa saja, baik itu secara harfiah membaca maupun beyond dari membaca (pada level analisa), mulai dari keadaan perkembangan di tanah air, tingkat regional maupun internasional. Ini adalah kelemahan utama pemimpin kita sehingga analisanya cekak alias tidak cukup dan berakibat tidak mumpuni dalam bidangnya. Apa hasilnya? Hasilnya adalah pemimpin kita tidak pandai belajar dari sejarah atau pengalaman yang pernah terjadi. Tak terhitung sudah berapa model kerjasama yang dipakai baik antar negara atau perusahaan yang berakhir dengan win lose solution yang berdampak pada jutaan rakyat Indonesia. Selain karena lemahnya kualitas pemimpin, juga disebabkan karena urusan perut masih menjadi hantu bagi mereka. Takut kelaparan karena kehilangan pekerjaan.
Mari kita lihat contoh bagaimana dua negara, Libya dan Venezuela, melakukan strateginya yang indah dan elegan untuk menjaga suatu martabat dan harga diri sebuah bangsa.
Akhir bulan September 2005, Menteri Energy Libya mengumumkan secara terbuka bahwa negaranya memerlukan dana investasi sekitar USD 20 Billion untuk mengeksploitasi minyaknya. Libya yang saat ini memproduksi minyak sekitar 1.7 juta Barrel per hari ingin meningkatkan produksinya menjadi lebih dari 3 juta Barrel per harinya pada tahun 2015. Untuk “iming-iming” kepada para investor, mereka menunjukan beberapa lapangan yang mereka miliki dimana hanya memerlukan biaya produksi kurang dari USD 1 per Barrelnya. Dengan harga minyak sekarang yang di atas USD 60 per Barrel, maka sudah barang tentu ini merupakan tawaran yang layak untuk diperhitungkan bagi para investor. Libya yang terkena embargo ekonomi dari US sejak tahun 1989 menawarkan sumur mereka ke Shell (Belanda) dengan system sharing contract. Kenapa tidak ditawarkan ke US? Jawabannya adalah “Kenapa harus ditawarkan ke US?”
Venezuela adalah salah satu negara yang mempunyai sumber minyak terbesar didunia diluar kawasan Timur Tengah selain Rusia. Dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta, maka sangatlah ironis sebagai negara kaya minyak, sejak tahun 1970 sampai 1998, mengalami penurunan tingkat ekonomi yang drastis. Selama periode itu, jumlah penduduk miskin meningkat dari sepertiga populasi menjadi setengah dari populasinya. Hugo Chaves memegang kendali sebagai Presiden selama dua kali. Pertama kali menjadi presiden tahun 1999 dan pernah di-kudeta tahun 2002.
Mari sekarang perhatian kita alihkan ke kota Houston dalam kaitannya dengan industri migas. Sebagai kota pusat energi dunia, maka sudah sepantasnya jika Houston menjadi sentral bagi siapa saja, khususnya pebisnis, yang bekerja di bidang energi. Selain karena sebagian besar headquarter perusahaan minyak dunia berada di Houston, ini juga disebabkan karena kota ini sebagai tempat beberapa events penting yang bersinggungan dengan issue teknologi terkini. Houston adalah leading edge dari semua pergerakan yang bersentuhan dengan energi. Kita ambil contoh OTC (Offshore Technology Conference). Konferensi yang dimulai sejak akhir 60an hingga kini diselenggarakan pada minggu pertama bulan Mei setiap tahun. Events ini adalah events yang menyatukan semua element yang bersinggungan dengan energi di seluruh dunia. Jadi adalah hal yang lumrah, jika orang berebut informasi tentang energi pastilah dia datang atau mencari tahu ke kota ini. Maka sangatlah tidak relevan jika menginginkan informasi terkini tentang industri migas kemudian melakukan kunjungan kerjanya ke kota lain. Misalnya pergi ke Temanggung, Jawa Tengah atau ke Gunung Kawi, Jawa Timur. Lha ngapain mereka kesana? Mencari Jimat?
Rentetan peristiwa
Baru-baru ini Houston kedatangan tamu dari Indonesia yang berkeinginan untuk mencari investor untuk bidang energi berkenaan dengan beberapa proyek yang ada di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan energi. LNG adalah salah satunya proyek yang ditawarkan.
Kali ini saya tidak tertarik untuk ngrusui (baca: mengganggu) mereka yang datang. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menyibak kembali perjalanan peristiwa yang pernah ada di US yang mengkaitkan antara Indonesia dan US terutama yang bersinggungan dengan migas dan apa yang dihasilkan dari rentetan peristiwa itu.
Tahun 2001, di Houston, Texas pernah diadakan HED (Houston Energy Dialog), yang salah satu fungsinya ingin menarik investor di bidang migas. Hadir pada kesempatan itu adalah Megawati (Presiden waktu itu) dan SBY (Menko Polkam waktu itu). Apa hasilnya? HED ini ikut tenggelam seiring dengan waktu yang berjalan. That’s it.
Akhir bulan September 2003, masih di tempat yang sama di Houston, Texas, pernah diselenggarakan Simposium tentang Masa Depan Dunia Perminyakan Indonesia. Hasilnya telah dirumuskan dan dibukukan kemudian diserahkan kepada ketua IATMI Pusat waktu itu (sekarang Ketua BPMIGAS). Dan kita semua tahu, follow-upnya adalah nol. That’s it and had been done.
Tanggal 25 Mei 2005, SBY bertemu dengan Bush di Washington D.C. untuk menghidupkan kembali suasana yang sudah 8 tahun vacuum akibat “sanksi militer” US. Jadi ibaratnya, Indonesia selama ini adalah anak yang nakal, maka oleh US, Indonesia ini dihukum karena tidak manut. Bagian mana yang tidak manut? Salah satu yang diangkat ke permukaan oleh US adalah beberapa kejadian tentang pelanggaran HAM di Indonesia (Kasus penculikan, Timor Timur, Ambon, Palu, dan Aceh). Sehari setelah pertemuan antara kedua pemimpin negara itu, tanggal 26 Mei 2005, diteruskan dengan Energy Policy Dialogue antara US dengan Indonesia. Intinya mereka membahas tentang kemungkinan investasi bidang energi khususnya tenaga listrik, minyak dan gas bumi di Indonesia. Dari pihak pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri BUMN Sugiharto dan Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Iin Takhyan. Guna mem-follow up hasil Energy Policy Dialogue bulan Mei 2005, diadakan pertemuan lagi kelompok kerja di Jakarta tanggal 29 Agustus 2005. Sudah barang tentu, there’s no such a free lunch. Salah satu yang juga ikut “terselesaikan” adalah kasus Cepu.
Tamu-tamu yang datang ke Houston pada tanggal 3 Oktober 2005 kemarin, apapun kapasitas yang diwakilinya, kalau mereka datang mewakili pemerintah maka sudah waktunya untuk mengirim pesan ke boss yang mengirimnya dengan isi, “Pak boss SBY, sebaiknya kita benahi yang ada didalam dulu, baru kita road show keluar”. Sementara itu, kalau mereka datang mewakili kelompok bisnis tertentu maka sebaiknya anda meluruskan kembali niat anda dan memegang teguh prinsip win-win solution antara kedua negara. Tidak ada satupun bangsa yang maju karena bantuan negara lain. Kalau Indonesia ingin maju, maka yang bisa membawanya maju adalah rakyatnya sendiri, bukan hutang ke negara lain.
Mencari informasi ke Houston adalah langkah yang benar. Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana mereka mengetahui permasalahan Indonesia secara macro yang mempunyai ekses langsung di bidang energi? Sudahkah tim yang datang ke Houston ini memperlajari hasil-hasil yang pernah dikeluarkan oleh event sebelumnya. HED misalnya. Apakah hasil dari HED pernah dievaluasi? Disosialisasikan? Saya kok jadi sangsi bahwa kedatangan tim ini adalah satu paket dengan kunjungan dari SBY ke US akhir bulan Mei kemarin. Jadi sebenarnya hanya embel-embel saja. Kalau dalam istilah tinju, inilah yang disebut dengan partai tambahan alias bukan pertunjukkan utama. Karena embel-embel sifatnya jadi sebenarnya bukan partai yang menarik untuk ditonton. Dimunculkan untuk melengkapi persyaratan ceremonial saja karena big fish nya sudah tertangkap.
Belajar dari Negara lain
Kebanyakan pemimpin kita tidak mempunyai hobi membaca. Membaca apa saja, baik itu secara harfiah membaca maupun beyond dari membaca (pada level analisa), mulai dari keadaan perkembangan di tanah air, tingkat regional maupun internasional. Ini adalah kelemahan utama pemimpin kita sehingga analisanya cekak alias tidak cukup dan berakibat tidak mumpuni dalam bidangnya. Apa hasilnya? Hasilnya adalah pemimpin kita tidak pandai belajar dari sejarah atau pengalaman yang pernah terjadi. Tak terhitung sudah berapa model kerjasama yang dipakai baik antar negara atau perusahaan yang berakhir dengan win lose solution yang berdampak pada jutaan rakyat Indonesia. Selain karena lemahnya kualitas pemimpin, juga disebabkan karena urusan perut masih menjadi hantu bagi mereka. Takut kelaparan karena kehilangan pekerjaan.
Mari kita lihat contoh bagaimana dua negara, Libya dan Venezuela, melakukan strateginya yang indah dan elegan untuk menjaga suatu martabat dan harga diri sebuah bangsa.
Akhir bulan September 2005, Menteri Energy Libya mengumumkan secara terbuka bahwa negaranya memerlukan dana investasi sekitar USD 20 Billion untuk mengeksploitasi minyaknya. Libya yang saat ini memproduksi minyak sekitar 1.7 juta Barrel per hari ingin meningkatkan produksinya menjadi lebih dari 3 juta Barrel per harinya pada tahun 2015. Untuk “iming-iming” kepada para investor, mereka menunjukan beberapa lapangan yang mereka miliki dimana hanya memerlukan biaya produksi kurang dari USD 1 per Barrelnya. Dengan harga minyak sekarang yang di atas USD 60 per Barrel, maka sudah barang tentu ini merupakan tawaran yang layak untuk diperhitungkan bagi para investor. Libya yang terkena embargo ekonomi dari US sejak tahun 1989 menawarkan sumur mereka ke Shell (Belanda) dengan system sharing contract. Kenapa tidak ditawarkan ke US? Jawabannya adalah “Kenapa harus ditawarkan ke US?”
Venezuela adalah salah satu negara yang mempunyai sumber minyak terbesar didunia diluar kawasan Timur Tengah selain Rusia. Dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta, maka sangatlah ironis sebagai negara kaya minyak, sejak tahun 1970 sampai 1998, mengalami penurunan tingkat ekonomi yang drastis. Selama periode itu, jumlah penduduk miskin meningkat dari sepertiga populasi menjadi setengah dari populasinya. Hugo Chaves memegang kendali sebagai Presiden selama dua kali. Pertama kali menjadi presiden tahun 1999 dan pernah di-kudeta tahun 2002.
Pada tahun 2004, Hugo kembali memegang kendali dan menggunakan hasil penjualan minyaknya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit dan pengadaan pasar murah. Langkah sederhana yang sangat mendasar dan mempunyai dampak langsung kepada apa yang dibutuhkan rakyat Venezuela. Kebijakan Hugo ditentang oleh para lawan politiknya. Bahkan beberapa kebijakan dia pernah digoyang oleh lawan politiknya dengan menutup industri minyak selama 63 hari. Bayangkan saja, akibat penutupan ini pendapatan negara Venezuela raib hampir separoh dari total pendapatannya. Hugo Chaves dapat bertahan dari gangguan dalam negerinya dan sekarang masih menjadi Presiden. Meskipun banyak dikecam oleh para pengamat ekonomi di negaranya, namun kesuksesan Huga Chaves dalam hal mengentaskan kemiskinan, terutama sekolah dan kesehatan, tidak dipungkiri oleh lawan-lawan politiknya. Oleh rakyat Venezuela, Hugo disambut sebagai pahlawan, sementara oleh Washington, Hugo dianggap sebagai perusak skenario. Bahkan beberapa kebijakannya dituding sebagai salah satu penyebab kenaikan harga minyak dunia. So What? Kepada siapa Hugo harus berpihak? Kepada rakyatnyakah atau kepada Washington D.C.? Kalau cadangan minyak Venezuela itu habis karena untuk memberi makan rakyatnya yang lapar, mengobati rakyatnya yang sakit, memintarkan rakyatnya yang bodoh, maka itu sudah hal yang sangat logis dan masuk akal. Bukankah memang begitu seharusnya? Memanfaatkan hasil bumi untuk kemakmuran rakyatnya. Perkara dia lebih senang berteman dengan Fidel Castro daripada dengan Geroge Bush, itu perkara lain. Orang yang “waras” akan meletakan prinsip win-win solution sebagai dasar suatu kerjasama. Barangkali, Hugo Chaves merasakan win-win solution ketika dia bekerja sama dengan Kuba daripada dengan US. Apapun bentuk kerjasama yang ingin dilakukan, ketika win-lose solution yang terjadi, maka sudah terjadi proses pembodohan dalam kerjasama itu.
What should we do?
US adalah negara pengagum ajaran demokrasi. Akal dan nalar adalah “tuhan” mereka. Ketika Indonesia harus deal dengan US, marilah kita mengunakan akal dan nalar yang benar. Permasalahan dasar kita adalah beranikah pemimpin kita bermain dengan cara bermainnya bangsa ini? Adakah kualitas pemimpin kita yang mampu untuk bilang TIDAK untuk hal-hal yang tidak masuk akal? Apakah ini semua disebabkan karena kita yang memiliki budaya timur? Wah… kok nelongso sekali bangsa kita ini. Jadi karena kita berada dalam budaya dunia timur, maka kita harus lemah, manut dan nrimo. Why? Inilah mental yang harus kita hilangkan. Bisnis adalah bisnis. Tidak ada istilah “lancang” atau “kurang ajar”. Yang ada adalah make sense atau nonsense. Kalau bule main tunjuk di depan kita, apa tidak bisa kita tunjuk hidung mereka? Mari kita tunjukkan bahwa kualitas anak bangsa ini melebihi kemampuan mereka.
Bahwa US adalah negara maju, kita tidak menutup mata. Tetapi tidak harus dengan menghambakan diri atau meletakan harga diri ditelapak kaki mereka untuk mengemis minta hutang kepada mereka. Cara-cara seperti ini yang merusak prinsip-prinsip bisnis yang ada di Indonesia. Inilah mental penjilat, atau kalau meminjam istilahnya Kwik Kian Gie, mental Inlander.
“Jangan Tinggalkan Sejarah”. Sejarah juga yang mengajarkan kepada kita betapa J.F. Kennedy mengagumi anak Indonesia yang bernama Soekarno. Kagum bukan karena basa-basi, tetapi karena presiden Soekarno telah menempatkan harga diri bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadinya dalam deal dengan negara lain. Se-melarat apapun dia, kalau masih punya harga diri, itu jauh lebih berharga daripada para penjilat pantat boss atasannya. Menjijikan sekali.
Dahlan Iskhan dalam tulisannya di Jawapos (edisi 13 dan 14 Oktober 2005) mengkritisi apa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan sekarang ini. Antara lain, para menteri yang tidak terkoordinasi dan tumpang tindihnya wewenang antara menteri satu dengan yang lain. Saling menyalib antara Presiden dengan Wakil Presiden karena rebutan pengaruh. Negara ini memang seperti angkutan umum yang digunakan seenaknya untuk memenuhi setoran tertentu kepada pemesan tertentu pula.
Minyak dan gas bumi adalah komoditi pilihan. Tanpa dijajakanpun, akan banyak orang yang antri daftar untuk membeli. Jadi, benahi dulu apa yang ada dalam rumah tangga kita sebelum kita “jalan-jalan” menjajakan barang dagangan ini ke tetangga kanan kiri. Pelajari semua permasalahan kita, terutama tentang aturan dan hukum yang masih abu-abu. Jadikan suasana yang nyaman untuk investasi. Buktikan bahwa berita yang beredar diluar adalah berita yang salah, terutama tentang semaraknya praktek pe-malak-an, baik proyek, hutang atau sumbangan. Bagaimana akan nyaman perasaan investornya kalau tahu-tahu ada bom meletus? Bagaimana investor akan tahu berapa USD dia akan invest kalau banyak dana siluman tak pasti yang harus masuk dalam pembukuan tanpa kuitansi? Lha wong barang sumbangan untuk korban Tsunami di Aceh saja, untuk mengeluarkan dari Belawan masih harus membayar ke masing-masing kantor terkait dan njlimet sekali urusannya. Sudah menyumbang, masih ditarik uang lagi untuk mengeluarkannya. Edan….. It does not make sense at all.
Bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani dan tegas adalah persyaratan yang mutlak harus dipenuhi. Sementara itu, yang kita jagokan untuk menjadi pemimpin lebih tenang dan aman kalau ikut dalam barisannya makmum. Teman-teman satu angkatan yang diharapkan turut bahu-membahu banyak yang berkomentar “Ya sudah sanalah kalau berjuang, saya nanti akan bantu dengan doa”. Saya bukan tidak percaya dengan doa. Doa adalah the lowest point yang kita lakukan ketika kita diberi kekuatan oleh-Nya untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari sebuah doa. Lakukan sesuatu terlebih dulu, kemudian mari berdoa bersama-sama. Bukankah kita dipintarkan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk masyarakat di sekeliling kita? Bukankah sudah cukup waktu untuk menjadi penonton dan sekarang gilirannya menjadi pemain? Ini masalah perut jutaan rakyat Indonesia. Membiarkan umat keleleran adalah salah satu bentuk membiarkan kemunkaran tanpa solusi. Sementara kita berada dalam lingkaran itu dan tidak melakukan apa-apa? Ada kewajiban bersama yang seharusnya kita bersama-sama harus melakukannya.
Terlalu banyak barisan yang hanya merasa cukup sebagai makmum saja ketimbang take the lead sebagai imam. Sementara yang seharusnya cocok hanya sebagai makmum malah memaksakan diri tampil sebagai imam. Sudah waktunya kita bermain sesuai makom-nya. Bagaimanapun kumalnya sebuah peci, itu tempatnya harus dikepala. Dan untuk sepatu, apakah itu merknya Bally, Reebok atau Rockport, tempatnya harus dikaki. Kita terlalu sering melihat sepatu di kepala sementara peci kita jadikan sebagai alas kaki. (Prahoro Nurtjahyo, 7 November 2005)
What should we do?
US adalah negara pengagum ajaran demokrasi. Akal dan nalar adalah “tuhan” mereka. Ketika Indonesia harus deal dengan US, marilah kita mengunakan akal dan nalar yang benar. Permasalahan dasar kita adalah beranikah pemimpin kita bermain dengan cara bermainnya bangsa ini? Adakah kualitas pemimpin kita yang mampu untuk bilang TIDAK untuk hal-hal yang tidak masuk akal? Apakah ini semua disebabkan karena kita yang memiliki budaya timur? Wah… kok nelongso sekali bangsa kita ini. Jadi karena kita berada dalam budaya dunia timur, maka kita harus lemah, manut dan nrimo. Why? Inilah mental yang harus kita hilangkan. Bisnis adalah bisnis. Tidak ada istilah “lancang” atau “kurang ajar”. Yang ada adalah make sense atau nonsense. Kalau bule main tunjuk di depan kita, apa tidak bisa kita tunjuk hidung mereka? Mari kita tunjukkan bahwa kualitas anak bangsa ini melebihi kemampuan mereka.
Bahwa US adalah negara maju, kita tidak menutup mata. Tetapi tidak harus dengan menghambakan diri atau meletakan harga diri ditelapak kaki mereka untuk mengemis minta hutang kepada mereka. Cara-cara seperti ini yang merusak prinsip-prinsip bisnis yang ada di Indonesia. Inilah mental penjilat, atau kalau meminjam istilahnya Kwik Kian Gie, mental Inlander.
“Jangan Tinggalkan Sejarah”. Sejarah juga yang mengajarkan kepada kita betapa J.F. Kennedy mengagumi anak Indonesia yang bernama Soekarno. Kagum bukan karena basa-basi, tetapi karena presiden Soekarno telah menempatkan harga diri bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadinya dalam deal dengan negara lain. Se-melarat apapun dia, kalau masih punya harga diri, itu jauh lebih berharga daripada para penjilat pantat boss atasannya. Menjijikan sekali.
Dahlan Iskhan dalam tulisannya di Jawapos (edisi 13 dan 14 Oktober 2005) mengkritisi apa yang terjadi dalam tubuh pemerintahan sekarang ini. Antara lain, para menteri yang tidak terkoordinasi dan tumpang tindihnya wewenang antara menteri satu dengan yang lain. Saling menyalib antara Presiden dengan Wakil Presiden karena rebutan pengaruh. Negara ini memang seperti angkutan umum yang digunakan seenaknya untuk memenuhi setoran tertentu kepada pemesan tertentu pula.
Minyak dan gas bumi adalah komoditi pilihan. Tanpa dijajakanpun, akan banyak orang yang antri daftar untuk membeli. Jadi, benahi dulu apa yang ada dalam rumah tangga kita sebelum kita “jalan-jalan” menjajakan barang dagangan ini ke tetangga kanan kiri. Pelajari semua permasalahan kita, terutama tentang aturan dan hukum yang masih abu-abu. Jadikan suasana yang nyaman untuk investasi. Buktikan bahwa berita yang beredar diluar adalah berita yang salah, terutama tentang semaraknya praktek pe-malak-an, baik proyek, hutang atau sumbangan. Bagaimana akan nyaman perasaan investornya kalau tahu-tahu ada bom meletus? Bagaimana investor akan tahu berapa USD dia akan invest kalau banyak dana siluman tak pasti yang harus masuk dalam pembukuan tanpa kuitansi? Lha wong barang sumbangan untuk korban Tsunami di Aceh saja, untuk mengeluarkan dari Belawan masih harus membayar ke masing-masing kantor terkait dan njlimet sekali urusannya. Sudah menyumbang, masih ditarik uang lagi untuk mengeluarkannya. Edan….. It does not make sense at all.
Bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani dan tegas adalah persyaratan yang mutlak harus dipenuhi. Sementara itu, yang kita jagokan untuk menjadi pemimpin lebih tenang dan aman kalau ikut dalam barisannya makmum. Teman-teman satu angkatan yang diharapkan turut bahu-membahu banyak yang berkomentar “Ya sudah sanalah kalau berjuang, saya nanti akan bantu dengan doa”. Saya bukan tidak percaya dengan doa. Doa adalah the lowest point yang kita lakukan ketika kita diberi kekuatan oleh-Nya untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari sebuah doa. Lakukan sesuatu terlebih dulu, kemudian mari berdoa bersama-sama. Bukankah kita dipintarkan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik untuk masyarakat di sekeliling kita? Bukankah sudah cukup waktu untuk menjadi penonton dan sekarang gilirannya menjadi pemain? Ini masalah perut jutaan rakyat Indonesia. Membiarkan umat keleleran adalah salah satu bentuk membiarkan kemunkaran tanpa solusi. Sementara kita berada dalam lingkaran itu dan tidak melakukan apa-apa? Ada kewajiban bersama yang seharusnya kita bersama-sama harus melakukannya.
Terlalu banyak barisan yang hanya merasa cukup sebagai makmum saja ketimbang take the lead sebagai imam. Sementara yang seharusnya cocok hanya sebagai makmum malah memaksakan diri tampil sebagai imam. Sudah waktunya kita bermain sesuai makom-nya. Bagaimanapun kumalnya sebuah peci, itu tempatnya harus dikepala. Dan untuk sepatu, apakah itu merknya Bally, Reebok atau Rockport, tempatnya harus dikaki. Kita terlalu sering melihat sepatu di kepala sementara peci kita jadikan sebagai alas kaki. (Prahoro Nurtjahyo, 7 November 2005)
No comments:
Post a Comment