Sunday, July 16, 2006

Mengaji

Setiap hari Sabtu saya harus ikut ke mushola satu-satunya di kota kami untuk mengantar anak-anak saya belajar mengaji Al-Quran. Kata harus sengaja saya pilih karena mempunyai makna untuk memaksakan kehendak. Kehendak yang mana yang dipaksakan? Paling tidak ada dua kehendak mengapa saya melakukan ini. Pertama, kehendak untuk mencari excuse dan mempersiapkan jawaban karena kelak saya pasti ditanya olehNya tentang “Apa yang sudah kamu ajarkan kepada anak-anakmu?”. Kedua, kehendak karena dulu saya belajar mengaji tidak memakai metoda yang baku, kurikulum yang jelas dan hanya memakai dalil “asal bisa” mengaji. Maka sudah barang tentu, untuk urusan mengaji, saya tidak berani memberikan sesuatu kepada anak-anak saya dimana saya sendiri belum yakin tingkat kebenaran lafalnya. Untuk itulah saya harus mencari guru yang mempunyai kemampuan mengaji lebih bagus.


Saya tidak termasuk pada lingkaran makom para ahli tafsir yang piawai dalam mengartikan ayat per ayat. Garis berdiri saya masih sangat jauh terbelakang dari lingkaran para ahli tafsir itu. Dengan keterbatasan pemahaman tentang agama, membaca Quran bagi saya bukan hanya dalam benar cara membacanya, tetapi juga mampu melantunkannya dengan suara yang indah sehingga enak didengar. Bukan berarti terjemahannya tidak penting, tetapi pada level ini, saya lebih memfokuskan pada cara membaca yang benar dan mampu mempresentasikan bacaan yang benar tadi dalam alunan nada yang indah.

Kenapa nada ini menjadi penting bagi saya? Ini panjang ceritanya. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat yang agamis dimana dering jam beker tidak lagi saya perlukan karena suara Azan Subuh adalah patokan bangun tidur saya. Selama 17 tahun pertama kehidupan saya, suara Azan Subuh inilah yang senantiasa setia membangunkan saya dari nikmatnya tidur malam. Karena Azan ini bagian dari ritual keagamaan, maka sudah barang tentu ada pegawai khusus (Muadzin) yang melantunkan Azan ini. Sudah seharusnyalah yang namanya Muadzin semestinya hafiz dengan bacaan Quran. Demikian juga halnya yang sama untuk sebutan Takmir Masjid bagi mereka-mereka yang mengelola masjid.

Sialnya, profesi Muadzin di kampung saya bukanlah jabatan favorit yang banyak diperebutkan banyak orang. Karena susahnya mencari Muadzin, maka kriteria pertama untuk mencari seorang Muadzin bukan lagi yang suaranya merdu dan tahu bacaan yang benar, tetapi kriterianya turun beberapa tingkat menjadi SIAPA YANG MAU. Belum cukup dengan syarat gila ini, ditambah lagi SIAPA YANG SUARANYA KENCANG. Apa hasilnya? Sudah bisa ditebak, bacaannya tidak karu-karuan dan telinga saya menjadi pekak karena suara Muadzin yang keras ini, belum lagi ditambah dengan loudspeaker di masjid yang meraung-raung. Sudah persis suasananya seperti kapal pecah setiap Subuh. Azan yang seharusnya memberi ketenangan hati, bagi saya lebih terasa seperti raungan macan lapar yang membikin jengkel hati saja. Itu masih belum selesai. Tidak cukup dengan hanya melantunkan panggilan Azan, si Muadzin masih terus pantang mundur maju tak gentar dengan lafal yang morat-marit menyanyikan puji-pujian sambil menunggu iqomah……. “Subhannallah…walhamdulillah…wala illa …dst”……………. Walaaaah salah apa kampung saya ini…

Kalau sudah memasuki urusan ritual keagamaan, kebanyakan dari kita lebih suka bersandar pada statement “yang penting khan niatnya”. Salahkah pernyataan itu? Tidak ada yang salah dari statement itu. Memang niat itu bagian dari komponen yang penting, tetapi statement itu saja bagi saya kurang lengkap. Akan menjadi lebih mendalam pemahamannya jika kita mampu mewujudkan niat tadi dalam bentuk yang lebih anggun. Dengan cara melafalkan yang morat-marit, yang seharusnya dibaca panjang malahan dibaca pendek atau sebaliknya, nyeleneh nadanya, pitch yang naik turun, saya yang seharusnya berterima kasih karena suara Azan ini, yang kejadian malah sebaliknya. Organ tubuh saya secara otomatis menjadi gelisah dan menggigil kalau sudah mendekati pukul 4 pagi. Maklum saja, jarak antara rumah dengan masjid kurang dari 100 meter. Sudah dapat dipastikan wajah saya dalam tidur berubah menjadi murung, badan keringatan dan mulut siap-siap untuk ngedumel, kuping saya tutup rapat-rapat dengan bantal sampai suara Muadzin-nya selesai. Itu masih belum seberapa, tetangga sebelah rumah saya malah ikut teriak-teriak kalau jam 4 pagi untuk menyaingi suara Azan di masjid. Itulah 17 tahun pertama kehidupan saya. Bagaimanapun juga, saya masih salut dan terima kasih dengan Muadzin yang pantang mundur ini. Terakhir saya mendengar khabar tentang Muadzin ini dari orang tua saya bahwa profesi Muadzin ini masih ditekuninya sampai sekarang. Kalau anda bertanya, “Sudah seberapa jauh meningkat kualitasnya?” Jawaban saya no comment saja.

Tentang alunan bacaan Quran, saya percaya bahwa Quran memang ditulis dengan bahasa Arab, tetapi saya berkeyakinan juga bahwa tidak berarti Quran hanya boleh dilagukan dengan dialek Arab. Ketika saya sholat di Masjid Agung Yogjakarta di awal tahun 1990an, saya merasakan nikmat lantunan suara Imam dengan cengkok (pitch) irama gending Jawa dalam bacaan Al-Fatihah dan surat-surat dalam bacaan sholatnya. Wah nikmat sekali saya mendengar alunan nada itu. Kalaulah saja waktu itu si Imam membaca surat Al-Baqarah pun, saya akan ladeni dia karena memang bacaannya yang indah. Untung saja, tubuh saya tidak ikut meliuk-liuk berjoget karena terhipnotis suara yang merdu itu. Belum pernah saya menemukan hal seperti itu di daerah yang lain. Saya tidak tahu apakah ini berhubungan dengan cara masuknya Islam di tanah Jawa, atau hanya kebetulan saja karena saya orang Jawa sehingga kuping saya merasa seirama dengan nada yang dilantunkan oleh si Imam. Jadi, tentunya boleh saja melantunkan Quran dengan logat atau dialek Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Batak, Kalimantan, dll. Ini akan memperkaya khasanah pemahaman kita. Jadi apa sebenarnya yang unik dari mengaji ini? Yang unik ternyata, berbagai macam logat ini akan hilang kalau kita memasuki arena yang namanya Tilawatil Quran. Pada ajang inilah, Quran hanya akan dibaca dengan bacaan yang sama dan universal. Wallahualam.

Maka tibalah saatnya sekarang, setelah hampir 20 tahun kemudian, ketika saya menginginkan anak-anak saya belajar membaca Quran, selain menginginkan mereka membaca dengan benar, saya juga menginginkan mereka mampu melantunkannya dengan cantik sehingga saya tidak perlu menutup kuping kalau mereka mengumandangkan Azan atau membacakan ayat-ayat suci ini di rumah.

Dan ternyata, anak-anak jaman sekarang ini memang pesat sekali kemampuannya. Entah karena memori mereka yang masih fresh, 1024 MB, atau memang saya yang kolot dan masih kaku dengan lidah Jawa saya. Kurang dari dua bulan, sekumpulan anak-anak yang ikut pengajian ini sudah fasih dan mampu membedakan mana yang harus diucapkan da, mana yang dza, mana yang harus qo mana yang kho dan seterusnya. Itu masih belum seberapa, mereka dengan enak saja melantunkan ucapan dengan suara dengung ketika huruf nun mati (sukun) atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf tertentu. Uedan tenan….. sudah sekian langkah rupanya saya tertinggal oleh anak-anak saya. Wah… harus ada action plan kalau begini ceritanya.

Hari Sabtu yang lalu, dengan susah payah, akhirnya berhasil juga membentuk alliance para orang tua yang mengantar anak-anaknya mengaji setiap hari Sabtu di musholla untuk membentuk group sendiri para orang tua, dengan bahasa propaganda yang halus, “Para orang tua berkumpul untuk mereview kembali bacaan Quran yang benar”. Tentunya beragam alasan yang ada sebenarnya. Ada orang tua yang sebenarnya bisa baca, tetapi suaranya memang pas-pasan. Ada yang dulunya bisa membaca, sekarang menjadi lupa karena frequensi pemakaian kesehariannya. Ada orang tua yang sebenarnya memang tidak bisa membaca Quran sama sekali. Jangankan membaca Quran yang hurufnya sudah sambung menyambung, untuk membedakan sho dengan dho saja, masih bingung dan harus checking urutannya dengan mulut komat-kamit membaca huruf dari depan mulai Alif, Bak, Tak, Tsa,…dst. Terlepas dari itu semua, paling tidak persekutuan orang tua ini telah menunjukkan semangat mau belajar sekaligus berupaya untuk menutupi kelemahannya dengan anyaman benang cantik “Review cara membaca Quran dengan benar”.

Sabtu kemarin tentu sangat berbeda dengan hari-hari sabtu sebelumnya. Untuk itulah tulisan ini saya munculkan. Bukan karena iseng tetapi merupakan pembelajaran dari konsep Boomerang. Challenge yang jelas menghadang di depan adalah tantangan dari anak-anak saya kepada ayahnya ini untuk melakukan hal yang sama, yaitu membaca Quran dengan benar ditambah dengan alunan suara yang indah. Jangan jangan ayahnya ini bisanya cuma ngomong saja, banyak ekspektasi-nya, tetapi tidak mampu mem-praktek-annya. Isn't it? (Prahoro Nurtjahyo, 16 Juli 2006).

1 comment:

Anonymous said...

Subhanallah, ndak nyangka ada kembaran cak Nun di Yusten.

Maju terus,,,, cak Nur .... ini mau di posting di koran mana?

Mudah-mudahan nanti kelas orangtua jumlahnya ebih banyak dari kelas anak-anak.